FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
( Studi Kasus : Ketika Perlombaan UKM dan Solative Sosiologi Tidak Disesuaikan Dengan Jadwal Kuliah Mahasiswa, Serta Pembedaan antara Masa SMA dan Kuliah)
Oleh: Ahmad Rofiki
4815 122 446
PENDAHULUAN
Masa kuliah adalah masa dewasa dini yang telah memikirkan masa depan. Ini ditandai dengan adanya semangat bersaing dan hasrat kuat untuk maju dalam karir1. Tidak seperti pada saat SMA yang masih kental dengan aroma persahabatan kuat. Dalam masa dewasa dini ini kita hanya menyisihkan waktu yang sedikit untuk bergaul bersama teman-teman kampus. Begitu pula ketika kampus mengadakan kegiatan perlombaan UKM dan Solative Sosiologi, kebanyakan dari teman-teman mahasiswa tidak mengikutinya. Di karenakan jadwal perkuliahan mereka tidak di sesuaikan dengan jadwal perlombaan. Tidak seperti di SMA, yang melakukan classmeeting atau perlombaan diadakan saat setelah UAS. Perlombaan di kampus diadakan sebelum UAS, kendati pun perlombaan itu diadakan setelah UAS. Saya yakin tidak ada yang mau untuk menonton. Kenapa demikian, karena kebanyakan mahasiswa sudah sibuk untuk mengurusi liburan pulang kampung mereka. Bagaimana menanamkan kepada para mahasiswa di jurusan sosiologi maupun yang lain supaya lebih mementingkan mengikuti perlombaan daripada mengikuti jadwal perkuliahan. Saya rasa mustahil, karena mereka lebih mementingkan mendapatkan nilai bagus, memikirkan masa depan dan membuat kedua orang tua bangga dengan cara lulus tepat waktu. Mahasiswa lebih memilih tindakan sosial Rasionalitas Instrumental dari pada tindakan solidaritas di dalam kelas untuk memenangi perlombaan UKM dan Solative Sosiologi.
1 Hurlock. Elizabeth. Psikologi Perkembangan. Edisi Kelima, hal. 250
SAYA MELAKUKAN TINDAKAN RASIONALITAS INSTRUMENTAL
Tindakan sosial merupakan tindakan mempengaruhi individu yang mempunyai makna bagi diri sendiri dan orang lain yang berada di dalam realitas sosial. Misalnya makna mengikuti kuliah dari pada mengikuti perlombaan buat saya adalah saya dapat lebih mengerti materi yang disampaikan oleh dosen. Tindakan sosial bersifat subjektif, subjektif disini maksudnya masing-masing orang dapat menginterpretasi tindakan tersebut secara berbeda-beda. Secara berbeda-beda adalah setuju atau tidaknya seseorang dengan tindakan sosial yang saya buat. Ada yang menginterpretasikan saya lebih baik mengikuti perlombaan dan mengaharumkan nama jurusan atau lebih baik saya masuk kelas dengan kuliah yang rajin supaya cepat lulus. Tindakan sosial mempunyai motif atau tujuan. Tujuan dari mengikuti kuliah dari pada mengikuti perlombaan adalah agar saya mendapatkan nilai A dari dosen dan lulus tepat waktu agar membahagiakan kedua orangtua.
Tindakan rasionalitas instrumental meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar akan berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya2. Dengan saya mengikuti kuliah daripada bersenang-senang kemudian tertawa. Saya lebih baik menggunakan kesempatan waktu untuk kuliah ini, dipergunakan dengan sebaik-baiknya supaya saya bisa lulus tepat waktu dan membahagiakan orangtua. Karena masa dewasa dini ini merupakan masa kuliah di masa diberlakukannya masa keterasingan sosial “ mereka harus mencurahkan tenaga mereka untuk pekerjaan mereka, sehingga mereka hanya dapat menyisihkan waktu sedikit untuk sosialisasi yang diperlukan untuk membina hubungan-hubungan yang akrab”3 . Dengan demikian, jangankan untuk mendengarkan pembicaraan orang-orang, entah atau mereka pun jadi sangat memikirkan diri sendiri dan menjadi individualis atau egosentris.
2 Jonhson, Doyle. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jilid 1, hal. 220
3 Op.Cit, hal. 250
SAYA MENGALAMI KESADARAN PALSU SERTA TERALIENASI
Saya mempunyai bakat di bidang seni, antara lain bermain drama dan membaca puisi. Sewaktu SMA saya sempat ditawarkan masuk IKJ dan PNJ oleh teman-teman SMA saya. Alih-alih saya akan meneruskan bakat yang saya punya, saya malah “kecemplung” di Universitas Negeri Jakarta ini. Orangtua saya menolak saya masuk IKJ, dan jarak PNJ dari rumah saya Palmerah JAKBAR itu sangat jauh. Akhirnya saya masuk UNJ atas kemauan saya sendiri dengan alasan jarak dari tumah terdekat. Kenapa saya memilih sosiologi, dikarenakan hanya menghapal kalimat serta kalimat. Namun berbeda ketika sudah masuk kuliah, butuh analisis lebih mendalam dan penghapalan kuat. Mengenai bakat yang saya miliki, saya ingin menyalurkannya lewat organisasi di UNJ yaitu Unit Kesenian Mahasiswa.
Saya merelakan segala hal untuk mengikuti semua persyaratan menjadi anak UKM, dari tidak mengikuti MAKRAB dan PKMJ Jurusan Sosiologi. Kemudian saya mengikuti latihan untuk acara mentas, kita seminggu latihan dua kali dari jam 5 sore sampai jam 8 malam. Ibarat nasi sudah jadi bubur, saya selama seminggu tersebut pulang malam, orang tua tidak setuju dengan perilaku saya, tugas dan presentasi di jurusan akan terus berjalan berbarengan dengan tubuh saya yang lemah dikarenakan terlalu sering pulang malam. Hingga pada akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari calon anggota anak UKM dan memutuskan menjadi anak Jurusan Sosiologi yang baik-baik. Walaupun saya telah berhenti dari organisasi UKM, saya tidak menyerah dalam mengasah bakat di bidang kesenian maupun olahraga basket. Saya mengasahnya dengan cara mengikuti perlombaan UKM di bidang puisi dan perlombaan solative di bidang basket, andaikata jadwal perkuliahan bisa diganti dan diubah. Namun sang dosen tidak berkehendak memindahkan jadwal, melainkan bersikukuh dengan alasan perlombaan hanya untuk senang-senang, bahkan buang-buang waktu. “Untuk saat ini yang terpenting adalah kuliah, masa depan, nilai bagus, dan lulus tepat waktu” kata Dosen. Dia lah sang dosen, si pemberi nilai dan kelulusan terhadap mahasiswa. Saya sebagai mahasiswa tidak bisa menolak mengenai kebijakan dosen yang tidak membolehkan menukar atau mengganti jadwal perkuliahan. Maupun saya juga tidak bisa melakukan demonstrasi terhadap sang dosen, karena status dosen merupakan “majikan” saya yang wajib dipatuhi. Akhirnya menimbulkan kesadaran palsu di dalam diri saya. Kesadaran palsu adalah kesadaran seseorang terhadap suatu hal, tetapi seseorang itu tak mampu merubah hal tersebut. Saya percaya bahwa kalau mengikuti kuliah dengan dosen dan belajar dengan tekun, pada akhirnya saya akan memperoleh kemampuan membaca puisi dan basket sejalan dengan keberhasilan indeks prestasi saya. Mungkin akan memperlihatkan kesadaran palsu, terutama jurusan saya di bidang Sosiologi dan tidak ada hubungannya dengan membaca puisi dan basket. Singkatnya saya sadar akan kemampuan berkesenian dan berolahraga yang saya punya dengan mengembangkan kemampuan itu semua lewat perlombaan UKM dan Solative Sosiologi di UNJ. Namun saya tidak mampu mengubah keinginan saya mengikuti perlombaan di UNJ, dikarenakan jadwal perkuliahan mutlak berada di tangan dosen, tidak bisa diganggu gugat dan banding.
Saya telah teralienasi oleh kebijakan dosen yang tidak mengubah jadwal perkuliahan, dengan menganggap dosen sebagai kapitalis. Hubungan kerja dan sifat dasar saya sebagai manusia telah di selewengkan oleh dosen.
Pertama, fakta bahwa kerja berada di luar diri pekerja, artinya, kerja tidak termasuk ke dalam keberadaan terdasarnya; sehingga di dalam pekerjaannya dia tidak menegaskan dirinya, akan tetapi menyangkalnya, dia tidak jengkel, tetapi tidak bahagia, dia tidak mengembangkan energi fisik dan mentalnya secara bebas, melainkan membuat malu dirinya dan merusak pikirannya. Oleh karena itu, pekerja merasa dirinya berada di luar pekerjaannya, dan di dalam pekerjaannya dia merasa di luar dirinya. Dia merasa nyaman dan gelisah. Oleh karena itu, kerjanya tidaklah sukarela, melainkan terpaksa; dipaksa bekerja. Walhasil, kerja tidak lagi menjadi pemenuhan kebutuhan, melainkan hanya sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan selain untuk kebutuhan untuk bekerja4.
4 Ritzer, George. Teori Sosiologi Klasik – Post Modern. Edisi Terbaru, hal. 55
Dengan menggunakan kalimat Marx di atas, kerja saya samakan dengan kuliah. Kuliah berada di luar diri saya, kuliah tidak termasuk dalam keberadaan terdasarnya; sehingga di dalam belajar mengajar di perkuliahan saya tidak menegaskan terdapat keberadaan saya, akan tetapi ingin memberontak, saya tidak jengkel, tetapi tidak bahagia, saya tidak berusaha untuk memukul dosen dan marah-marah di depan mukanya, melainkan membuat malu diri saya dan merusak pikiran saya ketika saya berada di dalam proses belajar mengajar perkuliahan. Oleh karena itu, saya merasa kuliah berada di luar aktifitas perkuliahan yang sesungguhnya, yaitu senang dan damai, dan di dalam perkuliahan, saya merasa di luar diri saya. Saya merasa nyaman dan gelisah. Kuliah tidak lah sukarela, melainkan terpaksa; di paksa kuliah. Walhasil, kuliah tidak lagi menyenangkan, melainkan hanya sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan selain untuk kebutuhan untuk kuliah, misalnya karena tuntutan orang tua, lingkungan, dan teman sebaya mengharuskan saya berkuliah.
Sejalan dengan mengharuskan saya untuk berkuliah tetapi teralienasi. Rasa keterasingan saya hilang, dengan saya mengikuti Perlombaan Maraton Sosiologi bersama teman-teman. Perlombaan tersebut diselenggarakan, pada hari kamis tanggal 31 Juni 2013 pada saat kuliah Statistika selesai pukul 17.00, serta diguyur hujan gerimis dan gelap gemerlap kampus di waktu malam. Meskipun saya tidak berhasil memenangkan lomba, baju basah dan kepala menjadi pusing. Kebahagiaan yang saya dapatkan sangat luar biasa. Tertawa, bercakap-cakap, menikmati pemandangan gerimis di sertai cahaya bulan, dengan bidadari yang saya punya di tengah-tengah mahasiswa lainnya di APRES. Kebahagiaan yang saya dapatkan bukan karena terpaksa, melainkan natural. Sedangkan mengutip Marx “ para pekerja di dalam kapitalisme teralienasi dari sesama pekerja “5 .
5Ibid, hal. 56
Ini adalah Foto ketika saya dan teman-teman mengikuti perlombaan Solative Maraton Sosiologi. Saya berada di paling kiri.
SAYA TER ALIE NASI DARI SE SAMA TE MAN KE LAS
Baik para pekerja di dalam kapitalisme maupun saya, ketika berada di kelas untuk belajar bersama dosen. Sedangkan di saat yang sama sedang di laksanakannya perlombaan UKM dan Solative Sosiologi adalah sama. Sama-sama teralienasi dari sesama pekerja atau teman kelas. Kuliah sangat di paksakan untuk berkompetisi secara langsung, dan tidak jarang saling konflik satu dengan yang lain. Semisal presentasi di depan kelas, proses bertanya dan menjawab, mengajukan pertanyaan dan memberi pendapat. Siapa yang mau dan lebih cepat akan mendapatkan nilai bagus serta dosen menjadi senang. Sedangkan bagi seseorang yang tidak bertanya dan tidak suka memberi pendapat akan mengalami kedengkian diantara sesama teman kelas, kedengkian membuat mereka teralienasi dari sesama pekerja atau teman kelas.
PEM BE DAAN MA SA SMA DAN KU LIAH
Memang sangat berbeda, ketika anda sudah masuk di kuliah dan ketika anda menjadi anak SMA. Pada saat SMA begitu terjalin kasih sayang antara guru dan murid, misalnya perduli terhadap perilaku murid. Setiap hari murid selalu cium tangan, senyum dengan manis tanpa merasa terpaksa dan berat. Karena murid juga senang dengan guru, guru selalu perhatian terhadap kondisi fisik, psikologis, dan teman sebaya diantara peserta didik. Setiap ada masalah atau konflik dapat terselesaikan dengan musyawarah melalui wali kelas atau guru BP. Mayoritas perkenalan antara guru dan murid mengenal, bahkan hapal mengenai nama-nama mereka masing-masing.
Guru dan murid pun tidak teralienasi antara sesama guru dan murid. Karena pada saat SMA sering banget diadakan acara untuk meningkatkan rasa solidaritas diantara sesama warga sekolah, di antaranya upacara bendera pada hari senin untuk meningkatkan rasa nasionalisme terhadap bangsa, kajian keagamaan pada hari jumat untuk yang muslim sholat jumat berjamaah dan non muslim bersama dengan non muslim lainnya beserta guru non muslim juga beribadah secara masing-masing, jika ada yang sakit di jenguk, pada saat bulan puasa dilaksanakan puasa bersama di sekolah dan buka puasa juga, setelah idul fitri diadakan acara saling memaafkan, pada saat idul adha di adakan pembagian daging kurban kepada warga sekitar sekolah, kesemuanya itu dilakukan agar terjadi integrasi yang kuat diantara guru dan murid maupun warga sekolah.
Sedangkan ketika di kuliah yang satu kelas terdiri dari 54 orang, diajarkan oleh satu orang dosen. Begitu tidak terjalin kasih sayang antara guru dan murid, bahkan sampai ada “ anda mau perhatikan silahkan, tidak juga silahkan “ tidak perduli atau cuek terhadap perilaku peserta didik. Jangankan setiap hari mahasiswa selalu cium tangan dosen, senyum dengan manis tanpa merasa terpaksa dan berat juga sulit untuk dilakukan. Di karenakan antara mahasiswa dan dosen tidak saling kenal mengenal. Dosen tidak menjalin keakraban dengan mahasiswa, begitu juga sebaliknya. Dosen tidak perhatian terhadap kondisi fisik, psikologis, dan teman sebaya diantara mahasiswa. Setiap masalah dengan teman sebaya, tidak ada upaya dari dosen untuk menyelesaikan masalah dengan cara musyawarah. Sehingga menimbulkan gejala apatisme individu ( cuek, masa bodoh, tidak mau tahu ), baik terhadap yang dikenal, terlebih yang tidak dikenal6 .
MAHASISWA TERALIENASI DARI POTENSI KEMANUSIAAN
Karena kuliah atau universitas mempunyai wilayah luas sehingga antara dosen dan mahasiswa tidak saling mengenal, jarak dari rumah pun jauh menyebabkan mereka hanya mementingkan semangat bersaing dan hasrat kuat untuk maju dalam karir, mengakibatkan mahasiswa dalam di dalam universitas teralienasi dari potensi kemanusiaan mereka sendiri.
Kerja tidak lagi menjadi transformasi dan pemenuhan sifat dasar manusia kita, akan tetapi membuat kita merasa kurang menjadi manusia dan kurang menjadi diri kita sendiri. Individu-individu menampakkan diri semakin kurang seperti manusia karena di dalam kerja, mereka tereduksi menjadi mesin-mesin. Bahkan senyum dan penghormatan kita diprogram dan dibuat naskahnya7 .
Dengan menggunakan kalimat Marx di atas, dapat dikatakan kuliah tidak lagi menjadi pemenuhan sifat dasar manusia, yaitu saling kenal mengenal dan perduli terhadap sesama, melainkan membuat mahasiswa menjadi cuek, masa bodoh, tidak mau tahu, baik terhadap yang dikenal, terlebih yang tidak dikenal. Mahasiswa hadir di universitas atau perkuliahan semakin kurang menjadi manusia karena di dalam mereka tereduksi menjadi mesin-mesin. Kuliah bukan lagi kemauan dari dalam diri sendiri untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, melainkan karena tuntutan keluarga dan lingkungan yang diprogram dan dibuat naskahnya. Senyum dan penghormatan hanya terjadi pada saat proses belajar mengajar perkuliahan di kelas yang palsu. Karena ketika selesai perkuliahan, senyum dan penghormatan itu tidak ada lagi, sebab ketika di luar perkuliahan, mereka sudah tidak ada relasi sosial lagi atau tidak mengenal.
6 Suriani. Menghidupkan Ruang Sosial Pendidikan, hal. 96. Edukasi Press.
7 Ritzer, George. Teori Sosiologi Klasik – Post Modern. Edisi Terbaru, hal. 57
MAK NA RU ANG KE LAS DI UNI VER SI TAS BA GI SAYA
Secara sosiologis, ruang sosial adalah dasar dari berbagai bentuk komunitas yang mengadakan interaksi8. Singkatnya ruang sosial adalah tempat di mana individu dapat beraktifitas atau berinteraksi dengan individu lain. Pengaruh globalisasi pun juga mempengaruhi proses pendidikan di Negara kita, ini terlihat dari masuknya paradigma positivisme logis oleh ilmuan barat yang membawa dampak bagi pendidikan kita saat ini. Ketika pendidikan kita sudah memakai pendidikan barat, sudah pasti barat akan membawa ideologi liberalismenya. Liberalisme ini lah yang menyebabkan mahasiswa tidak mengetahui akan makna kehidupan di dunia yang sesungguhnya, yaitu berhubungan kepada Tuhan dan berhubungan kepada manusia. Oleh sebab itu, kita tidak bisa hidup di dunia tanpa melakukan berhubungan kepada manusia, semisal saling kenal mengenal, tolong menolong, sehingga tidak menimbulkan gejala apatisme individu ( cuek, masa bodoh, tidak mau tahu ), baik terhadap yang dikenal, terlebih yang tidak dikenal . Dengan demikian, kita sebagai bangsa timur tidak bisa memakai pendidikan ala barat dengan liberalismenya. Masyarakat kita pada umumnya sudah meninggalkan nilai-nilai keagamaan ketika kecil sudah ditanamkan namun ketika beranjak dewasa mereka tinggalkan, seperti membaca al-quran selepas adzan magrib, puasa ramadhan, bersedekah atau membantu anak yatim dan terutama sholat. Tanpa liberalisme pun pendidikan kita bisa berhasil, semisal kita bisa mengambil contoh pemikiran sosiolog timur yaitu Ibnu Khaldun, karena beliau tidak menghilangkan aspek kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual sangat penting dipelajari dan dikaji di samping mengkaji ilmu-ilmu lainnya9 . Kehancuran suatu Negara, masyarakat, atau pun secara individu menurutnya dapat disebabkan oleh lemahnya nilai-nilai spiritual yang ditanamkan10 .
8Op.Cit, hal. 4 .
9 Alkhudri, Tarmiji. Pemikiran Pendidikan Ibnu Khaldun, hal. 136. Edukasi Press.
10 Ibid.,
PENUTUP
Masa kuliah merupakan masa memikirkan masa depan, nilai bagus, dan lulus tepat waktu. Bukan lagi saatnya bersenang-senang seperti mengikuti perlombaan UKM dan solative sosiologi. Ini ditandai dengan adanya semangat bersaing dan hasrat kuat untuk maju dalam karir. Bahkan hanya menyisihkan waktu sedikit untuk melakukan sosialisasi membina hubungan yang akrab, semisal berbincang-bincang bersama teman. Kebanyakan waktu mereka di pergunakan untuk menyelesaikan pekerjaan tugas, sehingga menimbulkan keterasingan sosial di diri masing-masing.
Dalam penelitian dapat disimpulkan, persaingan dan hasrat kuat untuk maju dalam karir menimbulkan alienasi sesama teman kelas dan potensi kemanusiaan individu. Oleh karena itu, untuk mencegah hal itu terulang kembali, kita harus merubah gejala apatisme individu ( cuek, masa bodoh, tidak mau tahu ), baik terhadap yang dikenal, terlebih yang tidak dikenal . Sehingga tidak menghilangkan makna kehidupan di dunia yang sesungguhnya yaitu, berhubungan dengan Tuhan dan berhubungan dengan manusia.
Untuk merubahnya kita tidak perlu lagi memakai pendidikan ala barat dengan liberalismenya, cukup dengan menanamkan kembali nilai-nilai budaya lama semisal saling kenal mengenal, tolong menolong, dan membiasakan nilai-nilai keagamaan yang sedari kecil kita sudah lakukan. Karena “ Tujuan semua amalan ajaran agama adalah menimbulkan disiplin yang mendalam pada jiwa, yang akan membawa kepada kepercayaan yang semestinya tentang keesaan Allah. Ini lah yang diartikan dengan keyakinan iman, dan ini lah yang membawa kepada kebahagiaan akhirat” Ibnu Khaldun, Muqaddimah (2000) .
DAFTAR PUSTAKA
Alkhudri, Tarmiji. Pemikiran Pendidikan Ibnu Khaldun. Bogor: Edukasi Press. 2011
Hurlock. Elizabeth. Psikologi Perkembangan. Edisi Kelima. McGraw-Hill: Erlangga. 1980
Jonhson, Doyle. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jilid 1. Jakarta: Gramedia. 1986
Ritzer, George. Teori Sosiologi Klasik – Post Modern. Edisi Terbaru. McGraw-Hill: Kreasi Wacana. 2012
Suriani. Menghidupkan Ruang Sosial Pendidikan. Cirebon: Edukasi Press. 2011
No comments:
Post a Comment