Tuesday, 3 September 2013

Minimarket Berbasis Kafe: Simbol Eksistensi ̶ Rasionalisasi Konsumtif Masyarakat Ibukota

Minimarket Berbasis Kafe: Simbol Eksistensi  ̶  Rasionalisasi Konsumtif Masyarakat Ibukota
(Studi Kasus: Keberadaan Seven Eleven di Jakarta Bagi Mahasiswa
Pendidikan Sosial Reguler 2012 Universitas Negeri Jakarta)

1.    Pendahuluan
Jakarta sebagai ibukota memang dapat dikatakan sebuah kota yang metropolis. Hal itu terwujud karena semua kondisi-kondisi baik itu sosial, politik, maupun perekonomian terpusat di Jakarta. Oleh sebab itu, semua perkembangan mutakhir yang muncul, semuanya itu terwujud di Jakarta. Akan tetapi, perkembangan mutakhir tersebut tidak jarang memunculkan beberapa dampak-dampak yang dapat dikatakan negatif. Hal tersebut diperkuat dari adanya arus globalisasi yang ikut mempengaruhi jalannya perkembangan itu. Tidak jarang pula kesiapan masyarakat dalam menyikapi itu semua menjadi sebuah permasalahan. Transisi yang ada pun malah tidak diperhatikan, yang pada akhirnya dapat terjadi suatu keguncangan budaya (culture shock).
Dalam hal ini, yang  dapat diambil contoh kasus adalah maraknya minimarket berbasis kafe. Dengan segala produk ataupun kenyamanan yang mereka tawarkan dapat menarik perhatian masyarakat. Masyarakat pun seolah menjadi seperti melihat air di padang pasir. Ketika mereka merasa ‘kehausan’ dalam keinginan mereka terhadap hal tersebut, maka tempat itu muncul sebagai ‘air’ untuk memenuhi segala motif keinginan mereka, seperti hanya sekadar duduk-duduk dan memesan minuman, mengerjakan sesuatu entah itu tugas kuliah ataupun pekerjaan kantor, ataupun hanya menghabiskan uang dan waktu dengan menggunakan jasa hotspot wifi gratis. Inilah yang dikatakan Weber sebagai suatu rasionalisasi. Dalam hal ini Weber menyebutnya sebagai suatu rasionalitas formal, yaitu sebagaimana yang dipahami Weber, meliputi perhatian pada aktor yang memilih sarana dan tujuan. 
Dalam eksistensinya di dunia bisnis Jakarta, minimarket berbasis kafe ini muncul pertama kali sekitar tahun 2009. Dimulai dari Circle K. Circle K adalah sebuah minimarket yang beroperasi 24 jam penuh. Hal ini menjadikan popular di belahan dunia. Konsep minimaket seperti ini masih jarang di temukan. Circle K menjadi trend-setter bagi banyak minimarket sejenis yang muncul kemudian hari. mereka menyediakan berbagai minuman alkohol dan rokok yang cukup lengkap dan beroperasi 24 jam. Pengunjung pun mempunyai kebebasaan bahkan malam haripun menjadi salah satu tempat untuk berkumpul. Selain Cricle K, Seven eleven yang dikenal dengan istilah “sevel”  pun tak kalah populer di mata remaja. Sevel ini beroprasi 24 jam. Saat Anda menyusuri jalan-jalan di ibukota Jakarta, maka dengan mudah Anda pasti akan dapat menemukan outlet 7-Eleven. Kebanyakan outlet tersebut dipenuhi oleh anak-anak muda; baik pagi, siang, sore, malam, atau bahkan dini hari. Dengan cepat, 7-Eleven sudah terlihat sebagai jawara baru dalam arena kompetisi convenience store di Jakarta.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengulas tentang permasalah yang muncul dari maraknya minimarket berbasis kafe dewasa ini. Dimana minimarket berbasis kafe tersebut penulis khususkan pada salah satu tempat, yaitu outlet Seven Eleven.  Sevel kini dapat dikatakan merupakan bagian dari gaya hidup masyarakat, khususnya golongan pemuda. Hal tersebut terwujud dari eksistensi yang mereka sebut sebagai “gaul”. Dari tindakan ini, memungkinkan adanya tindakan yang rasional instrumental, seperti yang dikatakan Weber. Hal tersebut diwujudkan karena meliputi suatu pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya.  Selain itu, indikasi terhadap sikap ataupun arah dari budaya konsumtif masyarakat dapat menjadi suatu permasalahaan pokok nantinya.
Dari paparan di atas, penulis tertarik untuk mencoba membuat studi kasus tentang keberadaan Sevel. Di sini penulis mengambil sampel dari mahasiswa Pendidikan Sosiologi Reguler 2012, Universitas Negeri Jakarta. Dari pengamatan penulis, beberapa mahasiswa pada program studi tersebut merupakan pelanggan Sevel. Kemudian, mereka memiliki motif-motif tertentu dalam memanfaatkan keberadaan Sevel. Akan tetapi, menurut mereka, tidak ada hubungan antara keberadaan Sevel terhadap eksistensi mereka. Berdasarkan hasil wawancara pun, mereka menganggap bahwa faktor intelektuallah yang mempengaruhi mereka dalam melihat keberaadaan Sevel sebagai bentuk minimarket berbasis kafe.

2.    Minimarket Berbasis Kafe dalam Tren Bisnis di Ibukota

Seiring berkembangnya perekonomian di ibukota, tren bisnis pun ikut berkembang. Salah satunya maraknya minimarket berbasis kafe, khususnya di Jakarta. Perkembangan tersebut tidak lepas pengaruhnya dari produk barat tentunya. Dimulai dari kedatangan Circle K. Circle K adalah jaringan toko kelontong atau minimarket Internasional yang berasal dari Amerika Serikat. Perusahaan ini berdiri pada tahun 1951 di El Paso, Texas. Jaringan minimarket Circle K kini dimiliki dan dioperasikan oleh jaringan waralaba toko retail terbesar di Kanada, yaitu perusahaan Alimentation Couche-Tard.   Di Indonesia, khususnya di Jakarta, Circle K beropersai selama 24 jam dengan berbagai minuman alkohol dan rokok yang cukup lengkap menjadi trend setter. Di mata remaja, Circle K dicitrakan sebagai minimarket zaman sekarang, mereka menyediakan berbagai minuman alkohol dan rokok yang cukup lengkap dan beroperasi 24 jam. Pembeli dari gerainya juga diizinkan untuk duduk di depan gerainya sambil menikmati belanjaannya sehingga secara tidak langsung Circle K menjadi kawasan berkumpulnya remaja pada kala malam hari. 
Dengan perkembangannya, muncullah Seven Eleven sebagai produk ‘pesaing’ Circle K. Seven Eleven yang dikenal dengan istilah “sevel”  pun tak kalah populer di mata remaja. Sevel ini beroprasi 24 jam. Saat Anda menyusuri jalan-jalan di ibukota Jakarta, maka dengan mudah Anda pasti akan dapat menemukan outlet Sevel. Kebanyakan outlet tersebut dipenuhi oleh anak-anak muda; baik pagi, siang, sore, malam, atau bahkan dini hari. Dengan cepat Sevel sudah terlihat sebagai jawara baru dalam arena kompetisi convenience store di Jakarta. Dari data yang di hasilkan, sektor ritel modern mengalami pertumbuhan sekitar 38% dengan 18.152 toko di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sekitar 16.000 toko merupakan minimarket. 7-Eleven adalah jaringan internasional convenient store yang beroperasi di bawah Seven-Eleven Japan Co. Ltd., dan akhirnya dimiliki oleh Seven & I Holdings Co. dari Jepang. Perusahaan yang beroperasi dengan sistem waralaba ini memiliki lebih dari 39.000 outlet; melampaui rekor McDonald’s Corporation pada tahun 2007 dengan 1.000 toko ritelnya.
Sevel mencoba menciptakan sesuatu yang baru. Toko yang semula sebagai tempat berbelanja kini berubah wujud menjadi tempat berbelanja sekaligus untuk tempat hangout . Anak muda lebih bebas untuk nongkrong dengan nyaman. Sevel kini tidak lagi dicitrakan sebagai convenience store, tetapi lebih mirip seprti kombinasi antara restoran, minimarket dan tempat hangout. Kualitas yang ditawarkanpun bisa dikatakan high class. Dengan diiming-imingi fasilitas Wi-fi di mana dengan mudah bisa mengakses browsing gratis.Untuk urusan promosi, Sevel sudah mulai beriklan menggunakan billboard. Paket sarapan pagi sudah terlihat terpampang menghiasi beberapa billboard di kawasan Jakarta Selatan.
Dari dua produk yang telah disebutkan di atas, banyak produk-produk minimarket lain yang bermunculan dengan kafe sebagai produk utama yang dijadikan basisnya. Bahkan, dari beberapa produk lokal pun, seperti Indomaret, Alfamart, Alfamidi, dewasa ini sudah mulai mengembangkan seperti dua produk sebelumnya. Hal tersebutlah yang merupakan tren bisnis yang golongan pemuda sebagai sasaran untuk produk bisnisnya. Melihat dampaknya dari beberapa fasilitas dan produk yang ditawarkan, seperti Wifi Hotspot gratis, rokok, bahkan alkohol, merupakan suatu yang dapat mengarah ke arah yang negatif. Misalnya, dengan menghabiskan waktu untuk browsing hal-hal yang tidak penting, pelajar yang bebas merokok, sampai kepada memperjualbelikan minuman beralkohol yang pada hari-hari tertentu dijual secara bebas (tidak memandang usia).
Dengan kata lain, ketika kita memiliki uang untuk membeli apa yang kita inginkan, maka kita dapat membelinya. Tentunya, tanpa memperhatikan dampak yang muncul. Di sinilah letak keapatisan perusahaan tersebut. Dari tindakan mereka yang hanya memikirkan keuntungan semata, maka penulis mencoba menganalogikan konsep pemikiran Marx tentang Kapitalisme. Salah satu pengertian sentral Marx adalah bahwa kapitalisme lebih dari sekadar sistem ekonomi.  Artinya, dampak dari suatu yang ditawarkan oleh minimarket berbasis kafe tersebut tidak dapat hanya dikaitkan pada produk yang ditawarkan semata. Akan tetapi, kesenangan dari orang yang mengkonsumsi itulah sasaran dari minimarket berbasis kafe tersebut tentu tidak mempedulikan dampak dari fasilitas atau produk yang ditawarkan. Dari hal tersebutlah, Weber melihat fenomena sebagai suatu rasionalitas dan efisiensi yang terus meningkat dari suatu keberhasilan ekonomi walaupun etika kerja ditinggalkan.

3.    Sevel sebagai Simbol Eksistensi “Anak Muda”

Sebagian besar anak muda jaman sekarang terutama yang berada di kota-kota besar pernah ke Sevel. Menurut mereka Sevel adalah sebuah menjadi minimarket yang semakin lama dimodifikasi menjadi seperti kafe atau restoran. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis, kebanyakan dari responden datang ke Sevel untuk mengerjakan tugas dengan fasilitas wifi yang Sevel sediakan atau sekedar mengulur waktu dan menunggu orang. Kebanyakan dari mereka juga mengaku bahwa pertama kali mereka ke Sevel mereka sedikit asing karena Sevel sendiri berbeda dengan minimarket lain. Contoh sederhananya adalah mereka bingung bagaimana cara menggunakan mesin minuman yang ada di Sevel. Hal ini adalah hal baru bagi mereka yang justru menjadi keunikan Sevel di mata mereka. Keunikan inilah yang mungkin menjadi salah satu penyebab mereka ingin kembali ke Sevel.
Ketika mereka pertama kali datang ke sevel, mereka merasa asing dengan suasana di Sevel. Mereka merasa asing dengan segala sesuatu tentang Sevel. Seperti mesin minuman, mesin saus yang ada di Sevel, dan cara memesan makanannya. Salah satu dari tim penulis pernah tidak sengaja mengamati faktor dan motivasi anak muda datang ke Sevel. Awalnya mereka sekedar ingin tahu apa itu Sevel, tapi setelah mereka mencoba sekali datang ke Sevel, adanya efek keberlanjutan pada diri mereka shingga mereka ingin lagi dan lagi.
    Alasan mereka ketagihan ke Sevel beragam. Ketika tim penulis memberikan kuisioner kepada para pengunjung dan yang sudah pernah mengunjungi Sevel lewat polling yang ada di grup BBM (Blackberry Messenger), mereka memberikan jawaban yang beragam. Ada yang beralasan karna tempatnya nyaman, enak untuk dijadikan tempat diskusi, melepaskan penat, sekedar membeli makanan dan minuman, mengerjakan tugas karena ada fasilitas wifi. Ada juga yang memberikan alasan pada kami kalau Sevel dijadikan olehnya sebagai tempat yang pas untuk merokok agar tidak ketahuan oleh orang tuanya, mencari pacar atau menjadikan Sevel sebagai tempat yang pas untuk pacaran.
    Dibalik alasan itu semua, ada hal yang merugikan kita seperti waktu dan uang. Waktu terbuang karna hanya digunakan sekedar untuk nongkrong, pacaran, dan lainnya. Uang yang kita miliki juga terbuang karna tidak mungkin datang ke Sevel hanya untuk nongkrong ataupun memakai fasilitas wifi, pastinya kita harus membeli makanan atau minuman yang dijual di sevel. Bahkan biasanya remaja sering berbohong pada orang tuanya ketika mereka pulang terlambat karena nongkrong di sevel. Mereka harus berbohong karena mereka sulit mendapatkan ijin oleh orang tuanya bila hanya sekedar untuk nongkrong saja. Titik inilah yang membuat para remaja merasa dilemma antara berbohong dan harus nongkrong dengan teman-teman. Bila mereka tidak nongkrong, nantinya mereka diberikan label ‘tidak gaul’ oleh teman-temannya.
    Menurut Durkheim, fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal; atau bisa dikatakan fakta sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individual.
Bila dikaitkan dengan teori tersebut, individu atau remaja yang tidak pernah ke Sevel atau nongkrong di Sevel bersama teman-temannya yang lain akan di berikan label ‘tidak gaul’. Maka dari paksaan tersebut, membuat individu atau remaja terpaksa berbohong pada orang tuanya, terpaksa menghabiskan waktu dan uangnya karena adanya paksaan dari teman-temannya kalau tidak ke sevel, dia ‘tidak gaul’.
Penyebab lainnya adalah kebebasan yang Sevel sediakan. Kita bebas untuk ‘nongkrong’ di Sevel tanpa ada batasan waktu kemudian fasilitas wifi yang disediakan pun bisa membuat orang lupa waktu. Produk yang dijual oleh Sevel pun sebenarnya tidak terjangkau, untuk kalangan menengah bawah. Terbukti dengan harga minumannya yaitu slurpee yang harganya bisa diatas tujuh ribu rupiah. Kemudian makanannya yang harganya sama dengan harga pecel ayam dan nasi di pinggir jalan namun untuk porsi sangat jauh bedanya. Dari kemahalan-kemahalan produknya inilah terbangun opini dari masyarakat bahwa sevel adalah tongkrongan yang cukup eksklusif dan tempat ‘anak gaul’. Dari opini itulah jadi banyak orang yang ke Sevel hanya untuk bergaya.
Mengapa kami berani menyatakan seperti itu? Karena kami menemukan responden yang mengaku pernah memaksakan diri untuk ke Sevel padahal budget yang ia miliki tidak cukup. Secara garis besar, dalam teorinya tentang uang, Simmel mencoba menganalisis mengenai pengaruh adanya uang sebagai alat tukar terhadap perubahan gaya hidup manusia. Menurut Simmel, pertukaran ekonomi merupakan interaksi sosial. Ketika transaksi moneter menggantikan barter, maka terjadi perubahan penting dalam bentuk interaksi atau pelaku sosial. Dalam pengamatan Simmel, manusia modern telah menjadikan uang sebagai tujuan utama padahal sebenarnya uang hanya merupakan sarana.  Uang dapat mempertinggi kebebasan individu, paling tidak bagi mereka yang memiliki cukup uang.
Gaya hidup individu tidak terlalu banyak ditentukan oleh kebiasaan dan tradisi, seperti yang ditentukan oleh sumber-sumber keuangan yang mereka miliki untuk membeli perlengkapan-perlengkapan yang diperlukan untuk gaya hidup yang sudah mereka tentukan. Bentuk-bentuk sosial yang dominan dalam kehidupan modern sangat berbeda dalam berbagai hal dari bentuk-bentuk sosial dalam kehidupan tradisional. Dengan kata lain, gaya hidup masyarakat modern tidak ditentukan oleh kebiasaan dan tradisi apa yang ada di lingkungannya melainkan berapa uang yang ada di tangannya.
Dalam salah satu esainya yang menarik, Simmel mengilustrasikan kontradiksi gaya ini dengan berbagai cara. Di satu sisi, gaya adalah bentuk relasi sosial yang memungkinkan orang menyesuaikan diri dengan keinginan kelompok.  Gaya juga melibatkan proses historis. Pada tahap awal, individu menerima hal-hal yang cocok bagi dirinya tetapi lambat laun individu ini bisa melakukan penyimpangan atau melenceng. Akhirnya proses penyimpangan ini bisa saja membuat mereka mengadopsi pandangan yang sama tentang hal-hal yang terdapat dalam gaya tersebut. Contohnya seperti ini, seorang remaja awalnya tidak mengenal apa itu Sevel dalam artian ia belum pernah kesana.
Sevel bukanlah bagian dari gaya mereka. Kemudian mereka bergaul dengan teman-temannya yang ‘gaul’ dan sering ke Sevel. Tentu remaja ini beberapa kali akan ikut untuk berkumpul dengan teman-temannya. Pada awalnya mungkin remaja ini akan merasa bahwa itu menyimpang karena Sevel bukanlah bagian dari gayanya tapi lambat laun ia akan menerima itu atau bahkan mengadopsi pandangan teman-temannya bahwa ke Sevel itu ‘gaul’. Gaya juga bersifat dialektis yang berarti bahwa keberhasilan dan persebaran gaya tertentu pada akhirnya akan berujung pada kegagalan.  Suatu perbedaan dipandang cocok dan unik namun ketika banyak orang yang mengikuti atau menerimanya, gaya mulai tidak lagi berbeda dan dengan demikian gaya akan kehilangan daya tariknya. Pada saat ini mungkin Sevel masih diminati banyak orang karena tidak semua orang ‘suka nongkrong’ di Sevel. Tetapi, jika ‘nongkrong’ di Sevel ini menjadi gaya banyak orang meskipun dapat menghadirkan banyak keuntungan, Sevel sendiri akan kehilangan daya tariknya dan pasti akan banyak muncul tempat-tempat lain yang akan menjadi tongkrongan bagi anak ‘gaul’ itu tersebut.

4.    Rasionalisasi Konsumtif dan Dialektis Pelanggan Sevel

Melihat secara kontekstual, keberadaan Sevel yang telah disebutkan di atas memungkinkan telah terjadi suatu fenomena dimana minimarket tersebut sudah berubah fungsi, karena pandangan masyarakat. Sevel yang seharusnya fungsi utamanya sebagai minimarket dan tempat istirahat bagi orang-orang yang membutuhkan tempat peristirahatan saat di dalam perjalanan,  kini berubah menjadi tempat nongkrong, hal ini dikarenakan sevel memberikan ruang yang tepat untuk nongkrong. Selain itu, kemungkinan persepsi masyarakat, Sevel juga memiliki fungsi sebagai prestise, karena masyarakat menganggap Sevel adalah produk asing, sehingga orang yang mengunjungi Sevel berarti telah menggunakan produk asing tersebut, karena hal itu juga yang mendorong seseorang atau kelompok untuk pergi ke Sevel.
Karena di dorong dengan keinginan eksistensinya diakui tersebut, maka seseorang pergi ke Sevel dan menggunakan uangnya secara konsumtif, semakin lama ia semakin manjadi pelanggan setia, bahkan sampai memaksakan keinginannya, sampai manjadi seorang Sevelholic, yang juga membuatnya menjadi konsumtif. Jika dilihat dari teori weber tentang tindakan sosial, maka tindakan dari individu-individu yang pergi ke sevel adalah suatu tindakan rasional instrumental. Dimana tindakan tersebut ditentukan oleh harapan-harapan yang memiliki tujuan untuk dicapai dan Sevel sebagai sarana untuk mencapai tujuannya tersebut. Dengan rasional instrumental sebagai tipe tindakan individu tersebut, maka dapat dilihat dari bentuk rasionalitas formal seperti yang dikatakan Weber. Dari fasilitas dan produk yang ditawarkan, muncul suatu sarana rasional  dimana dapat kita ambil contoh seperti minuman slurpee yang dalam pelayanannya, seorang pelanggan dapat langsung melayani dirinya sendiri. Dapat dikatakan terdapat suatu keramahan yang disuguhkan oleh pihak Sevel itu sendiri sebagai wujud dari apresiasi mereka terhadap pelanggan dalam memberi kebebasan. Dengan demikian, dalam fasilitas ataupun produk yang ditawarkan oleh Sevel,  memungkinkan adanya rasionalisasi konsumtif sebagai suatu fenomena laten yang terjadi.
Sevel secara laten, telah melanggengkan kapitalisme. Hal tersebut dapat diibaratkan seperti individu-individu yang seperti diperbudak agar terus ke Sevel. Individu sebagai buruh dan Sevel sebagai kaum borjuis, hal ini dapat dilihat dari individu yang terus ke Sevel karena membuat Sevel sebagai kebutuhan, tanpa sadar mereka telah membuat kapitalisme di Indonesia semakin menjadi. Sevel menjadi sebuah sarana terbentuknya budaya baru di masyarakat yang tidak baik, seperti konsumtif dan sub-kebudayaan menyimpang contohnya adalah Sevel menjual produk minuman beralkohol secara bebas kepada masyarakat, meskipun hanya terdapat pada hari-hari tertentu.

Selain itu, penulis juga menganalisis bahwa memungkinkan adanya persoalan dialetktis pada pelanggan Sevel. Dari beberapa jawaban atas pertanyaan pada saat wawancara. Ada beberapa responden yang juga merupakan pelanggan Sevel mengutarakan pengalamannya saat sedang berada di Sevel. Kebanyakan dari mereka mengutarakan bahwa meskipun mereka sedang dalam kondisi keuangan yang menipis, pada saat itu mereka pun tetap memaksakan untuk tetap pergi bahkan berlama-lama di Sevel. Salah satu alasannya adalah tidak mau eksistensinya terusik karena adanya paksaan yang sifatnya eksternal dari kelompoknya. Dari situ beberapa dari mereka pun terpaksa meminjam uang temannya untuk memenuhi keinginan mereka di Sevel.
Inilah yang merupakan wujud dari asumsi pemikiran Marx tentang materialisme historis. Dalam materialisme historis diasumsikan bahwa manusia merupakan makhluk sosial dan makhluk yang tidak pernah puas sehingga terus mencari kebutuhan-kebutuhan materi dengan manusia lain (masyarakat) sebagai penunjangnya.  Kemudian, jika dianalisis lagi, maka keadaan yang beberapa responden alami merupakan suatu keadaan sosial yang kemudian mempengaruhi kesadaraanya tersebut. Selain itu, dari asumsi materialisme dialektisnya, Marx menganggap suatu pengetahuan atas realita yang muncul akan mempengaruhi kesadaran manusia. Selain itu, kenyataan merupakan konsep  yang letaknya diluar persepsi manusia.

5.    Keberadaan Sevel dalam Berbagai Kepentingan Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Reguler 2012
Sebagai mahasiswa yang menempuh pendidikan, mereka dituntut oleh padatnya jadwal kuliah, tugas, ujian, ataupun kegiatan lainnya yang dilakukan hampir setiap hari di kampus. Oleh karena itu banyak dari mereka merasakan penat dan jenuh sehingga membutuhkan sebuah tempat yang menunjang mereka untuk merefleksikan pikiran mereka dari segala kejenuhan. Salah satu hal yang mereka lakukan adalah dengan mengunjungi sebuah minimarket berbasis kafe seperti contohnya yaitu Sevel. Sevel merupakan gerai yang menyediakan aneka makanan dan minuman. Di Singapura, Sevel hanya sebatas minimarket saja. Namun di Jakarta, Sevel berubah menjadi minimarket berbasis kafe dengan fasilitas tempat duduk yang nyaman dan wifi gratis.
Berdasarkan penjabaran di atas, ternyata keberadaan Sevel di ibukota ini cukup mempengaruhi golongan intelektual, khususnya mahasiswa. Dalam tulisan ini, penulis mencoba menganalisis perkembangan dari keberadaan Sevel dalam berbagai kepentingan  mahasiswa, khususnya mahasiswa Pendidikan Sosiologi Reguler 2012. Dalam hal ini, penulis juga melakukan wawancara terkait persoalan yang penulis angkat. Dari wawancara tersebut, penulis mendapatkan beragam pernyataan terkait keberadaan Sevel dalam berbagai kepentingan mereka.
Inilah hasil angket penelitian dari 25 sampel yang diambil, dengan pertanyaan: Seberapa berperankah keberadaan Seven Eleven dalam eksistensi diri dan wujud dari kepentingan anda sebagai mahasiswa ?

Sumber: Penulis, 2013

          Bedasarkan data diatas, dapat disimpulkan bahwa Sevel tidak berpengaruh dalam eksistensi diri mahasiswa Pendidikan Sosiologi Reguler 2012. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa mahasiswa Pendidikan Sosiologi Reguler 2012 mengunjungi Sevel hanya untuk memenuhi keinginan mereka dalam hal makan, minum, dan berinteraksi dengan teman – teman mereka, bukan untuk pemenuhan eksistensi diri. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Georg Simmel dalam essaynya, Simmel (1904/1947; Gronow,1997; Nedelmann, 1990 ) menggambarkan kontradiksi – kontradiksi di dalam fesyen dengan berbagai cara. Menurut Simmel salah satu sifat fesyen adalah bersifat dialektis di dalam arti bahwa keberhasilan dan suatu penyebaran fesyen tertentu  pada akhirnya menghasilkan kegagalannya. Yakni, kekhasan sesuatu  menyebabkan ia dianggap sesuai dengan fesyen. Akan tetapi, setelah banyak orang menerimanya, kekhasan itu berhenti sebagai hal yang khas sehingga kehilangan daya tariknya. 
          Banyak kalangan yang melihat bahwa Sevel adalah sebuah bentuk penyegaran kreativitas dari fungsi sebuah minimarket. Tetapi, tidak semua kalangan merasa bahwa Sevel adalah sebuah trend  yang dapat meningkatkan eksistensi dalam diri, Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2012 beranggapan bahwa dengan mengunjungi Seven Eleven tidak memberikan pengaruh yang berati pada pemenuhan eksistensi diri. Menurut mereka, untuk memenuhi eksistensi dalam diri, tidak perlu mengikuti semua trend yang ada dimasyarakat. Pemenuhan Eksistensi dapat dilakukan dengan cara mengikuti kegiatan – kegiatan positif seperti mengikuti organisasi, acara sosial, dan lain-lain.
    Dari hasil wawancara, beberapa dari mahasiswa mengutarakan bahwa ruang untuk mengeksistensikan diri kita sebagai mahasiswa bukan melalui tempat tongkrongan, tetapi melalui kegiatan-kegiatan yang dapat bermanfaat bagi masyarakat luas, bukan hanya bermanfaat untuk segelintir orang. Selain itu, jika Sevel dijadikan sarana mewujudkan eksistensi diri sebagai mahasiswa, tidak ada perannya. Karena sebagai mahasiswa alat untuk menunjukan ekisistensinya yang utama tentu dalam bidang akademik dan non akademik, kedua hal itulah yang dilegitimasi. Namun, Sevel berperan dalam memfasilitasi proses bagi mahasiswa mendapatkan eksistensinya, yaitu dengan menyediakan ruang hiburan karena itulah salah satu kebutuhan manusia untuk beristirahat dan merefleksikan diri dalam mencapai tujuannya.

6.    Penutup

Hiruk-pikuk kota Jakarta ternyata memberikan peluang emas bagi para pebisnis untuk mengembangkan bisnisnya. Berkembangnya minimarket berbasis kafe di ibukota Jakarta ini sudah tidak dapat dihindarkan lagi eksistensinya. Berawal dari sebuah minimarket yang berbasis kafe yang kita kenal dengan nama Crcle-K membuat banyak pebisnis yang melirik usaha yang hamper sama. Berbagai produk serta layanan yang menggiurkan membuat mata banyak orang melirik untuk mengunjungi tempat tersebut. Namun yang pada awalnya fungsi dari tempat ini menjadi beralih fungsi menjadi tempat tongkrongan anak-anak muda yang berada di sekitar ibukota Jakarta. Tak kalah menariknya dari circle-k, tempat yang lebih booming dikenal oleh kauula muda saat ini adalah Sevel. Tempat ini juga meberikan banyak layanan yang membuat orang menikmati kenyamanan ketika berada di sana. Sevel saat ini dijadikan sebagai simbol eksistensi oleh para kawula muda. Budget tak dipermasalahkan oleh para kaula muda tersebut, yang tertanam dipikiran mereka adalah hanya hal gaya saja.
Mereka para kaula muda merasa kecanduan untuk kembali lagi dan kembali berkujung ketempat tersebut karena menurut mereka tempat tersebut memiliki keunian tersendiri dan di sevel juga merak tidak diberi batasan waktu untuk nongkrong atau hanya sekedar menikmati layanan gratis seperti wifi. Sevel secara laten, telah melanggengkan kapitalisme. Hal tersebut dapat diibaratkan seperti individu-individu yang seperti diperbudak agar terus ke Sevel. Individu sebagai buruh dan Sevel sebagai kaum borjuis. Akan tetapi, setelah dilakukannya penelitian lewat kuesioner dan wawancara pada mahasiswa Pendidikan Sosiologi Reguler, ternyata Sevel tidak berpengaruh terhadap eksistensi mereka. Mereka cenderung memanfaatkan Sevel sebagai tempat untuk sekadar nongkrong ataupun mengerjakan tugas. Lebih lanjut mereka mengutarakan bahwa eksistensi seharusnya ditunjukkan lewat prestasi, baik akademik maupun non-akademik. Dari hal tersebutlah, intelektual seseorang berbicara.
Di lain sisi bagi para pembisnis yang sudah berhasil menarik perhatian banyak orang dengan bisnis minimarket berbasisi kafe ini, semestinya perusahan memiliki tanggung jawab sosial (CSR). Tanggung jawab sosial ini diberikan perusahaan untuk para konsumen, karyawan serta lingkungan sekitar. Namun perhatian tersebar terfokus pada lingkungan agar tetap memperhatian pembanguna yang berkelanjutan. Selain dalam masalah lingkungan CSR juga bisa diberikan atau disumbangsihkan oleh perusahan untuk pemberian beasiswa bagi pelajar yang berprestasi atau pendirian sebuah yayasan, agar laba yang diperoleh memiliki manfaat bagi kalangan sekitar .

DAFTAR PUSTAKA
Johnson, D. P. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. (R. M. Lawang, Penerj.)
Jakarta: PT. Gramedia.
Ritzer, G., & Goodman, D. J. 2004. Teori Sosiologi. (Nurhadi, Penerj.) Bantul:
Kreasi Wacana.

Diambil dari Website:
Circle K. (n.d.). Retrieved Juni 4, 2013, from Wikipedia:
http://id.wikipedia.org/wiki/Circle_K.
Seven Eleven. (n.d.). Retrieved Juni 4, 2013, from Wikipedia:
http://id.wikipedia.org/wiki/Seven Eleven.
Tanggung Jawab Sosial (CSR). (n.d.). Retrieved Juni 4, 2013, from Wikipedia Website:
http://www.wikipedia.org/tanggungjawabsosial.


Minimarket Berbasis Kafe: Simbol Eksistensi  ̶  Rasionalisasi Konsumtif Masyarakat Ibukota
(Studi Kasus: Keberadaan Seven Eleven di Jakarta Bagi Mahasiswa
Pendidikan Sosial Reguler 2012 Universitas Negeri Jakarta)

Tugas Akhir Mata Kuliah “Teori Sosiologi Klasik”
Tema: Peran Perusahaan terhadap Permasalahan Sosial di Jakarta


Disusun Oleh:
Kelompok 1.

Bunga Hariyani (1)        Heni Yuhaeny (6)
Danies Mudeatama (2)    Nadia Larasati (7)
Desi Citra Sari    (3)        Siti Nurul K. (8)
Dina Maria T. (4)        Valmai Shirleen (9)
Handika Arnando (5)

PENDIDIKAN SOSIOLOGI REGULER 2012
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA


No comments:

Post a Comment