Saturday, 21 September 2013

Makalah PROPEN Kel 6 - Manajmen Kurikulum

Manajemen Kurikulum: Telaah Pemikiran Neo-Marxist dan Henry A. Giroux tentang kurikulum.
Mata Kuliah Profesi Kependidikan
Dosen Dr. SitiZulaikha






Kelompok 6
Ahmad Rofiki                                           4815122446
Anisa Tri Astiyani                                     4815122464
BungaHaryani                                           4815122431
Vonni Lidia Said                                      4815122456



Pendidikan Sosiologi Reguler
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta
2012
Daftar isi
Kata Pengantar 3
Bab 1 Pendahuluan
Latar Belakang 4
Sejarah Perkembangan Kurikulum – di Indonesia 5
Bab 2 Pembahasan
Pengertian Kurikulum 8
Komponen atau unsur Kurikulum 8
Prinsip-prinsip perkembangan Kurikulum 9
Pemikiran Neo-Marxist tentang Kurikulum…………………...………………………………………………..10
Pemikiran Henry Giroux tentang Kurikulum……………………...……………………………………..………12
Bab 3 Penyelesaian Masalah
Pendidikan di Indonesia harus mengikuti pendidikan untuk sosialisme seperti di Republik Venezuela……………………………………………………………………13
Revolusi pendidikan yang ada di Indonesia; alternatif di Barrio Pueblo Nuevo, Merida.………………………………………………………………………14
Bab 4 Penutup
            Simpulan……………………………………………………………………18
            Saran......……………………………………………………………………18
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….….19






KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,
                  Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, shalawat serta salam tak lupa tim penulis panjatkan kepada Nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW sehingga tim penulis dapat menyelesaikan makalah yang merupakan salah satu syarat penugasan dari mata kuliah Profesi Kependidikan. Makalah ini kami beri judul “ Manajemen Kurikulum” . Makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi dan lebih mengeksplorasi ilmu pengetahuan mendalam, mengenai pengertian dan cara pengaplikasian Manajemen kurikulum.
                  Tim penulis menyadari bahwa dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan yang dikarenakan keterbatasan oleh tim penulis. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk menuju kesempurnaan makalah ini. Dalam penyusunan makalah ini, tim penulis mengucapan terima kasih kepada :
2.      Teman - teman penulis, Ahmad Rofiki, Anisa Tri Astiyani, Bunga Haryani, dan Vonni Lidia S. Terima kasih atas waktu dan kontribusinya dalam menyelesaikan makalah ini.
3.      Teman-teman di kelas Pendidikan Sosiologi Reguler yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Terimakasih yang sebesar-besarnya.




Jakarta, 14 September 2013

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) kurikulum adalah perangkat mata pelajaran dan program pendidikan yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta pelajaran dalam satu periode jenjang pendidikan (Wikipedia, Kurikulum, akses 15-9-13, pukul 21.00). Kurikulum merupakan suatu sistem dari berbagai macam komponen-komponen pendukug, dalam terciptanya proses pembelajaran. Komponen tersebut antara lain adalah tujuan pendidikan, metode pengajaran,dan evaluasi pendididikan.
            Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa peran kurikulum sangat besar dalam proses pendidikan, untuk itu diperlukan pengorganiasasian dan strktur yang tepat dalam pembuatan dan pealaksanaan nantinya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekacauan dalam praktik lapangan, karena itu diperlukan menejemen yang baik. Manajemen adalah kemampuan seseorang dalam melakukan pengaturan dalam suatu kebijakan yang akan diambil (Wikipedia, Manajemen, akses 15-9-13, pukul 21.20). Tujuan dari menejemen tersebut adalah untuk meminimalisir pemborosan waktu, tenaga dan pikiran. Manajemen Kurikulum merupakan sebuah alternatif solusi dalam hal pembuatan, pelaksanaan, hingga tahap akhir yaitu evaluasi.
            Dalam praktik lapangan, tim penulis banyak menemukan kasus ketimpangan dalam pelaksanaan kurikulum, indikasi utama adalah para guru tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman terkait menejemen kurikulum yang efektif dan efisien saat pelaksanaannya. Akibatnya, materi yang diajarkan tidak memenuhi standar yang cukup bagi siswa yang diajarkan. Untuk itu, tim penulis tertarik membuat makalah dengan judul “ Manajemen Kurikulum” yang bertujuan untuk mendeskripsikan perencanaan kurikulum yang baik dan pengaplikasiannya dalam proses pendidikan.

B.     Sejarah Perkembangan Kurikulum – di Indonesia.
Sejarah keberadaan kurikulum dapat dilacak saat Plato menyusun Aritmatika sebagai ringkasan belajar yang didalamnya mencakup geometri, astronomi, solid geometri. Semua itu terkait dengan pelajaran Matematika (Alkin, 1922: 277).
Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin yaitu currere yang berarti to run (menyelenggarakan). Atau to run the course (menyelenggarakan suatu pengajaran). Definisi serupa juga diungkapkan dalam School Dictionary 3 yang menyebut kurikulum sebagai “all the courses of study offered at a school, college, or university” (Levey, 1993: 299) – “Segala bahan ajar yang ditawarkan di sekolah, perguruan tinggi, atau universitas”.
Kurikulum yang ada di Indonesia, menurut lintasan sejarah dapat dilacak keberadaannya pada masa pra-kolonial, kolonial, dan merdeka – diberlakukannya peraturan dari menteri tentang kurikulum, kurikulum telah berubah-ubah. Kurikulum yang ada bahkan menjadi pergulatan kekuasaan Indonesia.
Pada masa pra-kolonial, perkembangan pendidikan di Indonesia dapat ditelusuri sejak zaman Hindu dan Buddha pada abad ke-5 Masehi[1]. Pada saat itu pendidikan dipengaruhi oleh kedua ajaran agama tersebut, yang dibawakan oleh Biksu di Hindu dan Sidartha Gautama di Buddha. Ajaran agama Buddha merupakan ajaran yang bertolak belakang dengan ajaran agama Hindu. Sebab di Buddha siapapun dapat mencapai kesempurnaan atau nirwana tanpa bantuan kaum Brahmana[2].
Meskipun pendidikan tidak dilaksanakan secara formal, tetapi murid-murid dikelompokan dalam satu padepokan[3]. Guru-guru pada saat itu (Buddha)  mengajarkan bahwa seseorang dapat mencapai nirwana dengan usahanya sendiri, yaitu dengan melakukan mediasi. Sedangkan Guru-guru Hindu mengajarkan bahwa seseorang dapat mencapai nirwana dengan bantuan kaum Brahmana.
Pada masa kolonial, pendidikan yang tersedia meliputi pendidikan dasar, sekolah latin, pendidikan teologi, akademi pelayaran[4]. Sistem pendidikan saat itu menekankan kurikulum yang diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan mengisi lowongan kerja dalam administrasi modern, dengan gaji dan hasil yang lebih baik (Hidayat, 2011: 218). Kurikulum yang ada saat itu hanya ditekankan kepada pendidikan calon-calon juru tulis (klerk), pegawai rendahan dan pegawai menengah birokrasi kolonial, termasuk lulusan STOVIA dipersiapkan untuk menjadi mantri cacar (Kayam, 1989).
Setelah merdeka, pendidikan dijadikan alat revolusi dalam upaya menciptakan warga Negara sosialis Indonesia. Lalu orde lama digantikan dengan orde baru, kurikulum pada periode ini diarahkan pada pembangunan dan kemajuan sehingga dapat menciptakan tenaga kerja yang memiliki pengatahuan dan keterampilan di berbagai bidang[5].
Pada tahun 1994, kurikulum ini dapat dikatakan terlalu padat sehingga terlalu membebani siswa yang berdampak pada kemerosotan semangat belajar siswa alhasil mutu pendidikan semakin terpuruk (Hidayat, 2011: 224). Terakhir kurikulum 2004 yang memberlakukan UAN (Ujian Akhir Nasional) sebagai standardisasi kelulusan siswa berdasarkan kognitif atau nilainya saja tanpa mempertimbangkan aspek lainnya; afektif dan psikomotorik.
Oleh karena itu, kami ingin mengetahui bagaimana pemikiran dari tokoh-tokoh yang ada; Neo-Marxist, dan Henry A. Giroux tentang pemikiran kurikulum agar kurikulum yang ada bukan dijadikan sebagai pergulatan kekuasaan, melainkan untuk pendidikan rakyat; pendidikan yang sosialistis.
C.    Rumusan Masalah
Sebelum pelaksanaan kegiatan apapun, tentunya akan diperlukan sebuah rencana (planing) untuk mengetahui berhasil atau tidaknya pencapaian sebuah kegiatan. Begitu pula kegiatan pembelajaran bagi tim khususnya sebagai calon guru nantinya. Permasalahannya, apakan calon guru sudah memiliki konsep perencanaan yang matang dalam pelaksanaan pembelajaran nantinya. Dalam suatu lembaga pendidikan diperlukan adanya manajemen yang baik dan terstruktur. Baik dari manajemen pengorganisasian, maupun dari bagian kurikulumnya. Jika didalam sebuah sekolah tidak memiliki memejemen yang cukup kuat, sudah bisa diprediksi bahwa proses dalam pendidikan tersebut tidak akan berjalan semestinya, melainkan akan banyak hambatan.
Begitu pula dalam manajemen kurikulum dalam pendidikan. Seperti yang kita ketahui, bahwa proses pendidikan selalu bergerak maju (dinamis). Untuk itu, tim penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian dari kurikulum?
2.      Komponen atau unsur dari kurikulum?
3.      Prinsip pengembangan kurikulum?
4.      Bagaimana pemikiran Neo-Marxist tentang kurikulum?
5.      Bagaimana pemikiran Henry A. Giroux tentang kurikulum?
6.      Bagaimana upaya penyelesaain agar kurikulum tidak menjadi pergulatan kekuasaan Indonesia?
D.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui komponen atau unsur dari kurikulum
2.      Mengetahui pemikiran Neo-Marxist tentang kurikulum
3.      Mengetahui pemikiran Henry A. Giroux tentang kurikulum
4.      Menyelesaikan permasalahan agar kurikulum tidak menjadi pergulatan kekuasaan  Indonesia
E.     Manfaat Penelitian
Untuk mengetahui perencanaan manajemen kurikulum yang baik, efektif , dan efisien. Didalam makalah ini, akan dibahas berbagai konsep dasar dalam perencanaan kurikulum. Tim penulis mengharapkan dari hasil makalah ini dapat menambah wawasan pembaca dalam ilmu pengetahuan khususnya pengaplikasian dalam bentuk manajemen kurikulum.

BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan menenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulu operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing tiap satuan pendidikan. KTSP terdiri atas tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Sedangkan, Manajemen kurikulum adalah pengelolaan kurikulum yang meliputi kegiatan: perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian.
B.     Komponen atau unsur Kurikulum
Secara umum, komponen kurikulum menurut John F. Kerr terdiri atas objective =, knowledge, School experience, and evaluation. Menurut Nasution, unsur kurikulum terdiri atas tujuan, pengetahuan, proses belajar mengajar, dan evaluasi. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjelaskan bahwa komponen kurikulum tediri atas:
1.      Tujuan Pendidikan Tingkat Satuan Pendidikan
Dengan tujuan umum antara lain:
a.       Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
b.      Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
c.       Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
2.      Struktur dan Muatan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Lima kelompok mata pelajaran yang memiliki muatan diantaranya:
1.      Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak.
2.      Kelompok mata pelajaran kewaranegaraan dan kepribadian.
3.      Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
4.      Kelompok mata pelajaran estetika.
5.      Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan.
Muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri termasuk ke dalam isi kurikulum.
a.       Mata Pelajaran                              f. Kenaikan Kelas dan Kelulusan
b.      Muatan Lokal                                g. Penjurusan
c.       Kegiatan Pengembangan diri        h. Pendidikan Kecakapan Hidup
d.      Pengaturan Beban Belajar             i. Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dan Global
e.       Ketuntasan Belajar
C.    Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum
Secara umum, prinsip pengembangan kurikulum adalah relevansi, kontinuitas, fleksibilitas, efisiensi, dan efektifitas. Prinsip pengembangan KTSP mengacu pada konsep ilmiah, relevan, sistematis, kosisten, memadai, aktual, kontekstual, serta fleksibel.
Prinsip ilmiah maksudnya adalah keseluruhan materi kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus harus benar, dan dapat dipertanggung jawabkan secara keilmuan.
Relevan adalah cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran dan urutan penyajian  materi dalam silabus sesuai dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan spiritual peserta didik.
Sistematis, yaitu komponen-komponen silabus saling berhubungan secara fungsional dalam mencapai kompetensi.
Konsisten adalah ada hubungan dengan konsisten (ajeg, taat asas) antara kompetensi dasar, indikator, materi pokok/pembelajaran, pengalaman belajar, sumber belajar, dan sistem penilaian.
Memadai maksudnya adalah cakupan indikator, materi pokok/pembelajaran, pengalaman belajar, sumber belajar, dan sistem penilaian cukup untuk menunjang pencapaian kompetensi dasar aktual dan kontekstual adalah cakupan indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, dan sistem penilaian memperhatikan perkembangan ilmu, teknologi, dan seni mutakhir dalam kehidupan nyata serta beberapa peristiwa yang terjadi.
Fleksibel, yaitu keseluruhan komponen silabus dapat mengakomodasikan keragaman peserta didik , pendidik serta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah adalah tuntutan masyarakat.

D.    Pemikiran Neo-Marxist tentang Kurikulum
1.      Louis Althusser
Menurut Althusser, kurikulum dijadikan sebagai arena eksploitasi yang dilakukan oleh kelas bourjois terhadap kelas proletar, dengan cara anak-anak diwajibkan hadir di sekolah selama 8 jam sehari selama 5 hari dalam seminggu[6]. Ini terjadi pada  tahun 1994, kurikulum ini dapat dikatakan terlalu padat sehingga terlalu membebani siswa yang berdampak pada kemerosotan semangat belajar siswa alhasil mutu pendidikan semakin terpuruk (Hidayat, 2011: 224).
2.      Samuel Bowles dan Herbert Gintis
Bowles dan Gintis menganggap bahwa sekolah dan pendidikan mereproduksi ketidakadilan sosial dan kelas[7]. Ini terlihat dari sekolah-sekolah di pedesaan yang jangkauan aksesnya sangat jauh – melebihi 1 km, bahkan hampir merenggut nyawa dengan menyebrangi jembatan tidak layak untuk dapat ke Sekolah Dasar (SD), sedangkan akses sekolah di perkotaan tidak separah yang ada di pedesaan. Lalu kelas bourjuis bersekolah di sekolah unggulan, Standard Nasional, Standard Internasional yang mendapatkan sarana dan pra-sarana “lengkap”. Sedangkan kelas proletar hanya bersekolah di sekolah negeri reguler – swasta yang biasa dan tidak mendapatkan sarana dan pra-sarana “lengkap”.
Bowles dan Gintis berargumen sekolah dan tenaga kerja kapitalis dalam struktur, norma dan nilai-nilai merupakan satu hal kesamaan[8]. Sebagai contoh, sekolah dalam struktur tenaga kerja kapitalis, yaitu kepala sekolah sebagai pengatur segalanya dan murid berada dalam kekuasaannya. Murid memakai seragam, dan sekolah tersebut mempromosikan disiplin karena akan berada di tempat kerja (Hidayat, 2011: 113). Sekolah dan kurikulum melakukan anak didiknya untuk menjadi “pekerja yang baik” lalu mengisi stratifikasi sosial pekerjaannya serta digunakan oleh kaum bourjuis untuk mengontrol tenaga kerja[9]. Ini terbukti dari pemberlakuannya kurikulum pada masa kolonial; kurikulum yang ada saat itu hanya ditekankan kepada pendidikan calon-calon juru tulis (klerk), pegawai rendahan dan pegawai menengah birokrasi colonial, termasuk lulusan STOVIA dipersiapkan untuk menjadi mantri cacar (Kayam, 1989).
E.     Pemikiran Henry A. Giroux tentang Kurikulum
Giroux (dalam Darder, et.al, 2003: 121) menengarai banyak institusi pendidikan (baik sekolah maupun universitas) yang berubah orientasinya menjadi penyedia birokrat elit masyarakat dan pendukung kapitalisme modern melalui pasar kerja. Kontradiksi ini dalam pemahaman Giroux menjadi kegagalan lembaga pendidikan sebagai transformasi terciptanya humanisasi kehidupan publik (Hidayat, 2011: 180)
Ini bisa terlihat dari kurikulum 2004 yang memberlakukan UAN (Ujian Akhir Nasional) sebagai standardisasi kelulusan siswa berdasarkan kognitif atau nilainya saja tanpa mempertimbangkan aspek lainnya; afektif dan psikomotorik. Pada saat itu memang pasar kerja sedang membutuhkan kognitifnya saja, semisal untuk pelajaran matematika dan bahasa Inggris nilai minimumnya atau standard kelulusan “60” yang dibutuhkan pasar kerja. Padahal, setiap murid tidak bisa dinilai dari kognitifnya saja. Melainkan harus dengan afektif dan psikomotorik sesuai dengan teori Bloom.
Giroux melihat adanya kekerasan dalam pendidikan; kekerasan dalam merubah sekolah (universitas) sebagai pemberi pengetahuan menjadi pemberi tenaga kerja siap pakai untuk kapitalis – fenomenana ini bisa terlihat pada pembuatan Sekolah Menengah Kejuruan. Menurutnya, murid seharusnya diperjuangkan menjadi intelektual kritis, tetapi hanya menjadi pabrik kuli atau kuli ekonomi akibat dominasi penguasa[10].
Menurut Giroux, perkenalan sosial yang dibangun di sekolah dengan cara ditekan keras melalui kesepakatan, pasifitas dan ketertundukan, tanpa membuat ruang dialog dan komunikasi; akan mengakibatkan murid tidak mempunyai jiwa kritis sehingga hanya akan menghasilkan pencetak tukang. Dengan demikian, dalam perkenalan tersebut (murid-guru-kepala sekolah-pegawai); posisi murid sungguh sangat lemah dibandingkan kepala sekolah dan guru, alhasil perkenalan sosial itu menjadi ketertundukan para murid[11]. Tidak menjadikan murid sebagai intelektual kritis.
BAB III PENYELESAIAN PERMASALAHAN
A.    Pendidikan di Indonesia harus mengikuti Pendidikan untuk Sosialisme di Republik Bolivarian Venezuela.
1.      Pendidikan Publik (Pendidikan Bersama)
“Kekuatan pertama yang kita semua miliki adalah pengetahuan. Kami membuat upaya pertama dalam pendidikan dengan melawan buta huruf, untuk pengembangan berpikir, belajar dan analisis. Dari anak-anak usia satu tahun sampai usia tua kita semua sedang belajar dan belajar” (Sheehan, 2010)
“Baca, baca dan baca. Itu adalah tugas setiap hari. Membaca untuk membentuk kesadaran dan pikiran” Chavez (Merco Press, 2009). Pemerintahan Chavez mendistribusikan 2,5 juta buku untuk mengembangkan perpustakaan umum dan mengajak orang membaca secara bersama lalu bertukar pengetahuan lewat perpustakaan.
Bandingkan di Negara Indonesia, pendidikan bersama yang mereka dapatkan hanya melalui televisi. Rata-rata acara di televisi selalu ditampilkan sesuatu yang negatif; berita kecelakaan, demonstrasi anarkis, penipuan dan kejahatan pencopetan. Jika ini selalu ditampilkan, maka akan terjadinya bangsa kita ini menjadi bangsa yang negatif thingking (berpikiran buruk). Kehidupan perpolitikan kita juga sekarang ini lagi digoyang dan ditertawakan, karena banyaknya artis dangdut dan pelawak menjadi anggota dewan.
Kita selalu melihat acara lawak terpampang setiap hari di televisi, OVJ dan YKS. Menghasilkan budaya “ceng-cengang” diantara pelajar. Menyebarkan virus-virus kemerosotan moral karena banyak pelajar kita sekarang mengikuti Goyang Caisar. Jika ini terus ditampilkan, generasi bangsa kita hanya akan menjadi pelawak atau pembantu kapitalis. Tiada kritik dan membangun bangsa ini menjadi bangsa yang gemar membaca – berdiskusi seperti pemerintahan Hugo Chavez di Venezuela.
2.      Pendidikan Formal
Pada saat Chavez memimpin Venezuela, saat itu telah terjadi peningkatan besar dalam pendanaan untuk pendidikan dasar, menengah, dan tinggi[12]. Pendidikan selain diperuntukan bagi kaum miskin perkotaan dan pedesaan, akses pendidikan telah diperpanjang untuk kelompok tradisional kurang beruntung atau tersisih seperti keturunan Afrika dan masyarakat adat[13].
Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia khususnya di perkotaan; janganlah menciptakan strata pendidikan, dengan diberlakukannya sekolah unggulan, standard nasional dan internasional. Ilmu pengetahuan harus sosialis – dimiliki bersama; sejatinya pendidikan juga mesti sosialistis agar bangsa kita maju.
Pendidikan harus mencapai pedesaan atau pedalaman khususnya di pulau-pulau terpencil seperti Bangka Belitung, Sulawesi dan Papua. Aksesnya mesti mudah di gapai, jangan ada lagi anak sekolah dasar – ingin pergi ke sekolah harus berjalan berkilo meter dan menyebrangi jembatan tidak layak.
Di Republik Bolivarian Venezuela “politik” dalam pendidikan diartikulasikan melawan kapitalisme dan imperialisme dan untuk mendukung sosialisme (Hidayat, 2011: xxxvii). Pada 2008, kurikulum di orientasikan pada pengukuhan rasa kemanusiaan, demokrasi, kepemimpinan, partisipatif, multietnis, multibudaya, dan antarbudaya masyarakat[14]. Oleh sebab itu, sistem pendidikan Indonesia yang tadinya teachers centered mesti dihapus menjadi student centered agar terciptanya generasi Indonesia berjiwa demokrasi dan partisipatif.
Pada 2008 di Venezuela, kurikulum tersebut mengkritik kurikulum lama yang memperkuat “nilai-nilai fundamental dari sistem kapitalis: individualisme, egoisme, intoleransi, konsumerisme dan pendidikan tidak milik bersama – di privatisasi[15].
B.           Revolusi Pendidikan di Sekolah yang ada di Indonesia; alternatif di Barrio Pueblo Nuevo, Merida Venezuela (mengacu pada pinggiran luar kota-kota besar dihuni oleh masyarakat miskin kelas pekerja.-(Hidayat, 2011: x1vi))
1.      Menciptakan Ruang
Secara sosiologis, ruang sosial adalah dasar dari berbagai bentuk komunitas yang mengadakan interaksi[16]. Interaksi ini bisa berbentuk sharing pengalaman dan berdiskusi pengetahuan, sebab dahulunya di Barrio terdapat rasisme antara kulit hitam dan putih. Oleh karena itu, para guru disana ingin membuat alternatif untuk orang-orang muda yang telah tertinggal dalam sistem sekolah umum dan kembali terlibat dalam cara belajar partisipatif yang konsisten dengan nilai-nilai sosialis dan demokratis[17].
Nilai-nilai sosialis disini adalah kesetaraan, solidaritas, kerja sama, dan kerja kolektif[18]. Jadi didalam kelas tidak ada jarak antara kaya dan miskin, mesti adanya sikap solidaritas – jika salah satu anggota kelas sakit, dijenguk – kerja sama antara anggota kelas diwujudkan dalam pembagian tugas secara kelompok, lalu kerja kolektif (terpadu) antara struktur kelas yaitu ketua kelas, sekretaris dan seksi keamanan bekerja secara terpadu dalam menjaga kekompakan kelas demi mewujudkan cita-cita bersama; pendidikan untuk semua.
Sekolah bukan lagi “penjara” bagi murid-murid, melainkan menjadi ladang “surga baru” untuk semua interaksi dari murid terhadap guru. Proses mengajar yang tradisional (teachers centered) akan menghasilkan murid-murid individualis, egosentris sesuai dengan nilai kapitalis.
Sekolah bukan lagi menjadi ajang “ketakutan” murid terhadap guru, melainkan transformasi pengetahuan dan kasih sayang rasa kemanusiaan dari guru ke murid. Menciptakan ruang yang partisipatif dan demokrasi – berkesan dengan karakter pedagogi (guru) di dalam kelas akan menghasilkan murid-murid yang memiliki jiwa kritis dan peduli terhadap dunia sosialnya.
Chavez sangat menekankan pada demokrasi partisipatif. Gerrardo (Tokoh Sosialis Abad ke-20) mengatakan bahwa guru mencoba untuk mengajarkan anak-anak untuk menjadi “kritis dan proaktif” (Hidayat, 2011: xxxix). Di dalam demokrasi partisipatif kita akan menghilangkan guru yang otoriter terhadap kebijakannya, guru yang selama ini kita takuti akan berubah menjadi “belahan jiwa”; tentunya akan mengerti keadaan psikologis anak didiknya.
2.      Mengajarkan Keterpaduan, Kerja Sama, dan Demokratis Hidup
Di sekolah alternatif di Barrio Pueblo Nuevo, setiap hari dimulai dengan sarapan bersama (Hidayat, 2013: x1). Mereka mengadakan itu untuk tradisi persahabatan, solidaritas, rasa hormat dan berbagi. Guru disana mengajarkan pekerjaan dan berpikir yang dilakukan bersama seperti membersihkan kelas dan berdiskusi secara bersama.  
“Tidak ada orang yang dipaksa untuk melakukan apa pun dan tidak ada hukuman. Jika mereka tidak ingin berpartisipasi dalam suatu kegiatan, mereka hanya bisa pergi ke tempat lain, atau duduk dan menonton. Oleh karena itu, guru disana benar-benar untuk memotivasi siswa dan menarik mereka melalui kegiatan daripada disiplin dan ancaman rendah nilai atau apa pun” (Hidayat, 2013: x1i)
Pendidikan disana benar-benar demokratis dan tidak ada otoriterianisme antara murid dan guru.  Maka pendidikan yang dahulunya terus-menerus dilakukan dengan ancaman dan perintah “jika tidak mengerjakan PR akan dihukum” harus dirubah menjadi pekerjaan kelompok yang akan dibahas bersama di sekolah; dengan rasa persahabatan dan kasih sayang. Guru harus memotivasi siswa untuk aktif dikegiatan di dalam kelas maupun di luar kelas tanpa persaingan atau rangking dan nilai dari kegagalan.
Kegagalan yang disebabkan oleh rapot “merah” atau tidak sesuai kriteria ketuntasan belajar, akan menjadikan siswa mendapatkan label (cap) sebagai murid tidak pintar. Oleh karena itu, harus adanya keterpaduan antara guru terhadap murid sebagai pedagogi sejati; dengan terus menerus berinteraksi (sharing) pengetahuan supaya terciptanya demokratis hidup.
3.      Sekolah dan Masyarakat
Dalam hal ini sekolah mengajak para murid untuk aktif dan terlibat dalam kegiatan yang diadakan oleh masyarakat. Contoh kasus disini dijelaskan bagaimana siswa untuk terlibat dalam pemutaran film di masyarakat; bagaimana siswa mengatur tata bangku penonton, proses pemasangan kabel dan berinteraksi bersama masyarakat. Masyarakat juga dalam hal ini membantu para murid agar bisa mengenali realitas sosialnya – mengerti bagaimana ia harus berbuat dan berbicara – tidak mesti disuruh oleh guru atau otoriterianisme karena sekolah mengajarkan demokrasi partisipatif.
“Idenya adalah bahwa anak-anak memiliki dampak dalam masyarakat mereka, membawa pengalaman ini ke rumah mereka dan keluarga mereka sehingga mereka sekeluarga terintegrasi dalam proses pendidikan. Sekolah adalah mencoba untuk melaksanakan – terjadinya umpan balik yang kita capai antara masyarakat dan sekolah” (Hidayat, 2013: x1ii)
Anak-anak sekolah tidak teralienasi dari kehidupan bermasyarakat melainkan bercampur baur di dalam suatu realitas sosial seperti kerja bakti RT/RW. Anak-anak sekolah tidak hanya aktif di dalam sekolah, tetapi sudah menunjukan eksistensinya di dalam kehidupan bermasyarakat dengan menjadi bagian dari kehidupan bersama.
BAB IV PENUTUP
1.      Kesimpulan
Manajemen pendidikan tidak lepas dalam proses manajemen kurikulum dan tidak lepas dari kerjasama sosial antara dua orang atau lebih secara formal dengan bantuan sumber daya yang mendukungnya. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan menenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu.
Di samping itu, kurikulum yang menjadi pergulatan kekuasaan di Indonesia telah menjadi bukti bahwa pendidikan dijadikan untuk mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan kelompok dominan terhadap rakyat, oleh karena itu revolusi pendidikan kita harus segera dimulai.
Sebagai contoh pada masa pemerintahan Chavez di Venezuela, pendidikan untuk semua. Pendidikan untuk semua kalangan (sosialis) merupakan model pendidikan masa depan masyarakat yang benar-benar sosialis; pendidikan dapat dijangkau oleh seluruh aspek kalangan, sarana dan pra-sarana semua rata di dapat – tidak ada strata dalam pendidikan.
Guru-guru menerapkan sistem demokrasi partisipatif, sehingga tidak memunculkan sikap guru sebagai tukang suruh (majikan). Menghilangkan sikap guru yang otoriter adalah salah satu syaratnya, agar tidak menghasilkan murid-murid individualis, egosentris. Melainkan menghasilkan murid-murid yang terpadu, kerja sama dan demokratis hidup.
2.      Saran
Model pembelajaran tradisional seperti Teachers Centered harus dirubah menjadi Students Centered supaya murid-murid menjadi intelektual kritis, bukan menjadi tukang kuli ekonomi kapitalis.
Menciptakan perpustakaan umum atau komunal agar segenap lapisan masyarakat akan terbiasa membaca setiap harinya, bukan melihat acara tv yang merusak moral.

DAFTAR PUSTAKA

Hapsari, R., & Syukur, A. (2008). Eksplorasi Sejarah. Jakarta: Erlangga.
Hidayat, R. (2013). Pedagogi Kritis. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Hidayat, R. (2011). Pengantar Sosiologi Kurikulum. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Kurikulum. (n.d.). Retrieved September 15, 2013, from Wikipedia.
Manajemen. (n.d.). Retrieved September 15, 2013, from Wikipedia.





[1] Rakhmat Hidayat. 2011. Pengantar Sosiologi Kurikulum. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Hal: 217
[2] Hapsari dan Syukur. 2008. Eksplorasi Sejarah. Jakarta: Erlangga. Hal: 7
[3] Rakhmat Hidayat, op.cit.
[4] Rakhmat Hidayat, loc. cit., hal: 218
[5] Ibid, hal: 221
[6] Ibid, hal: 110
[7]Ibid., hal: 113
[8] Ibid.
[9] Ibid., hal: 115
[10] Ibid., hal: 181
[11] Ibid., hal: 189
[12] Rakhmat Hidayat. 2011. Pedagogi Kritis. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Hal: xxxvi
[13] Ibid.
[14] Ibid., hal: xxxvii
[15] Ibid.
[16] Suriani. 2011. Menghidupkan Ruang Sosial. Cirebon: Edukasi Press. Hal: 4
[17]  Rakhmat Hidayat. 2011. Pedagogi Kritis. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Hal: xxxviii
[18]  Ibid., hal: xxxix

No comments:

Post a Comment