Thursday 5 September 2013

Tugas Bhs.Indonesia Mengembangkan Paragraf; OPIKI.

Agama Menurut Para Tokoh Sosiologi

Durkheim adalah seorang yang agnostik. Perhatiannya terhadap solidaritas dan integrasi, mengatakan bahwa berkurangnya pengaruh agama tradisional merusakkan salah satu dukungan tradisional yang utama, untuk standar moral bersama yang membantu mempersatukan masyarakat di masa lampau. Durkheim tidak percaya dengan realitas supranatural apa pun yang menjadi sumber perasaan agama tsb. Namun ada suatu kekuatan moral yang superior yang memberi inspirasi kepada pengikut, dan kekuatan itu adalah masyarakat, bukan Tuhan. Masyarakat merupakan kekuatan yang lebih besar dari kekuatan kita. Ia melampaui kita, menuntut pengorbanan kita, menekan sifat egois kita, dan mengisi kita dengan energi. Jadi Durkheim melihat Tuhan tak lebih dari “sekadar hasil dari kata-kata yang di ucapkan masyarakat dan simbolisasi-Nya”. Inilah yang menjadi dasar Durkheim menjadi agnostik.
(Paragraf induktif, sebab akibat. Agnostik: tidak mau tahu dengan agama. Solidaritas: menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan/atau kelompok yang didasarkan pada tujuan sama. Integrasi: penyatuan individu terhadap kelompok.)

Bagi Marx, agama merupakan “Candu bagi Manusia”. Agama tradisional mengemukakan bahwa penderitaan dan kesulitan mempunyai nilai rohani positif kalau ditanggung dengan sabar, bahkan mungkin memperbesar kesempatan bagi individu untuk memperoleh pahala di alam baka. Maka kemiskinan diubah menjadi kebajikan, dan kekayaan diubah menjadi kemiskinan rohani. Sebagai contoh, masyarakat lapisan bawah atau proletar yang dengan sungguh-sungguh menerima nilai agama tradisional akan semakin mengukuhkan sikap “nrimo” mereka yang pasif dan mereka akan lebih sedia memikul penderitaan sehubungan dengan status kelas rendah mereka, daripada memberontak kaum bourjuis .
 (Paragraf deduktif, contoh. Nilai: sesuatu yang dianggap baik/buruk. Lapisan: tingkatan antara masyarakat bawah, menengah, dan bawah. Status: posisi seseorang di masyarakat.)

Max Weber lebih memilih Protestan sebagai protes terhadap Katolik. Menurut Weber, kepercayaan dan nilai yang terdapat dalam agama Katolik menekankan perhatian individu pada kehidupan sesudah kematian, dan tujuan utama hidup manusia dilihat sebagai persiapan untuk hidup sesudah kematian itu, sehingga merendahkan kehidupan duniawi ini. Sedangkan agama Protestan menganggap orang yang setia pada tugas pekerjaan di dunia dilihat sebagai tugas agama, dan dengan demikian pula mereka yang secara sistematis mendisiplinkan kehidupannya untuk mengontrol keinginan fisik dan nafsunya. Orang Protestan mengakui sukses dan kesejahteraan yang dihasilkan oleh pekerjaannya, sebagai tanda mereka akan bahagia di akhirat sana. Kesetiaan pada tugas-tugas pekerjaan, membatasi konsumsi, dorongan prestasi yang kuat, dan gaya hidup yang sangat rasional dan sistematis merupakan elemen-elemen yang terdapat baik dalam Protestan maupun Kapitalisme. Etika Protestan mencerminkan dan memperbesar kecenderungan bertambahnya rasionalitas, dan yang lebih penting lagi memperlihatkan peran yang penting di mana ide-ide agama berperan dalam perubahan sosial. Perubahan sosial tsb ditandai dengan adanya masyarakat ideal menurut Weber yang melakukan otoritas legal-rasional  diwujudkan dalam organisasi birokratis. Di dalam organisasi birokratis terdapat pemisahan yang tegas dan sistematis antara apa yang bersifat pribadi, seperti emosi, perasaan, hubungan sosial pribadi, dalam artian kebijakan yang dibuat demi kepentingan organisasi itu saja, bukan karena kebutuhan atau keinginan pribadi. Singkatnya, Protestan membantu meningkatkan kapitalisme dengan menyucikan kegiatan ekonomi sehari-hari sebagai sesuatu yang mempunyai arti religius di dalam suatu abad di mana motivasi individu sangat bersifat religius.
(Paragraf campuran, perbandingan. Rasionalitas: pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Otoritas: hak untuk mempengaruhi karena didukung oleh peraturan dan norma yang mendasari keteraturan sosial. Legal-rasional: seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi dan diatur secara prosedur diterima serta sah, dilihat sebagai seuatu yang mengikat . Singkatnya, orang menduduki posisi tsb sudah diseleksi menurut peraturan yang sah dan diterima, bukan secara kebetulan.)

Ketiga tokoh tsb mempunyai pandangannya masing-masing tentang agama, pandangannya tsb dipengaruhi latar belakang sosial kehidupan mereka. Durkheim yang ayahnya adalah seorang rabbi yahudi, namun ketika remaja dia menyimpang dari kebiasaan menjadi rabbi berubah menjadi katolik karena pengaruh gurunya. Setelah itu dia menjadi orang yang agnostik karena dia tidak percaya dengan realitas supranatural apa pun yang menjadi sumber perasaan agama tsb. Dia percaya bahwa masyarakat lah yang mempunyai kekuatan moral sehingga memberi inspirasi kepada pengikut, bukan Tuhan. Bahkan dia melihat Tuhan tak lebih dari “sekadar hasil dari kata-kata yang di ucapkan masyarakat dan simbolisasi-Nya”. Marx berasal dari keluarga rabbi Yahudi, karena kepentingan politik dan sosial ayahnya menjadi Protestan. Kemudian dalam kehidupan Marx menekankan pandangan bahwa kepercayaan-kepercayaan agama tidak memberikan pengaruh paling penting terhadap perilaku, tetapi sebaliknya, kepercayaan agama itu mencerminkan faktor-faktor sosial ekonomi yang mendasar. Mengakibatkan Marx mengenai agama yang merupakan “Candu bagi Manusia” dalam artian kemiskinan diubah menjadi kebajikan, dan kekayaan diubah menjadi kemiskinan rohani. Masyarakat lapisan bawah atau proletar yang dengan sungguh-sungguh menerima kepercayaan agama akan semakin mengukuhkan sikap “nrimo” mereka yang pasif dan mereka akan lebih sedia memikul penderitaan sehubungan dengan status kelas rendah mereka daripada memberontak kaum bourjuis. Max Weber dibesarkan di berlin, ayahnya seorang politisi yang suka senang-senang, sedangkan ibunya seorang Protestan yang saleh dan penuh dengan tanggung jawab. Keluarganya mengalami ketegangan, ayahnya melakukan kompromi dengan Weber atau ibunya dengan tangan besi, bahkan sampai menganiaya istrinya. Selama satu tahun tugas militer, Weber tinggal bersama tantenya dari pihak sang ibu. Keluarga tantenya sangat harmonis serta mengajarkan nilai-nilai Protestan, berbeda dengan keluarga Weber yang broken home. Weber sangat dipengaruhi oleh mereka dan lebih mengikuti ibu yang Protestan daripada bapanya, akibatnya Weber menilai etika Protestan mencerminkan dan memperbesar kecenderungan bertambahnya rasionalitas, dan yang lebih penting lagi memperlihatkan peran yang penting di mana ide-ide agama berperan dalam perubahan sosial. Perubahan sosial tsb ditandai dengan adanya masyarakat ideal menurut Weber yang melakukan otoritas legal-rasional  diwujudkan dalam organisasi birokratis. Proses kehidupan yang berbeda dialami oleh ketiga tokoh sosiologi membuat mereka memiliki pandangannya masing-masing tentang agama. Namun, di Indonesia sekarang ini terdapat lima agama, yaitu Islam, Kristen, Buddha, Hindu, Konghucu. Islam adalah agama mayoritas di Indonesia. Ada satu tokoh sosiologi islam bernama Ibnu Khaldun, yang akan penulis ceritakan pada paragraf selanjutnya.
(Paragraf campuran, proses. Lapisan: tingkatan antara masyarakat bawah, menengah, dan bawah. Status: posisi seseorang di masyarakat. Rasionalitas: pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Otoritas: hak untuk mempengaruhi karena didukung oleh peraturan dan norma yang mendasari keteraturan sosial. Legal-rasional: seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi dan diatur secara prosedur diterima serta sah, dilihat sebagai seuatu yang mengikat . Singkatnya, orang menduduki posisi tsb sudah diseleksi menurut peraturan yang sah dan diterima, bukan secara kebetulan.)

Ibnu Khaldun lahir di Tunisia Afrika Utara,  ia lahir dan besar di tengah kehidupan sosial masyarakat islam yang penuh dengan gejolak, kemerosotan, dan disintegrasi. Masyarakat islam yang mengalami penurunan pengetahuan dan peradaban, masyarakat yang tengah mengalami konflik dan intrik politik, dan pemerintahan yang digerogoti oleh korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun mengatakan “Tujuan semua amalan ajaran agama adalah menimbulkan disiplin yang mendalam pada jiwa, yang akan membawa kepada kepercayaan yang semestinya tentang keesaan Allah. Inilah yang diartikan dengan keyakinan iman, dan inilah yang membawa kepada kebahagiaan akhirat” . Kehancuran suatu negara, masyarakat, ataupun secara individu menurutnya dapat disebabkan oleh lemahnya nilai-nilai spiritual yang ditanamkan. Dengan demikian, kecerdasan spiritual haruslah ditanamkan kepada masyarakat untuk melakukan perbaikan dunia (ishlah fil ardh, wordl reform).
(Paragraf induktif, sebab akibat. Nilai: sesuatu yang dianggap baik atau buruk. Spiritual: nilai-nilai yang terdapat dalam agama)

Singkatnya menurut penulis, kehidupan masyarakat Islam di Indonesia sama halnya dengan masyarakat Islam pada masa Khaldun lahir. Masyarakat yang mengalami penurunan pengetahuan dan peradaban, masyarakat yang tengah mengalami konflik dan intrik politik, dan pemerintahan yang digerogoti oleh korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh sebab itu, penulis mengajak kepada semua masyarakat Indonesia untuk menanamkan kembali nilai-nilai keagamaan yang pada saat sekarang ini mulai terkikis bahkan hilang. Nilai-nilai keagamaan sangat penting dipelajari dan dikaji, disamping mengkaji ilmu-ilmu lainnya. Sehingga kecerdasan spiritual dapat tertanam diseluruh anggota masyarakat untuk melakukan perbaikan dunia (ishlah fil ardh, wordl reform).
(Paragraf deduktif, sebab akibat. Konflik: persaingan yang disertai dengan benturan. Nilai: sesuatu yang dianggap baik atau buruk)


No comments:

Post a Comment