Hasil
Kajian Teori Modernisasi Klasik
Mata
Kuliah Sosiologi Pembangunan
Dra.
Ikhlasiah Dalimoenthe, M.Si
Kelompok 2
Ahmad Rofiki 4815122446
Angga Mardiansya 4815120320
Bunga Haryani 4815122431
Nelva Aini Syifa 4815122448
Vicky Affanny Tsulasa 4815120324
Pendidikan Sosiologi
Reguler
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri
Jakarta
2012
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Puji syukur atas kehadirat
Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, shalawat serta salam tak lupa tim
penulis panjatkan kepada Nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW sehingga tim
penulis dapat menyelesaikan makalah yang merupakan salah satu syarat penugasan
dari mata kuliah Sosiologi Pembangunan. Makalah ini kami beri judul “ Hasil
Kajian Teori Modernisasi Klasik” . Makalah ini diharapkan dapat memberikan
informasi dan lebih mengeksplorasi ilmu pengetahuan mendalam, mengenai kajian
teori modernisasi klasik.
Tim penulis menyadari bahwa
dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan yang dikarenakan keterbatasan oleh
tim penulis. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
untuk menuju kesempurnaan makalah ini. Dalam penyusunan makalah ini, tim
penulis mengucapan terima kasih kepada :
2. Teman
- teman penulis, Ahmad Rofiki, Angga Mardiansya, Bunga Haryani, Nelva Aini
Syifa dan Vicky Affanny Tsulasa. Terima kasih atas waktu dan kontribusinya
dalam menyelesaikan makalah ini.
3.
Teman-teman di kelas Pendidikan
Sosiologi Reguler yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Terimakasih yang
sebesar-besarnya.
Jakarta, 14 September
2013
Hasil Kajian Teori Modernisasi
Klasik
1.
Pertama,
penelitian McClelland tentang Motivasi
Berprestasi yang mewakili karya di bidang Psikologi.
2.
Kedua,
penelitian Inkeles disekitar tesis Manusia
Modernnya yang mewakili Sosiologi
Mikro (Psikologi Sosial).
3.
Ketiga,
pengamatan Sumawinata tentang kemungkinan dan kesiapan ekonomi Indonesia dalam
mencapai tahap lepas landas, sebuah konsep yang dikembangkan Rostow.
4.
Keempat,
kajian Sosiologi Makro Bellah tentang
Agama Tokugawa dan Pembangunan di Jepang.
5.
Terakhir,
Lipset tentang Keterkaitan Antara
Pembangunan Ekonomi dan Pengembangan
Demokrasi Politik, yang merupakan Representasi
Disiplin Ilmu Politik.
McClelland:
Motivasi Berprestasi
Bagi dia, yang
bertanggung jawab atas proses modernisasi Negara-negara Dunia Ketiga ialah kaum
wiraswastawan domestik. Bukan para politisi atau penasehat ahli, karena kaum
wiraswastawan mempunyai semangat dan sifat berdagang tinggi – bekerja dengan
tekun dan memperbaiki kesalahan agar lebih baik dikemudian. Oleh karena itu,
para investor jangan hanya menanamkan modalnya dari segi ekonomi. Melainkan
melakukan investasi pada pengembangan Sumber Daya Manusia.
Motivasi
berprestasi menurut McClelland adalah keinginan yang kuat untuk mencapai
prestasi gemilang yang dikerjakannya melalui penampilan kerja yang baik, dengan
selalu berpikir dan berusaha untuk menemukan cara-cara baru untuk memperbaiki
kualitas kerja yang dicapainya. Inilah yang sesungguhnya ingin dicapai oleh
kaum wiraswastawan. Sebagai contoh: Jika seseorang menghabiskan waktu hidupnya
untuk bersenang-senang; pesta, tidur, jalan-jalan – maka motivasi
berprestasinya rendah. Sebaliknya, jika seseorang memikirkan bagaimana nantinya
kehidupan ini akan menjadi lebih baik lagi, dengan cara melaksanakan tugasnya
maka motivasi berprestasinya tinggi.
Pertanyaan
tertulis bukan metode bagus untuk mengukur motivasi berprestasi, karena
seseorang akan berbohong untuk itu. Oleh karenanya, McClelland mengukurnya
dengan Metode Proyeksi. Metode
proyeksi ini menunjukkan suatu gambar dari pokok penelitiannya kepada
masing-masing orang untuk menulis cerita dari gambar yang mereka lihat.
Dari cerita tersebut,
dapat diketahui motivasi masing-masing individu. Misalnya dalam buku ini,
digambarkan seorang laki-laki yang menjulurkan kakinya ke atas meja kerja lalu
melihat sebuah poto dinding dihadapannya. Salah satu responden menjawab bahwa
ia sedang melamun, lalu memikirkan masa liburannya bersama keluarga untuk
menghabiskan waktunya bersenang-senang. Responden kedua menjawab bahwa seorang
Direktur sedang memikirkan bagaimana membangun perusahaannya agar menang
tender. Dapat disimpulkan, responden kedua memiliki motivasi berprestasi
tinggi.
Motivasi
berprestasi tingkat individu dapat diukur melalui Metode Proyeksi. Lalu bagaimana mengukur Motivasi Berprestasi suatu Negara? McClelland menggunakan alat
untuk mengukur berskala nasional ini dengan mengumpulkan literatur populer;
nyanyian rakyat, buku komik, puisi, drama, dan cerita anak-anak.
Sebagai contoh,
literatur populer yang ada di Indonesia menceritakan; “Si Kancil Anak Nakal”
menceritakan tentang kancil yang suka mencuri ketimun, mengindikasikan bahwa
setiap pencuri jangan diberi ampun; “Malin Kundang” lain halnya dengan cerita
ini, cerita Malin menceritakan seoarang anak durhaka kepada orangtua. Setelah
itu, sang ibu mengutuk si Malin yang langsung berubah menjadi batu. Pesan moral
yang beredar di masyarakat agar seorang anak tidak durhaka kepada orang tua,
karena ketika ia durhaka akan berubah menjadi batu seperti Malin. Cerita ini
memang secara terbuka memang bagus, agar anak Indonesia tidak durhaka terhadap
ibunya. Tetapi secara implisit/tersembunyi cerita ini merupakan kekerasasan
simbolik dari suara si Malin yang keras terhadap ibunya. Cerita ini tak lebih
dari sekadar cerita sampah yang dimulai dari kekerasan dahulu, lalu tiada sadar
menjadi batu akibat ucapan ibunya sendiri. Seharusnya cerita Indonesia
menceritakan kebagusan di awal dan kebahagiaan serta surga diakhirnya; seperti
seorang anak yang berbakti kepada kedua orangtua, setelah ia besar tidak
durhaka kepada keduanya.
Lalu cerita
asing masuk ke Indonesia; Cinderella, Beauty and The Beast, Putri Salju, Abu
Nawas, Aladin, kesemua cerita tersebut hanya terdapat dua tokoh utama – antara
sang pangeran dan permaisuri.
Alur ceritanya
permaisuri membutuhkan pertolongan atau sebaliknya pangeran menyelamatkan.
Menandakan bahwa setiap orang di Indonesia hanyalah terdiri dari sepasang
pasangan yang menyelamatkan dan mesti berpacaran karena mengikuti dua tokoh
utama yang mereka lihat di tv, yaitu sang pangeran dan permaisuri.
Persaingan yang
memperebutkan permaisuri terjadi antara pangeran dan lawan-lawannya.
Mengindikasikan terjadinya perkelahian antar pelajar sekolah, akibat persaingan
memperebutkan kekasih sesuai dengan cerita dongeng di permaisuri. Tiada
literatur populer di Indonesia yang menceritakan demokrasi partisipatif, kerja
sama, keterpaduan, sehingga tidak adanya kesadaran kritis dalam berpikir.
Dalam hal ini,
McClelland menganggap bahwa cerita-cerita rakyat populer merupakan refleksi
dari pola pikir masyarakat dalam Negara tersebut, dan jika sekiranya tidak
berarti demikian maka cerita-cerita rakyat tersebut tidak akan menjadi cerita
rakyat populer.
Selanjutnya,
setelah McClelland mengukur kebutuhan
suatu Negara berskala Nasional. Ia melihat sejauhmana kebutuhan berprestasi
ini berkaitan dengan pembangunan ekonomi nasional.
McClelland
mengukurnya dengan konsumsi tenaga listrik di suatu Negara. Dari hasil
penelitian antar Negara, McClelland mengatakan bahwa semakin tinggi konsumsi
tenaga listrik suatu Negara akan memiliki derajat yang tinggi pula dalam pembangunan
ekonomi.
Terakhir,
McClelland mencari cara untuk menaikkan Skala
Kebutuhan Berprestasi. Caranya dengan melihat lingkungan keluarga pada saat
pembimbingan anak, yakni:
1. Pertama,
OrangTua hendaknya menentukan standard motivasi yang tinggi terhadap anak. Misalnya
ia akan menjadi pemain musik yang terkenal seperti John Mayer atau pelawak
terkenal seperti Sule.
2. Kedua,
memberikan dukungan terhadap kemampuan dan bakat anak. Jikalau anak mempunyai
bakat dibidang kesenian, seorang anak harus didukung. Jangan orangtua terlalu
menuntut/mengharapkan anak menjadi sesuai keinginan orangtua yang tidak sesuai
dengan bakatnya.
3. Ketiga,
OrangTua hendaknya tidak bersikap otoriter namun demokrasi partisipatif.
Seorang orangtua harus bertanya terlebih dahulu apa yang disukai dan digemari
oleh sang anak dan tidak bersikap otoriter. Sebab lingkungan yang dilalui oleh
si anak dan orangtua pasti lah berbeda, oleh karena itu sikap orangtua selalu
mensupport kemauan dan kegemaran anak asalkan dia konsisten lagi bertanggung
jawab terhadapa kegemaran yang digelutinya.
Kebijaksanaan
yang ditimbulkan dari hasil kajian ini. McClelland mengatakan
bahwa Negara Dunia Ketiga:
1. Seharusnya
mempunyai sekelompok Wiraswastawan yang memiliki kebutuhan tinggi untuk
berprestasi yang diharapkan mampu mengubah bantuan asing menjadi Investasi
Produktif.
2. Selain
itu, bahwa semakin tinggi interaksi Negara Dunia Ketiga dengan Negara Barat
dengan jalan pendidikan atau pengenalan budaya, maka akan semakin mempermudah
dan mempercepat modernisasi.
Inkeles:
Manusia Modern
Inkeles
memusatkan perhatiannya, yakni;
1. Apa
akibat yang ditimbulkan oleh modernisasi terhadap sikap, nilai, dan pandangan
hidup seseorang?
2. Apakah
Negara Dunia Ketiga akan memiliki sikap hidup modern setelah berinteraksi
dengan Negara Barat?
3. Apakah
ada akibat ketegangan psikologis dari manusia Negara Dunia Ketiga setelah
mengalami modernisasi?
Lalu
Inkeles mewancarai 6000 anak muda yang dipilih dari berbagai kategori, seperti
petani, kaum migran, pekerjaan perkotaan sektor bukan industri, pekerjaan
perkotaan di sektor industri dan pelajar.
Setelah itu, menurut
Inkeles manusia modern akan memiliki berbagai karakteristik, yakni:
1. Terbuka
terhadap Pengalaman Baru; artinya mencari sesuatu yang baru.
Sebagai seorang
sosiolog, tidak menutup kemungkinan bisa dalam bidang kesenian – agama. Sebagai
contoh bermain musik, membaca puisi, atau membaca al-quran.
2. Independen
terhadap Otoritas Tradisional; keluarga, etnis dan raja.
Sebagai manusia modern
harus bisa menemukan bakat terbaiknya, dan bakat terbaiknya itu tidak
ditentukan/dipaksakan oleh keluarga, etnis dan raja. Sebagai contoh, seorang
anak bebas menentukan jalan hidupnya, mau jadi apa ia nantinya namun harus
tetap bertanggung jawab. Misalkan anak minatnya masuk dibidang kesenian, ia
akan langsung dimasukan ke IKJ bukan UNJ. Lalu orang tua tidak semestinya
bersikap otoriter terhadapa anaknya.
3. Percaya
terhadap Ilmu Pengetahuan.
Ilmu berkesenian
digunakan sebagai hiburan dalam industri musik di tanah air – Indonesia.
4. Manusia
modern memiliki ambisi hidup yang tinggi; dalam hal ini meniti jenjang
pekerjaannya dengan tekun, bekerja keras, tanggung jawab dan disiplin.
5. Memiliki
rencana jangka panjang.
Mengetahui apa yang
kita capai dalam lima tahun ke depan; sebagai contoh akan tamat kuliah dalam 4
tahun, setelah itu menjadi pedagogi sejati.
6. Aktif
terlibat dalam percaturan politik.
Dalam hal ini ikut dalam organisasi
kekeluargaan seperti RT dan RW, serta mengurusi urusan masyarakat seperti
pemilu dan acara perkawinan.
Dari karakteristik itu,
Inkeles menemukan pokok-pokok pikiran, yaitu:
1.
Pertama,
bahwa pendidikan merupakan faktor terpenting yang mencirikan manusia modern.
Akan tetapi bukan pendidikan ilmu alam; kimia, biologi, matematika. Melainkan
nilai-nilai Barat, buku-buku Barat, guru dari Barat, film-film Barat akan
membantu penyerapan nilai-nilai modern.
2.
Kedua,
jenis pekerjaan di pabrik akan turut mempengaruhi manusia menjadi modern. Sebab
tingkat disiplin para pekerja pabrik menamkan disiplin waktu tingkat tinggi.
Perhatian Inkeles yang
terakhir – Apakah ada akibat ketegangan psikologis dari manusia Negara Dunia
Ketiga setelah mengalami modernisasi?
Sebab menurut Inkeles
literatur yang ada di Dunia Ketiga hanya menyebutkan Dampak Negatif dari Modernisasi
saja; yakni
1.
Pola hidup Konsumtif
2.
Sikap Individualistik
3.
Gaya hidup Westernisasi
4.
Kesenjangan sosial
5.
Kriminalitas
6.
Demoralisasi Kepribadian
dan
tidak menjelaskan Dampak Positifnya; seperti sikap rasional, memiliki rencana
jangka panjang, percaya terhadap ilmu pengetahuan, disiplin tingkat tinggi, dan
aktif terlibat dalam percaturan politik.
Oleh karena itu, Inkeles
menjawab; perubahan Modernisasi di Dunia Ketiga tidak bisa berjalan dengan
cepat, melainkan dengan evolusi atau lambat. Serta tidak akan ada ketegangan
psikogis dari Negara Dunia Ketiga mendasari pada tes Psychosomatic Symptomnya. Psychosomatic Symptom disini maksudnya
penyakit psikologis; insomnia, kecemasan berlebih, trauma, fobia, kecanduan
rokok, gagap.
Sarbini Sumawinata : Lepas Landas
Indonesia
Teori
pertumbuhan ekonomi telah lama lahir, sekitar pertengahan tahun 1950-an, dari
pertumbuhan dan tahapan pembangunan ekonomi yang dirumuskan oleh Rostow. Pada
tahun 1989 telah terbit di Indonesia, satu buku yang dipersembahkan kepada
Profesor Sarbini Sumawinata pada ulang tahunnya yang ke-70, yang memuat dua
artikel yang secara eksplisit menguji pembangunan ekonomi Indonesia dengan
pendekatan teori pertumbuhan Rostow.
Salah
satu diantara 2 artikel tersebut secara jelas mencoba melakukan pendekatan
analitis situasi ekonomi Indonesia, ditulis oleh Profesor Sarbini Sumawinata
sendiri yang dikenal sebagai seorang ilmuwan yang sering memberikan kritik dan
ketidak setujuannya terhadap teori Rostow itu sendiri.
Sumawinata
memulai pengamatannya, dengan terlebih dahulu secara ringkas meningkatkan 3
syarat mutlak yang menurut Rostow harus dipenuhi jika masyarakat hendak
mencapai tahap lepas landas pembangunan ekonominya.
1.
Pertama,
untuk
mencapai lepas landas, ekonomi Negara memerlukan tingkat investasi produktif
paling tidak sebesar 10% dari pendapatan nasional.
2.
Kedua,
pertumbuhan yang tinggi atas satu atau lebih cabang industri yang sentral.
3.
Ketiga,
tumbuh dan berkembangnya kerangka sosial politik yang mampu menyerap dinamika
perubahan masyarakat.
Menurut Sumawinata,
pembahasan persoalan lepas landas ini di Indonesia lebih memperhatikan pada Syarat
Pertama, dibanding kedua syarat terakhir. Paradoksnya,
dengan mendasarkan diri pada sejarah perkembangan ekonomi Indonesia,
“syarat-syarat kedua dan ketiga merupakan
syarat yang lebih penting merupakan syarat yang pertama.” Ini terjadi
karena pada saat terjadi lepas landas ekonomi, masyarakat akan banyak memikul
beban dan tekanan yang berat, bahkan lebih dari itu masyarakat akan banyak
memikul beban dan tekanan yang berat. Sementara di saat yang sama bangunan
struktur penyangganya masih dalam proses untuk dibangun.
Dalam
menilai syarat pertama, jika misalnya diinginkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5%
yang diharapkan mampu melebihi tingkat pertumbuhan penduduk, maka sumawinata
berpendapat diperlukan tingkat investasi jauh lebih besar dari sekedar 10% GNP.
Jika sekarang di perlukan ICOR (Incremental Capital Output Ratio) Indonesia
sebesar 3 atau 4, maka untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5% diperlukan
investasi ekspansif sebeasar 15% atau 20% GNP. Dengan tanpa menyebut secara
pasti berapa jumlah investasi yang mampu dicapai pemerintah Indonesia selama
masa pembangunan ekonomi, setelah melihat dan membandingkan dengan pengalaman
Negara lain, khususnya India dan Cina justru melihat bahwa syarat pertama yang ditetapkan rostow
terlalu lunak untuk ukuran masa sekarang ketika dunia telah memasuki masa
revolusi industri ketiga.
Sumawinata
juga menjelaskan bahwa sektor manufaktur Indonesia sekarang ini baru mampu
memberikan sumbangan pembentukan GNP sekitar 15%. Jika dilihat dari daya serap tenaga kerjanya,
yang menurut Sumawinata justru merupakan ukuran yang lebih cepat, maka
sumbangan dan pertumbuhan sektor manufaktur belum memadai, oleh karena itu,
disimpulkan bahwa “sektor manufaktur di Indonesia masih sangat rendah untuk
diharapkan dapat membantu memperlaju pembangunan kearah take off .”
Terakhir,
Sumawinata menilai bahwa pembangunan pranata sosial dan politik nampaknya tidak
diarahkan kepada pembangunan prakondisi yang diperlukan untuk menyongsong masa
lepas landas. Sekalipun “secara formal terjadi perubahan-perubahan dalam
masalah sosial-politik, tetapi secara esensial dan substansial yang terjadi
adalah perubahan-perubahan struktur politik dan budaya secara lebih nyata dan
mendasar tak dapat dielakkan karena di perlukan untuk menyanggah dan menyerap
secara kreatif ketegangan-ketegangan politik dan budaya yang muncul pada masa
percepatan industrialisasi.
Hasil
kajian Sumawinata adalah bahwa ia tidak lupa untuk menjelaskan berbagai
persoalan ekonomi mikro yang dihadapi dan perlu mendapat perhatian dari
Pemerintah Indonesia untuk membantu tercapainya tahapan lepas landas.
Dalam
hal ini Sumawinata mengelompokkan persoalan tersebut dalam dua kelompok yaitu
1. internal dan;
2. external diseconomies.
Dua
persoalan ini menjadi sebab utama dari tumbuhnya ekonomi biaya tinggi. Oleh
karena itu, bahwa tidak efisiensinya ekonomi dan meluasnya korupsi, perlu
mendapat perhatian, jika mungkin dihilangkan sama sekali untuk memperlancar
kecepatan dan percepatan proses industrialisasi. Oleh karena itu, tidak
diherankan jika dapat disimpulkan, bahwa dengan mendasarkan diri pada”…
berbagai macam sebab, baik yang
diketahui maupun yang tidak diketahui, memberikan cukup alasan untuk cemas dan
prihatin.” Namun, ini tidak berarti bahwa ekonomi Indonesia akan selalu berada
dalam situasi terbelakang terus-menerus.
Robert N. Bellah: Agama Tokugawa
Penelitian
ini menguji:
1. Apa
sumbangan yang diberikan oleh agama Tokugawa terhadap cepatnya laju pembangunan
Ekonomi Jepang? dan;
2. Bagaimana
sumbangan itu diwujudkan?
Perhatian
Bellah terhadap Jepang bukan karena jepang satu-satunya Negara bukan barat yang
mampu mengembangkan industrialisasinya pada ambang pintu mamasuki abad ke-20,
tetapi juga karena jepang memiliki satu pola industrialisasi yang khas.
Awal
gerak gelombang industrialisasi di jepang pada akhir abad ke-19 tidak di mulai
dari langkah kaum industriawan, pengrajin, atau pedagang, melainkan oleh kelas samurai. Kelas samurai inilah yang
sesungguhnya membangun kembali masa kejayaan kekaisaran Jepang, dan meletakkan
dasar-dasar modernisasi Jepang.
Dengan
mengikuti arah penelitian yang dikembangkan oleh Weber, Bellah mulai tertarik
untuk menguji ada tidaknya keterlibatan agama dalam kasus Jepang ini. Dengan
kata lain, “Apakah ada satu analogi fungsional dari etik Protestan dalam agama
Jepang?” yang menimbulkan lahirnya
masyarakat industri modern Jepang sekarang ini.
Latar Belakang Teoretis
Sebagai
murid Parsons, Bellah banyak meminjam dan menggunakan konsep fungsionalismenya
untuk menjelaskan hubungan antara agama dengan masyarakat industri modern di
Jepang.
Menurut
Bellah masyarakat industri modern sebagai masyarakat yang sepenuhnya
mendasarkan diri pada nilai-nilai ekonomi, seperti Rasionalisasi,
Universalitas, dan Nilai-Nilai Berprestasi.
Agama
diartikan oleh Bellah sebagai sikap dan tingkah laku yang selalu mengarah pada
nilai-nilai luhur. Bisa dikatakan disini bahwa agama sebagai sesuatu yang
memiliki fungsi sosial untuk merumuskan seperangkat nilai luhur darinya lalu
masyarakat membangun tatanan moral.
Bagi
Weber agama Protestan di Eropa membantu melahirkan dan melembagakan nilai-nilai
universalitas dan kebutuhan berprestasi. Pendapat tersebut tidak jauh berbeda
dari hasil pemikiran Bellah. Ia mencoba mencari dan kemudian menemukan ciri-ciri
tersebut pada agama di Jepang yang mungkin telah membantu terjadinya perubahan
yang kritis dari nilai-nilai dan ajaran pokok masyarakat.
Agama Jepang
Dalam
usahanya mengamati agama di Jepang, Bellah membuat dua klasifikasi observasi.
1. Pertama,
sekalipun memang terdapat banyak agama di Jepang, termasuk di dalamnya
Konfusianisme, Budhisme, dan Shinto. Hal ini tidak menghalangi untuk
menganalisa atau mengkategorikan agama-agama di Jepang tersebut sebagai
entitas.
Agama
di Jepang memang sudah berbaur dan sulit dibedakan secara lebih rinci lagi.
Agama satu dengan agama yang lainnya sama-sama mempengaruhi dan memiliki
hubungan. Sehingga bisa dikatakan bahwa Konfusianisme di Jepang sangat berbeda
dengan Konfusianisme di China dan Budhisme jepang berbeda dangan Budhisme
India.
2. Kedua,
bahwa agama di Jepang membentuk nilai-nilai dasar masyarakat Jepang. Dilihat
dari sejarah, agama di Jepang bermula sebagai etika dari para pejuang samurai,
baru dikenal di masyarakat luas setelah melalui pengaruh agama Konfusianisme
dan Budhisme.
Bellah
mengambil tiga keterkaitan antara Agama dan Pembangunan Ekonomi di Jepang,
Yaitu ;
1) Pengaruh
Agama Secara Langsung Mempengaruhi Etika Ekonomi
2) Pengaruh
Agama Terhadap Ekonomi Terjadi Melalui Pranata Politik
3) Pengaruh
Agama Terjadi Melalui Pranata Kelurga
Pengaruh Agama
Pada
masa awalnya, Shinsu, salah satu
sekte agama Budha yang dikaji oleh Bellah menekankan pada pentingnya
keselamatan dan hanya sedikit yang memberikan perhatian pada tuntutan etika.
Pada pertengahan masa Tokugawa (1600-1868), sebagai akibat dari perubahan-perubahan
yang dilakukan oleh Rennyo Shonin, yang disebut-sebut sebagai pendiri kedua
sekte, keselamatan dan etika terkait mutlak dan tidak dapat dibedakan sama
sekali, apalagi dipisahkan.
Perubahan
nilai keagaaman yang menekankan pada etika dalam proses penyelamatan dijadikan
sebagai perubahan mendasar.
Bellah Membagi Tiga
Karakteristik Pokok dari Ajaran dan Tuntutan Persyaratan Etika Ini:
1.
Pertama,
ajaran untuk bekerja secara tekun dan sungguh-sungguh khususnya di bidang
pekerjaan yang telah dipilih.
2.
Kedua,
ajaran untuk memiliki sikap pertapa dan hemat dalam konsumsi barang.
3.
Ketiga,
pencarian keuntungan secara tidak halal memang dilarang namun usaha untuk
mengejar itu dapat diperoleh dari usaha normal disediakan legitimasinya dalam
ajaran agama melalui doktrin Bodhisattva (harmoni jiri-rita). Bellah menunjukan adanya bukti mengenai agama Shinsu
tentang konsentrasi candi-candi Shin pada pusat perdagangan di kota Omi.
Pengaruh Agama Melalui Pranata
Politik
Di Cina,
·
Konfusianisme menekankan pentingnya
faktor efisiensi, harmoni dan sekaligus Intergrasi.
Namun,
di Jepang seperti yang dinyatakan
oleh Bellah,
·
Konfusianisme mengambil dan memiliki
makna-makna baru setelah bercampur dengan Budhisme. Konfusiansime Jepang lebih
menekankan akan pentingnya Subordinasi
Tanpa Pamrih.
Prinsip
subordinasi menyeluruh terlihat jelas dalam etika kelas samurai Jepang. Samurai
wajib melaksanakan tugasnya dan mengabdi pada negara tanpa memperhitungkan
kepentingan pribadi. Etika samurai ini dianut pada masa Tokugawa. Kewajiban dan
tanggung jawab tanpa batas ini pulalah menurut Bellah, yang mampu membuat
menjelaskan mengapa kelas samurai memulai usaha Restorasi Meiji.
Tujuan
reformasi ini diarahkan untuk memulihkan kembali pengagungan kekaisaran,
memusnahkan manusia yang biadab dan menambah kekuatan nasional. Restorasi Meiji
ini lebih bersifat “politis” daripada “ekonomis”.
Kelas
samurai yang telah banyak berganti menjadi kelas usahawan yang gigih tidak saja
bertujuan untuk mencari dan mengumpulkan kekayaan ataupun menjadikan dirinya
sebagai orang kaya tetapi lebih merupakan wujud wajah pengabdian mereka pada
negara melalui pembangunan ekonomi.
Untuk mendukung
pernyataan ini;
Bellah
menunjukan berbagai aturan yang dimiliki oleh Iwasaki, samurai pendiri
Mitsubishi yang nenggambarkan tentang adaptasi etika samurai pada wiraswastawan
modern.
1. Etika
ini juga mengisyaratkan secara jelas untuk menjadi pekerja keras dan tangguh
secara kepentingan dan rasa hati orang lain.
2. Aturan
ini mengajarkan etika untuk bersikap keras kepala ketika ingin membangun usaha
baru.
3. Tetapi
juga harus bersikap sebaliknya yaitu tekun dan hati-hati dalam mengelolanya.
Bellah
mengatakan bahwa ekonomi industri modern tersebut telah dirembesi oleh nilai-nilai politik yang telah berkembang dan
berlaku pada masa sebelumnya.
Pengaruh Agama Melalui Pranata
Keluarga
Etika
tanpa batas ini bukan berlaku untuk pengabdian pada negara saja tetapi juga
pada etika rumah tangga pedagang. Rumah pedagang dilihat sebagai suatu entitas
yang sakral yang menyimbolkan pemujaan nenek moyang.
Biasanya
standar pengabdian yang berlaku pada keluarga pedagang ditetapkan amat tinggi
sebanding dengan apa yang dimiliki oleh kelas samurai. Yakni:
1. Seseorang
tidak boleh menjatuhkan nama keluarganya karena hal ini juga bisa menimbulkan
rasa malu nenek moyangnya.
2. Motivasi
ekonomi dari kelas pedagang ini bukan motivasi pribadi, tetapi merupakan
motivasi kebanggaan keluarga.
Bellah berpendapat
bahwa;
1. Etika
kewajiban keluarga ini mendorong terbentuknya seperangkat nilai etika
kejujuran, kualitas, dan nama baik yang dijunjung tinggi.
2. Kemudian
mendukung nilai-nilai universal dalam tata dunia perdagangan dan mampu
memberikan dorongan untuk lahirnya cikal-bakal ekonomi rasional pada masa
modern Jepang.
Jika
pranata kekeluargaan mampu memberikan dorongan pembangunan ekonomi Jepang, hal
sebaliknya berlaku di Cina. Hal ini terjadi, karena Cina memiliki unsur pranata
kekeluargaan secara berlebihan. Sentralnya posisi keluarga ini, paling tidak
secara tidak langsung mempengaruhi derajat loyalitas pada pranata sosial
lainnya, loyalitas mereka tidak seperti loyalitas total yang dimiliki oleh
masyarakat Jepang.
Bellah
mencirikan masyarakat Cina;
·
Sebagai masyarakat yang menjunjung
tinggi nilai-nilai integrasi dan kekeluargaan.
Di
Jepang dengan berpadunya Konfusianisme dan Budhisme menyebabkan;
·
Tetap terjaganya etika loyalitas
terhadap negara pada posisi yang jauh lebih tinggi dibanding loyalitas pada
keluarga.
Jepang : Pembangunan Ekonomi dan
Demokrasi
1. Permasalahan
Penelitian
Dalam
uraian ini akan dijelaskan tentang :
1).
Hubungan antara demokrasi politik dengan pembangunan ekonomi.
Sejak
zaman Aristoteles hingga kini, teori-teori ilmu sosial memiliki kecenderungan
untuk menyatakan, bahwa ‘semakin baik derajat kehidupan ekonomis suatu negara, semakin
besar tersedia kemungkinan, bahwa negara tersebut akan memegang dan memelihara
tatanan demokrasi’.
Dalam hal ini Lipset
hendak mencoba mencari bukti:
1.
Pertama,
Apakah hanya negara-negara atau masyarakat yang kaya (makmur) saja yang mampu
mendukung dan menumbuhkan demokrasi?
2.
Kedua,
Apakah masyarakat miskin yang di dalamnya terdapat massa miskin yang demikian
banyak akan mendorong timbulnya pemerintahan oligarkis (pemerintahan yang
dilakukan oleh sejumlah kecil elite masyarakat seperti pemerintahan tradisional
di Amerika Latin) dan atau Tirani (diktator kerakyatan seperti pemerintahan
komunisme atau Peronisme)?
Variabel
yang Diperhatikan
Untuk
melakukan penelitiannya dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya,
Lipset terlebih dahulu memberikan batasan dan kerangka operasional dari apa
yang ia maksudkan dengan konsep demokrasi dan pembangunan ekonomi.
Mendasarkan
pada batasan ini, Lipset mencoba mengamati sistem politik di Eropa dan Amerika
Latin.
1. Untuk
Amerika Latin, Lipset menggunakan
kriteria yang lebih lunak, yakni
dengan mengamati sistem pemerintahan diktator
yang tidak stabil, sementara;
2. Untuk
Eropa ia menggunakan kriteria yang lebih tegas, yakni mengamati sistem
pemerintahan demokratis yang lebih
stabil. Sekalipun dengan sedikit perbedaan derajat kekakuan dan kelonggaran
penggunaan kriteria,
Lipset
Kemudian Membedakan;
Adanya Empat Macam Sistem Politik
yang Berlaku di Eropa dan di Amerika Latin.
1. Pertama,
jenis pemerintahan demokratis yang
stabil di Eropa, seperti misalnya di Inggris.
Pemerintahan
ini dicirikan oleh adanya kontinuitas yang tanpa terputus dari berlangsungnya
demokrasi politik sejak Perang Dunia I, dan tidak ditemukan adanya satu model
gerakan politik, yang berarti tidak konstitusional untuk melawan “tata aturan”
demokratis yang telah dibangun dan disepakati.
2. Kedua,
jenis pemerintahan demokratis yang tidak
stabil dan diktator, seperti misalnya yang terdapat di Spanyol.
Kategori
ini merupakan jenis pemerintahan di negara-negara Eropa yang tidak memenuhi
syarat-syarat pada jenis pertama.
3. Ketiga,
jenis pemerintahan Amerika Latin yang
demokratis dan diktator yang tidak stabil, seperti pemerintahan Brazilia.
Untuk jenis pemerintahan ini hanya diperlukan syarat, yaitu pernah
dilaksanakannya pemilihan umum yang kurang lebih bebas sejak Perang Dunia I.
4. Keempat,
jenis pemerintahan diktator yang stabil
di Amerika Latin, seperti misalnya yang dijumpai di Kuba. Jenis ini berbeda
dengan jenis-jenis pemerintahan terdahulu.
Untuk
Membatasi Konsep Pembangunan Ekonomi, Lipset menggunakan Empat Kriteria berikut
ini:
1. Pertama,
Ukuran Kekayaan yang diukur dari Pendapatan
Per Kapita, Jumlah Orang Persatu Kendaraan Bermotor, Jumlah Tenaga Dokter,
Radio, Telepon, dan Surat Kabar Perseribu Orang.
2. Kedua,
Ukuran Industrialisasi, yang
ditentukan oleh Persentase Tenaga Kerja yang Masih di Sektor Pertanian dan Jumlah
Energi yang Dikonsumsi Perkapita.
3. Ketiga,
Ukuran Urbanisasi yang ditentukan
dari Persentase Penduduk Tinggal Di Kota Besarnya Lebih Dari 20.000 Jiwa
sedangkan Yang Besarnya Lebih Dari 100.000 Jiwa di kota metropolitan.
4. Keempat,
Kriteria Pendidikan, yang diukur
dari jumlah anak sekolah di sekolah dasar, sekolah menengah dan perguruan
tinggi per 1000 penduduk.
Hasil
Penemuan
Dengan
menggunakan data yang dipublikasikan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dan dengan tanpa memperdulikan ukuran pembangunan ekonomi
apa yang hendak dipakai.
Lipset menemukan
kenyataan;
1. Bahwa
negara dengan pemerintahan demokratis selalu memiliki derajat pembangunan
ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan negara dengan pemerintahan diktator.
Dengan
kata lain semakin demokratis suatu negara, semakin tinggi rata-rata kekayaan,
semakin tinggi derajat industrialisasi dan urbanisasinya, dan semakin tinggi
derajat pendidikan rakyatnya. Semua indikator pembangunan ekonomi tersebut seperti Kemakmuran, Industrialisasi,
Urbanisasi, dan Pendidikan saling terkait satu sama lain secara erat.
Oleh
karena itu, menurut Lipset, variabel-variabel tersebut telah membentuk dirinya
sendiri sebagai faktor pokok yang mempunyai derajat korelasi yang amat tinggi
dengan pembangunan demokrasi politik.
Dengan
mengutip pendapat ilmuwan sosial lain, Lipset memiliki kecenderungan untuk
mengatakan, bahwa tingginya korelasi antara masing-masing variabel tersebut
sangat mungkin menggambarkan fase modernisasi, yang dimulai dari munculnya
urbanisasi, lalu diikuti oleh meningkatnya pendidikan dan media massa, dan
terakhir diikuti oleh lahirnya pranata pembangunan demokrasi politik.
Penjelasan
Pada
dasarnya Lipset menggunakan analisa
stratifikasi untuk menjelaskan keterkaitan antara pembangunan ekonomi dan
demokrasi. Baginya, “pembangunan ekonomi, meningkatnya pendapatan, derajat
keamanan ekonomis, dan menyebarnya pendidikan banyak berpengaruh terhadap
bentuk perjuangan lapisan masyarakat yang dari padanya tersusun landasan
pembangunan demokrasi.
1. Pertama,
lapisan masyarakat kelas bawah di negara-negara miskin memiliki pengalaman yang
lebih inferior dibanding lapisan masyarakat yang sama di negara maju, dengan
kata lain partai politik di negara miskin memiliki kecenderungan untuk lebih
ekstrem dan radikal dibanding partai politik di negara yang telah maju.
2. Kedua,
pembangunan ekonomi juga mempengaruhi tingkah laku politik kelas menengah,
karena kelas menengah ini memiliki kecenderungan untuk secara aktif terlibat
dalam organisasi politik, maka mereka mampu melakukan aksi untuk ikut
mengendalikan kekuasaan negara.
Teori Modernisasi Klasik
Setelah
dibahas lima hasil penelitian tersebut di atas, berikut ini akan disampaikan
tentang sejauh mana lima hasil kajian itu mencerminkann karakteristik yang khas
dari Teori Modernisasi Klasik:
1. Tentang
Perhatian Pokok,
2. Kerangka
Analisa,
3. Metode
Kajiannya dalam menggumuli persoalan-persoalan pembangunan.
Dari
padanya diharapkan akan dapat diketahui secara lebih jelas kemampuan teori
modernisasi klasik dalam mengarahkan dan mempengaruhi pola pikir peneliti, para
perencana dan pengambil keputusan.
Namun
demikian, bagian ini tidak dimaksudkan untuk mencoba membandingkan keunggulan
satu teori dengan teori lain dalam teori modernisasi klasik.
Bagian
ini lebih diarahkan untuk mengetahui sejauh mana teori modernisasi klasik
mempengaruhi tumbuh dan tenggelamnya peta pemikiran persoalan pembangunan di
kalangan akademisi dan praktisi.
Keprihatinan
Utama
Lima
hasil penelitian yang dilakukan oleh berbagai ahli dari berbagai disiplin ilmu
sosial disampaikan secara ringkas dalam bab ini memiliki keprihatinan utama
yang serupa, yakni MODERNISASI.
Kerangka
Analisa
Kelima
hasil penelitian yang telah dibahas sebelumnya, memiliki kerangka analisa yang
tidak jauh berbeda satu sama lain.
1. Para
peneliti tersebut beranggapan, bahwa negara Dunia Ketiga merupakan negara
terbelakang dengan masyarakat tradisionalnya.
2. Sementara
negara-negara Barat dilihatnya sebagai negara modern.
Walaupun
demikian, sekurang-kurangnya kelima hasil penelitian itu telah mampu mengajukan
gagasan-gagasannya kepada negara Dunia Ketiga dengan maksud agar negara
tersebut melepaskan ciri-ciri ketradisionalannya dan mengadaptasi apa-apa yang
positif yang dimiliki oleh negara Barat.
Metode
Kajian
Dengan
pengeculian hasil kajian Bellah dan Sumawinata, ketiga hasil kajian yang lain
cenderung untuk melakukan analisa abstrak.
Untuk
sekedar menyebut contoh, Bagi McClelland dan Inkeles;
1. kebutuhan
berprestasi dan;
2. ciri-ciri
manusia modern sepertinya dianggap berlaku secara universal dan oleh karena itu
dapat diterapkan pada negara Dunia Ketiga, tanpa memperhatikan keunikan
masing-masing negara.
Lipset
juga secara sembarangan mengkategorikan Amerika Latin hanya dalam dua kelompok
kategori, tanpa secara detail menguji sejarah pertumbuhan dan pembangunan
politiknya untuk masing-masing negara.
Teori
modernisasi sangat popular dan dikenal luas pada masa sesudah PD II. Oleh
karena itu, tidak heran jika banyak pemerhati persoalan pembangunan negara
Dunia Ketiga tertarik dan menggunakan perangkat teori, kerangka analisa, dan
metode penelitian dari teori modernisasi ini.
Namun
demikian, sejak akhir tahun 1960-an (besaran waktu Amerika Serikat), teori
modernisasi mulai menerima kritik, baik dari kalangan mereka sendiri maupun
dari pemerhati aliran pemikiran Marxis yang secara politis dan akademis
memiliki tradisi yang berbeda. Pada bagian berikut ini, secara ringkas, kritik
tersebut hendak disampaikan.
Kritik Terhadap Teori Modernisasi
Sebelum
disampaikan kritik politik dari pemerhati pendekatan neo-Marxisme terhadap
teori modernisasi, terlebih dahulu akan disampaikan kritik akademis dari
ilmuwan sosial yang termasuk dalam kelompok mainstream.
Kelompok
akademis ini memiliki beberapa Keberatan
terhadap asumsi-asumsi Evolusioner dan Fungsionalisme yang digunakan oleh Teori
Modernisasi Klasik.
A.
Gerak Pembangunan
1) Pertama,
Para Akademisi Ini Menentang Asumsi
Teori Evolusi tentang Gerak dan Arah Perkembangan Masyarakat. Mereka
menyangsikan tentang alasan-alasan yang disampaikan untuk menjelaskan mengapa
negara Dunia Ketiga harus mengikuti arah pembangunan yang pernah ditempuh oleh
negara Barat. Menurut mereka, ini terjadi karena para peneliti yang menggunakan
teori modernisasi tersebut merupakan bangsa-bangsa Amerika dan Eropa yang
memiliki kepercayaan bahwa nilai-nilai budaya yang ada pada negara Barat
merupakan kepercayaan superioritas Barat dimana mereka menganggap nilai-nilai
yang mereka anut yaitu nilai-nilai paling alami dan baik di dunia.
Menurut
pemberi kritik, konsep-konsep seperti “maju”, “modern”, “tradisional”, dan
“primitif” hanya merupakan label ideologis untuk mengesahkan superioritas
Barat.
2). Kedua, Pengkritik Juga Mengatakan, Bahwa
Kecenderungan Untuk Percaya Pada Gerak dan Arah Pembangunan yang Searah Ini. Menjadikan Teori Modernisasi dan Mengabaikan
Kemungkinan Pencarian dan Pengembangan Alternatif Pembangunan Negara Dunia
Ketiga. Padahal, terdapat kemungkinan negara Dunia Ketiga menciptakan
alternatif model pembangunan yang berbeda dari negara Barat untuk negaranya
sendiri.
3). Ketiga,
pengkritik juga mengatakan, bahwa Para
Peneliti Teori Modernisasi Klasik Terlalu Optimis.
Peneliti
ini sepertinya menganggap bahwa karena negara Barat mampu mencapai derajat
pembangunan ekonomi yang maju, maka dapat dipastikan bahwa negara Dunia Ketiga
juga akan mampu mencapainya.
Mereka
sama sekali tidak mencoba untuk menguji kemungkinan timbulnya persoalan
macetnya pembangunan. Di sisi lain, pengkritik menganggap bahwa masa depan
negara Dunia Ketiga merupakan masa depan yang belum pasti akan mengarah kemana
dan seperti apa bentuknya.
B.
Nilai Tradisional
Pengkritik
menyatakan keberatannya pada asumsi teori fungsionalisme, tentang Pertentangan Antara Tradisi dan Modern yang
Menganggap Bahwa Pada Negara Dunia Ketiga Memiliki Seperangkat Nilai
Tradisional yang Homogen dan Harmonis.
Padahal, kenyataan yang
ada bahwa Negara Dunia Ketiga memiliki
sistem Nilai dan Budaya yang Heterogen dan Bervariasi serta penuh dengan elemen
Konflik.
Lalu
para pengkritik bertanya:
1.
Pertama,
menanyakan tentang Apakah sesungguhnya
yang disebut dengan tradisi?
Teori fungsionalisme
cenderung untuk mengatakan bahwa masyarakat pada masa lampau selalu damai dan
stabil. Namun seperti terlihat dalam sejarah, ternyata adanya konflik dan
ketidakstabilan yang mewujud dalam protes petani, pergerakan nasional, dan
perang agama pada negara-negara Dunia Ketiga bahwa hal tersebut membuktikan
negara Dunia ketiga memiliki seperangkat nilai tradisional yang heterogen.
2.
Kedua,
menanyakan tentang Apakah sesungguhnya
nilai tradisional dan modern selalu bertolak belakang?
Di
satu pihak, menurut pengkritik, dalam masyarakat tradisional juga terdapat
nilai-nilai modern. Di lain pihak, nilai-nilai tradisional juga dijumpai dan
hadir di tengah-tengah masyarakat modern. Oleh karena itu, menurut pengkritik,
nilai tradisional dan nilai modern akan selalu hidup berdampingan.
3.
Ketiga,
menanyakan tentang Apakah sesungguhnya
nilai-nilai tradisional selalu menghambat modernisasi?
Apakah
selalu diperkirakan untuk menghilangkan nilai-nilai tradisional jika hendak
mencapai modernisasi? Bagi pengkritik, terkadang nilai-nilai tradisional sangat
membantu dalam upaya modernisasi.
4.
Terakhir, Pengkritik Meragukan Tentang Kemampuan Proses Modernisasi Untuk Secara
Total Menghapuskan Nilai Tradisional.
Untuk
pengkritik dengan jelas menyatakan, bahwa nilai tradisional memang masih akan
selalu hadir ditengah proses modernisasi. Hal ini seperti yang telah dijelaskan
oleh Teori Kelambatan Budaya (cultural
lag theory), bahwa nilai tradisional akan masih tetap hidup untuk jangka
waktu yang panjang, sekalipun faktor dan situasi awal yang menumbuhkan nilai
tradisional tersebut telah tiada.
C.
Metode Kajian
Para pengkritik
beranggapan, bahwa
1. Peneliti
yang menggunakan teori modernisasi klasik memiliki kecenderungan untuk
melakukan analisa yang abstrak, tidak jelas periode sejarah dan wilayah negara
mana yang dimaksud.
Dengan kata
lain, pemerhati teori modernisasi klasik tidak memiliki batas ruang dan waktu
dalam analisanya.
Lebih dari itu, teori
modernisasi klasik;
2. Tidak
memiliki ilmuwan yang cukup untuk melakukan analisa sejarah yang menggunakan
metode sebelum dan sesudah peristiwa.
Pemerhati teori
ini kebanyakan menggunakan dan mengambil analisa penelitian antarnegara pada
satu waktu tertentu untuk dijadikan analisa sejarah jangka panjang.
D.
Kritik Ideologis
Dari sudut pandanng
neo-Marxis;
1. Teori
modernisasi tidak lebih hanya dilihat sebagai ideologi perang dingin yang
digunakan untuk memberikan legitimasi intervensi Amerika Serikat terhadap
kepentingan negara Dunia Ketiga.
Dalam artikelnya
yang terkenal, dengan judul “The Sociology of Development and Underdevelopment
of Sociology,” yang menyatakan bahwa teori modernisasi hanyalah merupakan baju
ilmiah yang dipakai oleh Amerika Utara untuk menutupi ideologi yang
disembunyikan dibaliknya.
Searah dengan arus
kritik ini, Bodenheimer juga menunjuk berkembangnya;
2. “Ideologi
Pembangunan” di dalam kajian ilmiah perbandingan politik dan Teori Sosiologi. Ilmu
sosial berdosa karena memiliki kepercayaan tentang adanya hukum universal ilmu
sosial, dan perlunya penyebaran ilmu sosial versi tersebut ke negara Dunia
Ketiga.
Oleh
karena itu, menurut Bodenheimer telah lahir rumusan teori yang salah tentang
arah dan watak perubahan sosial yang inkremental dan terus-menerus, serta
stabil dan terarah.
Disamping itu, juga
1. Telah
lahir asumsi yang salah dalam ilmu sosial tentang keharusan difusi pembangunan
dari Barat ke Dunia Ketiga;
2. dan
yang tidak kalah pentingnya, menurut Bodenheimer, semua itu telah mengakibatkan, di satu pihak,
menurunnya ideologi revolusioner, dan di lain pihak berkembangnya pola pikir
pragmatis dan ilmiah.
E.
Dominasi Asing
Teori
modernisasi juga menerima kritik tentang keterlupaannya memperhatikan unsur
dominasi asing dalam kerangka teorinya. Karena fokus analisanya yang lebih
memperhatikan variabel intern.
Akibatnya, pemerhati
teori modernisasi;
1. Hanya
sedikit sekali memberikan perhatian pada dinamika eksternal (kolonialisme).
Sekalipun
teori modernisasi memiliki asumsi, bahwa negara Dunia Ketiga telah secara
formal terbebas dari kolonialisme, ketika negara-negara tersebut mencapai
otonomi politiknya,
2. Pemerhati
neo-Marxis masih berpendapat, bahwa negara Dunia Ketiga secara ekonomis,
politis, dan budaya tetap berada dalam dominasi negara Barat.
Oleh
karena itu, pemerhati neo-Marxis menyatakan, bahwa pemerhati teori modernisasi
secara sembarangan telah begitu saja meninggalkan faktor dominasi asing yang
merupakan salah satu faktor pokok yang mempengaruhi perjalanan pembangunan
Dunia Ketiga.
DAFTAR
PUSTAKA
Suwarsono
dan Alvin. 2006. Perubahan Sosial dan Pembangunan.
Jakarta: LP3ES