Agama Menurut
Para Tokoh Sosiologi
Durkheim adalah seorang yang agnostik. Perhatiannya
terhadap solidaritas dan integrasi, mengatakan
bahwa berkurangnya pengaruh agama tradisional merusakkan salah satu dukungan
tradisional yang utama, untuk standar moral bersama yang membantu mempersatukan
masyarakat di masa lampau. Durkheim tidak percaya dengan realitas supranatural
apa pun yang menjadi sumber perasaan agama tsb. Namun ada suatu kekuatan moral
yang superior yang memberi inspirasi kepada pengikut, dan kekuatan itu adalah
masyarakat, bukan Tuhan. Masyarakat merupakan kekuatan yang lebih besar dari
kekuatan kita. Ia melampaui kita, menuntut pengorbanan kita, menekan sifat
egois kita, dan mengisi kita dengan energi. Jadi Durkheim melihat Tuhan tak
lebih dari “sekadar hasil dari kata-kata yang di ucapkan masyarakat dan
simbolisasi-Nya”. Inilah yang menjadi dasar Durkheim menjadi agnostik.
(Paragraf induktif, sebab akibat. Agnostik: tidak mau
tahu dengan agama. Solidaritas: menunjuk pada satu keadaan
hubungan antara individu dan/atau kelompok yang didasarkan pada tujuan sama. Integrasi:
penyatuan individu terhadap kelompok.)
Bagi Marx, agama merupakan “Candu bagi Manusia”. Agama tradisional
mengemukakan bahwa penderitaan dan kesulitan mempunyai nilai rohani
positif kalau ditanggung dengan sabar, bahkan mungkin memperbesar kesempatan
bagi individu untuk memperoleh pahala di alam baka. Maka kemiskinan diubah
menjadi kebajikan, dan kekayaan diubah menjadi kemiskinan rohani. Sebagai
contoh, masyarakat lapisan bawah atau proletar yang dengan
sungguh-sungguh menerima nilai agama tradisional akan semakin mengukuhkan sikap
“nrimo” mereka yang pasif dan mereka akan lebih sedia memikul penderitaan
sehubungan dengan status kelas rendah mereka, daripada memberontak kaum
bourjuis .
(Paragraf deduktif, contoh. Nilai:
sesuatu yang dianggap baik/buruk. Lapisan: tingkatan antara
masyarakat bawah, menengah, dan bawah. Status: posisi seseorang
di masyarakat.)
Max Weber lebih memilih Protestan sebagai protes terhadap Katolik.
Menurut Weber, kepercayaan dan nilai yang terdapat dalam agama Katolik
menekankan perhatian individu pada kehidupan sesudah kematian, dan tujuan utama
hidup manusia dilihat sebagai persiapan untuk hidup sesudah kematian itu,
sehingga merendahkan kehidupan duniawi ini. Sedangkan agama Protestan
menganggap orang yang setia pada tugas pekerjaan di dunia dilihat sebagai tugas
agama, dan dengan demikian pula mereka yang secara sistematis mendisiplinkan
kehidupannya untuk mengontrol keinginan fisik dan nafsunya. Orang Protestan
mengakui sukses dan kesejahteraan yang dihasilkan oleh pekerjaannya, sebagai
tanda mereka akan bahagia di akhirat sana. Kesetiaan pada tugas-tugas
pekerjaan, membatasi konsumsi, dorongan prestasi yang kuat, dan gaya hidup yang
sangat rasional dan sistematis merupakan elemen-elemen yang terdapat baik dalam
Protestan maupun Kapitalisme. Etika Protestan mencerminkan dan memperbesar
kecenderungan bertambahnya rasionalitas, dan yang lebih penting
lagi memperlihatkan peran yang penting di mana ide-ide agama berperan dalam
perubahan sosial. Perubahan sosial tsb ditandai dengan adanya masyarakat ideal
menurut Weber yang melakukan otoritas legal-rasional diwujudkan dalam organisasi birokratis. Di
dalam organisasi birokratis terdapat pemisahan yang tegas dan sistematis antara
apa yang bersifat pribadi, seperti emosi, perasaan, hubungan sosial pribadi,
dalam artian kebijakan yang dibuat demi kepentingan organisasi itu saja, bukan
karena kebutuhan atau keinginan pribadi. Singkatnya, Protestan membantu
meningkatkan kapitalisme dengan menyucikan kegiatan ekonomi sehari-hari sebagai
sesuatu yang mempunyai arti religius di dalam suatu abad di mana motivasi
individu sangat bersifat religius.
(Paragraf campuran, perbandingan. Rasionalitas:
pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Otoritas:
hak untuk mempengaruhi karena didukung oleh peraturan dan norma yang mendasari
keteraturan sosial. Legal-rasional: seperangkat peraturan yang
diundangkan secara resmi dan diatur secara prosedur diterima serta sah, dilihat
sebagai seuatu yang mengikat . Singkatnya, orang menduduki posisi tsb sudah
diseleksi menurut peraturan yang sah dan diterima, bukan secara kebetulan.)
Ketiga tokoh tsb mempunyai pandangannya masing-masing tentang
agama, pandangannya tsb dipengaruhi latar belakang sosial kehidupan mereka. Durkheim
yang ayahnya adalah seorang rabbi yahudi, namun ketika remaja dia menyimpang
dari kebiasaan menjadi rabbi berubah menjadi katolik karena pengaruh gurunya.
Setelah itu dia menjadi orang yang agnostik karena dia tidak percaya dengan
realitas supranatural apa pun yang menjadi sumber perasaan agama tsb. Dia
percaya bahwa masyarakat lah yang mempunyai kekuatan moral sehingga memberi
inspirasi kepada pengikut, bukan Tuhan. Bahkan dia melihat Tuhan tak lebih dari
“sekadar hasil dari kata-kata yang di ucapkan masyarakat dan simbolisasi-Nya”.
Marx berasal dari keluarga rabbi Yahudi, karena kepentingan politik dan sosial
ayahnya menjadi Protestan. Kemudian dalam kehidupan Marx menekankan pandangan
bahwa kepercayaan-kepercayaan agama tidak memberikan pengaruh paling penting
terhadap perilaku, tetapi sebaliknya, kepercayaan agama itu mencerminkan
faktor-faktor sosial ekonomi yang mendasar. Mengakibatkan Marx mengenai agama
yang merupakan “Candu bagi Manusia” dalam artian kemiskinan diubah menjadi
kebajikan, dan kekayaan diubah menjadi kemiskinan rohani. Masyarakat lapisan
bawah atau proletar yang dengan sungguh-sungguh menerima kepercayaan agama
akan semakin mengukuhkan sikap “nrimo” mereka yang pasif dan mereka akan lebih
sedia memikul penderitaan sehubungan dengan status kelas rendah
mereka daripada memberontak kaum bourjuis. Max Weber dibesarkan di berlin,
ayahnya seorang politisi yang suka senang-senang, sedangkan ibunya seorang Protestan
yang saleh dan penuh dengan tanggung jawab. Keluarganya mengalami ketegangan,
ayahnya melakukan kompromi dengan Weber atau ibunya dengan tangan besi, bahkan
sampai menganiaya istrinya. Selama satu tahun tugas militer, Weber tinggal
bersama tantenya dari pihak sang ibu. Keluarga tantenya sangat harmonis serta
mengajarkan nilai-nilai Protestan, berbeda dengan keluarga Weber yang broken
home. Weber sangat dipengaruhi oleh mereka dan lebih mengikuti ibu yang
Protestan daripada bapanya, akibatnya Weber menilai etika Protestan
mencerminkan dan memperbesar kecenderungan bertambahnya rasionalitas,
dan yang lebih penting lagi memperlihatkan peran yang penting di mana ide-ide
agama berperan dalam perubahan sosial. Perubahan sosial tsb ditandai dengan
adanya masyarakat ideal menurut Weber yang melakukan otoritas
legal-rasional diwujudkan dalam
organisasi birokratis. Proses kehidupan yang berbeda dialami oleh ketiga tokoh
sosiologi membuat mereka memiliki pandangannya masing-masing tentang agama.
Namun, di Indonesia sekarang ini terdapat lima agama, yaitu Islam, Kristen,
Buddha, Hindu, Konghucu. Islam adalah agama mayoritas di Indonesia. Ada satu
tokoh sosiologi islam bernama Ibnu Khaldun, yang akan penulis ceritakan pada
paragraf selanjutnya.
(Paragraf campuran, proses. Lapisan: tingkatan
antara masyarakat bawah, menengah, dan bawah. Status: posisi seseorang
di masyarakat. Rasionalitas: pertimbangan yang sadar dan pilihan
bahwa tindakan itu dinyatakan. Otoritas: hak untuk mempengaruhi
karena didukung oleh peraturan dan norma yang mendasari keteraturan sosial. Legal-rasional:
seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi dan diatur secara prosedur
diterima serta sah, dilihat sebagai seuatu yang mengikat . Singkatnya, orang
menduduki posisi tsb sudah diseleksi menurut peraturan yang sah dan diterima,
bukan secara kebetulan.)
Ibnu Khaldun lahir di Tunisia Afrika Utara, ia lahir dan besar di tengah kehidupan sosial
masyarakat islam yang penuh dengan gejolak, kemerosotan, dan disintegrasi. Masyarakat
islam yang mengalami penurunan pengetahuan dan peradaban, masyarakat yang
tengah mengalami konflik dan intrik politik, dan pemerintahan yang digerogoti
oleh korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun mengatakan
“Tujuan semua amalan ajaran agama adalah menimbulkan disiplin yang mendalam
pada jiwa, yang akan membawa kepada kepercayaan yang semestinya tentang keesaan
Allah. Inilah yang diartikan dengan keyakinan iman, dan inilah yang membawa
kepada kebahagiaan akhirat” . Kehancuran suatu negara, masyarakat, ataupun
secara individu menurutnya dapat disebabkan oleh lemahnya nilai-nilai
spiritual yang ditanamkan. Dengan demikian, kecerdasan spiritual
haruslah ditanamkan kepada masyarakat untuk melakukan perbaikan dunia (ishlah
fil ardh, wordl reform).
(Paragraf induktif, sebab akibat. Nilai: sesuatu yang dianggap baik
atau buruk. Spiritual: nilai-nilai yang terdapat dalam agama)
Singkatnya menurut penulis, kehidupan masyarakat Islam di Indonesia
sama halnya dengan masyarakat Islam pada masa Khaldun lahir. Masyarakat yang
mengalami penurunan pengetahuan dan peradaban, masyarakat yang tengah mengalami
konflik dan intrik politik, dan pemerintahan yang digerogoti oleh
korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh sebab itu, penulis mengajak kepada semua
masyarakat Indonesia untuk menanamkan kembali nilai-nilai
keagamaan yang pada saat sekarang ini mulai terkikis bahkan hilang. Nilai-nilai
keagamaan sangat penting dipelajari dan dikaji, disamping mengkaji ilmu-ilmu
lainnya. Sehingga kecerdasan spiritual dapat tertanam diseluruh anggota
masyarakat untuk melakukan perbaikan dunia (ishlah fil ardh, wordl reform).
(Paragraf deduktif, sebab akibat. Konflik: persaingan yang disertai
dengan benturan. Nilai: sesuatu yang dianggap baik atau buruk)
No comments:
Post a Comment