Fenomena Ayam Kampus: Sebuah Fakta Sosial dan
Simbol Determinisme Ekonomi
(Studi Kasus: Pandangan
Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Reguler 2012 Tentang Fenomena Ayam Kampus Terhadap Citra ‘Almamater’
Kampusnya)
Oleh:
Danies Mudeatama (4815122429)
Pendidikan
Sosiologi Reguler 2012
Universitas
Negeri Jakarta
1.
Pendahuluan
Fenomena
ayam kampus dewasa ini sedang marak
diberitakan keberadaannya oleh para pemburu berita, dari media cetak hingga
media elektronik. Hal tersebut ditambah lagi dengan adanya pemberitaan terkait ayam kampus tersebut dengan salah satu
politisi pada salah satu partai. Beragam pemberitaan lain pun menyebar dengan
berbagai macam topik pemberitaan tentang ayam
kampus tersebut. Tentunya, banyak pertanyaan publik muncul tentang keberadaan
ayam kampus tersebut. Salah satunya
adalah alasan ayam kampus tersebut
melakukan pekerjaan seperti itu. Padahal, yang diketahui publik adalah mereka
semua (ayam kampus) merupakan
kalangan intelektual yang bernamakan mahasiswi.
Beberapa
media mengungkapkan bahwa dari hasil wawancara yang mereka lakukan terhadap
beberapa ayam kampus ditemukan
beberapa alasan sebab mereka melakukan hal tersebut. Salah satunya adalah
karena alasan ekonomi. Inilah yang menyebabkan mereka melakukan perbuatan yang
menodai citra mereka sebagai manusia. Dilihat dari sudut pandang sosiologi,
Marx mengatakan bahwa hal seperti ini merupakan suatu determinisme ekonomi yang
menekan kondisi sosial dari pengalaman materil yang telah dialami ayam kampus tersebut. Hubungan antara infrastruktur
ekonomi dan superstruktur budaya dan struktur sosial yang dibangun atas dasar
itu merupakan akibat langsung yang wajar dari kedudukan materialisme historis[1]
yang telah Marx ungkapkan. Yaitu, pada salah satu asumsinya adalah bahwa suatu
keadaan sosial yang dialami individu, maka akan mempengaruhi kesadaran individu
tersebut.
Selain
itu, dalam hal ini, fenomena ayam kampus juga
dapat dianalisis dari pemikiran Durkheim tentang fakta sosial. Fakta sosial
adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri
individu sebagai sebuah paksaan eksternal; atau juga bisa dikatakan bahwa fakta
sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan
pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi
individual.[2]
Oleh karena itu, jika fenomena ayam
kampus ini yang dinilai Marx sebagai determinisme ekonomi, maka Durkheim
melihatnya sebagai adanya sebuah paksaan eksternal yang tentunya tidak bisa
direduksi kepada individu, namun mesti dipelajari sebagai sebuah realitas dalam
fakta sosialnya.[3]
Dari
yang diungkapkan juga oleh beberapa media, keberadaan ayam kampus dalam eksistensinya banyak dipengaruhi berbagai macam
motif. Menurut berita yang dimuat dalam Harian
Warta Kota, keberadaan ayam kampus
tersebut sudah menjadi seperti sebuah jaringan. Dimana terdapat peran seorang
“mucikari”[4]
dalam mengelola jaringan ayam kampus tersebut.
Oleh karena itu, dalam surat kabar tersebut mengatakan bahwa jaringan ayam kampus tersebut seperti layaknya
jaringan MLM (Multi Level Marketing).[5]
Selain itu, eksistensi ayam kampus tersebut
ternyata juga dipengaruhi oleh beberapa pelanggan yang tentunya mempunyai
kantong celana yang cukup dalam. Seperti, pejabat, politisi, pengusaha, hingga
kalangan militer.[6]
Sehingga tidak heran jika beberapa ayam
kampus yang merupakan langganan kalangan seperti itu memiliki penghasilan
yang sangat besar, bahkan sampai ada yang meraup satu miliah per enam bulannya.[7] Di
sini juga dapat terlihat bahwa ayam
kampus dalam pekerjaannya memungkinkan telah tereksploitasi harga dirinya
oleh mucikari dalam jaringannya tersebut.
Analogi tepat bahwa mucikari sebagai
pihak kapitalis dan ayam kampus sebagai
proletariat.
Dalam
tulisan ini, penulis juga mencoba untuk membahas permasalahan dalam fenomena ayam kampus lebih mendalam. Dimana yang
telah sebelumnya diketahui bahwa ayam
kampus (seharusnya) merupakan
bagian dari kalangan intelektual. Secara sosiologis, tidak ada sesuatu yang
harus dijustifikasi atau ‘dihakimi’ (non-etis) dalam fenomena ayam kampus tersebut. Oleh karena itu, perlunya
mencari faktor-faktor yang mempengaruhi, sebab-sebab terjadinya, hingga mencoba
untuk mencari solusi dalam fenomena ayam
kampus ini. Hal inilah yang kemudian diperkuat oleh analisis dari teori
Karl Marx tentang konsep struktur masyarakatnya serta Durkheim dengan fakta
sosialnya.
Dari
pernyataan di atas, penulis ingin lebih mengetahui tentang fenomena ayam kampus dalam berbagai pandangan.
Untuk itu, dalam penelitian tentang fenomena ayam kampus ini, penulis akan mengambil sampel penelitian pada
mahasiswa Pendidikan Sosiologi Reguler 2012 Universitas Negeri Jakarta untuk
mengetahui pandangan beberapa dari mereka sebagai sampel tentang keberadaan
dari fenomena ayam kampus terhadap
nama baik (citra) almamaternya, baik ketika itu terekspos oleh media ataupun
tidak. Dimana menurut mereka keberadaan ayam
kampus dalam eksistensinya sangat berpengaruh terhadap citra dari
‘almamaternya’, baik itu terekspos oleh media ataupun tidak.
2.
Citra
Ayam Kampus dalam Berbagai Pandangan
Publik
Sebagai
sebuah fenomena, ayam kampus pun
tidak terlepas dari berbagai opini publik tentangnya. Citra yang terbangun
negatif oleh masyarakat menjadi suatu opini yang mengarah terhadap apa yang
telah mereka lakukan. Terkadang memang opini tersebut tidak memperhatikan latar
belakang dari perbuatan yang mereka lakukan. Akan tetapi, opini memanglah
opini. Oleh karena itu, tinggal bagaimana cara mengolah opini tersebut menjadi
sebuah solusi.
Beberapa
media, baik cetak maupun elektronik, membuat suatu muatan opini publik dengan
beberapa bentuk, seperti SMS ataupun polling.
Salah satunya adalah media cetak lokal di Jakarta, Harian Wata Kota yang menggunakan SMS sebagai bentuk menampung
aspirasi publik tentang fenomena ayam
kampus ini. Misalnya, ketika dibahas pada salah satu topik berita di media
tersebut tentang penghasilan yang diperoleh ayam
kampus. Menurut beberapa dari mereka, apa yang dihasilkan oleh ayam kampus tersebut merupakan suatu
hasil yang tidak baik, karena dilihat dari cara memperolehnya. Kemudian, ada
beberapa dari mereka mengungkapkan bahwa mahasiswi yang seperti itu tidak
memaknai esensi dari pendidikan yang telah ditempuhnya. Akan tetapi, tidak
jarang dari tanggapan yang muncul bahwa publik pun merasa kecewa terhadap
institusi pendidikan yang terkesan kurang peka terhadap permasalahan seperti
ini serta mengarah kepada kegagalan dalam mendidik serta mengawasi peserta
didiknya. Terlihat pada aspek moral dari
ayam kampus tersebut.
Selanjutnya,
dari perolehan yang didapat oleh ayam
kampus tersebut, beberapa kalangan mengatakan pasti mempengaruhi gaya hidup
dari ayam kampus itu. Seperti, gaya
hidup mewah, berfoya-foya, hingga muncul efek keberlanjutan untuk menjadi ayam kampus lagi. Kemudian, tanggapan
publik lainnya mengatakan bahwa meskipun ayam
kampus berangkat dari kehidupan atau kondisi ekonomi yang kurang mampu,
akan tetapi jika telah mendapatkan kondisi seperti itu, maka kecenderungan
untuk berhenti malah akan sulit.[8]
Terlebih lagi ketika mereka sudah tercap oleh masyarakat sebagai suatu yang
menyimpang.
Kondisi
yang seperti itulah yang dikatakan oleh Edwin M. Lemert sebagai labelling. Menurutnya, seseorang menjadi
menyimpang karena proses labelling ̶ pemberian
julukan, cap, etiket, merek, ̶ yang diberikan masyarakat kepadanya.[9]
Mula-mula memang seorang ayam kampus tersebut
melakukan penyimpangan tersebut atas dasar ekonomi, seperti yang dikatakan
sebelumnya. Akan tetapi, penyimpangan tersebut selanjutnya dimaknai oleh
masyarakat sebagai suatu pemberian cap atau julukan terhadap ayam kampus tersebut. Oleh karena itulah,
ayam kampus tersebut mendefinisikan
dirinya sebagai seorang penympang dan akan mengulangi perbuatannya lagi.
Dari
kondisi itulah, memungkinkan adanya sebuah siklus dalam pandangan publik
terhadap keberadaan ayam kampus.
Suatu kesulitan nantinya dalam meminimalisasi persoalan seperti ayam kampus ini jika siklus tersebut
masih terus berkelanjutan. Tinggal bagaimana nantinya suatu kesadaran pada
diri ayam
kampus tersebut dan upaya-upaya eksternal yang dilakukan. Dengan demikian,
semua pandangan-pandangan tersebut tidak hanya sebagai suatu tindakan
justifikasi subjektif saja, tetapi juga mencoba untuk mencari solusi bersama.
3.
Sebuah
Fakta Sosial dan Simbol Determinisme Ekonomi
Fenomena
ayam kampus memang telah terekspos
keberadaannya, baik lewat media maupun dalam pembicaraan publik. Dari semuanya
itu, munculah pandangan-pandangan beragam atas fenomena tersebut. Dimulai dair
suatu hujatan sampai pandangan-pandangan yang sifatnya analisis deskriptif. Itu
semualah yang menjadi opini-opini yang sebelumnya telah dijelaskan di atas.
Dalam
eksistensi dari keberadaan ayam kampus sendiri,
tentu mempunyai motif ataupun alasan yang menyebabkan perilaku tersebut muncul.
Hal-hal yang melatarbelakangi inilah yang harus diperhatikan dalam menganalisis
permasalahan dari fenomena ayam kampus itu
sendiri. Salah satunya sosiologi sebagai suatu disiplin ilmu dirasa sangat
tepat dalam menganilisis persoalan seperti ini yang kaitannya dalam
permasalahan sosial. Salah satunya adalah lewat memainkan peran dari abstraksi
atau teori yang tepat dengan tujuan memperoleh suatu kajian praktisnya.
Fenomena
ayam kampus ini dapat dilihat dari
sudut pandang individu (pelaku) serta dari kondisional masyarakat (eksternal)
yang mempengaruhi individu tersebut. Terlepas dari itu semua, suatu fenomena
ini, bagi masyarakat adalah suatu realitas sosial. Yang pengertiannya adalah
suatu realita yang (sedang) terjadi di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi,
sosiologi menolak itu. Sosiologi mempunyai bahasa yang lebih menarik lagi dalam
menganalisis fenomena ini, yaitu fakta sosial.
Fakta
sosial dicetuskan pertama kali oleh David Emile Durkheim. Yang menurutnya
adalah suatu seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri
individu sebagai sebuah paksaan eksternal; atau bisa dikatakan fakta sosial
adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat
yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individual (Ritzer dan Goodman, 2004: 81). Dari
pengertian ini terdapat dua bagian penting. Pertama, fakta sosial merupakan
suatu pengalaman nyata sebagai sebuah paksaan eksternal. Kedua, fakta sosial
meliputi seluruh elemen masyarakat yang tidak bisa direduksi kepada individu
serta harus dipelajari sebagai realitas mereka (Ritzer dan Goodman, 2004: 81).
Dari pengertian di atas, fenomena ayam kampus berarti merupakan suatu
fakta sosial. Hal itu disebabkan karena adanya dorongan-dorongan secara
eksternal yang mempengaruhi perilaku individu tanpa memperhatikan
manifestasi-manifestasi keindividualnya. Contoh kasus ini membenarkan perhatian
Durkheim terhadap penjelasan tentang fakta sosial itu sendiri yang
membedakannya dengan psikologi. Durkheim juga menganggap bahwa adanya paksaan
eksternal dari keberadaan di luar individu itu dapat dijelaskan oleh fakta
sosial lain. Dari kasus ayam kampus ini,
fakta sosial lain seperti keterbatasan ekonomi dalam membiyai kuliahnya,
legalitas hukum yang lemah, rendahnya moralitas itu sendiri, gaya hidup yang
mempengaruhinya, dan lain-lain.
Selanjutnya, fenomena ayam kampus dalam pandangan fakta sosial adalah menurut teori
Durkheim tersebut sebagai suatu perwujudan dari fakta sosial non-material.
Dimana menurut Durkheim disebut juga sebagai suatu kekuatan moral (dalam Ritzer
dan Goodman, 2004: 83). Lebih lanjut menurut Alexander, contoh yang tepat untuk
apa yang disebut Durkheim dengan fakta sosial non-material adalah apa yang saat
ini disebut sebagai nilai dan norma ataupun budaya.[10]
Berarti, dalam kondisi tersebut, kekuatan moral yang dimiliki ayam kampus terbilang lemah, terbukti
dari perilakunya tersebut yang terlepas dari faktor eksternal lain. Perilaku
ini bukan berarti ‘memperkosa’ perkataan Durkheim sebelumnya tentang
terlepasnya keberadaan individu, tetapi Durkheim sendiri memberi batasan bahwa
fakta sosial non-material ini sebenarnya berada dalam pikiran individu. Namun,
untuk memperjelasnya keberadaan individu ini dalam bentuk dan isi partikulernya,
ditentukan oleh interaksi sosialnya bukan tindakan individu itu.
Fakta sosial dalam jenisnya terbagi atas empat
jenis, yaitu moralitas, kesadaran kolektif, representasi kolektif, dan arus sosial.
Dari jenis-jenis ini, dapat dianalisis terkait fenomena ayam kampus tersebut. Ketika ayam
kampus sebagai suatu fenomena itu muncul karena kesadaran akan moralnya
kurang, maka kondisi seperti dikatakan sebagai suatu kajian dari sosiologi
moralitas. Ketika diketahui bahwa ayam
kampus sudah melembaga di masyarakat dikarenakan moralitas yang lemah, maka
posisi fakta sosial telah dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan individu
belaka. Bagi durkheim, kondisi moral yang lemah dan akhirnya mengakibatkan kondisi
seperti ini (ayam kampus), merupakan
sebuah patologi (penyakit sosial).
Kedua adalah kesadaran kolektif. Jika kita
melihat fenomena ayam kampus yang
telah melembaga atau dengan kata lain telah menjadi suatu jaringan, maka
disanalah terdapat suatu kesadaran kolektif yang mempengaruhi eksistensi mereka
sebagai ayam kampus. Ditambah lagi
dengan kondisi moral yang lemah menjadikan hal ini sebagai terciptanya
kesadaran kolektif yang lemah pula. Dari beberapa asumsinya tentang kesadaran
kolektif, jika dikaitkan dengan kasus ini, maka Durkheim mengatakan bahwa
kesadaran-kesadaran individual yang tercermin dalam fenomena ayam kampus mewujudkan kesadaran
kolektif dalam ayam kampus tersebut. Tentunya,
dari kesadaran kolektif tersebut, memungkinkan mempengaruhi representasi
kolektifnya yang merupakan jenis fakta sosial yang ketiga. Representasi ini
muncul karena merupakan hasil dari interaksi. Inilah yang menjadi salah satu
penyebab dari jaringan ayam kampus.
Ketika ada mahasiswa yang lugu ataupun yang terdesak secara ekonomi, maupun
yang terlihat nakal, maka akan sangat
berpengaruh dalam representasi kolektifnya sehinnga munculah pengaruh-pengaruh
persuasif tersebut.
Yang terakhir adalah adalah arus sosial. Dari
jenis fakta sosial non-material ini, analisisnya adalah terhadap arus sosial
yang mempengaruhi keberadaan ayam kampus dalam
eksistensinya. Seperti motif ayam kampus yang
terpengaruh oleh arus budaya yang menyimpang. Seperti keinginan ayam kampus dalam memenuhi kebutuhan fashion-nya, eksistensinya dalam
pergaulannya, ataupun sikap hedonis dan sekuleris yang mempengaruhi. Intinya,
dalam fenomena terdapat keterhubungan di antara keduanya, namun berbeda dari
perasaan dan cita-cita individual.[11]
Keberadaan ayam
kampus dalam eksistensinya selain sebagai sebuah fakta sosial juga
merupakan simbol determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi diartikan Marx
sebagai suatu basis struktur/infrastruktur dalam suatu masyarakat. Lanjutnya,
dari infrastruktur iniliah yang menjadi landasan atau dasar dengan
kondisi-kondisi ekonomi yang mempengaruhi suprastrukturnya. Dalam hal ini,
suprastruktur disini diartikan sebagai relasi-relasi non-ekonomi,
institusi-institusi sosial yang lain, dan ide-ide.[12]
Dalam bentuknya, lapisan suprastruktur ini seperti agama, sosial, politik,
budaya, filsafat, pendidikan, dan lain-lain. Lebih lanjut Marx mengatakan dalam
materialisme historisnya bahwa sejarah manusia digerakkan oleh
kegiatan-kegiatan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya (ekonomi) (dalam
Ritzer dan Goodman, 2004: 68).
Dikaitkan dengan contoh kasus ayam kampus ini bahwa jawaban dari
beberapa mereka (ayam kampus)
menyatakan bahwa mereka melakukan pekerjaan itu atas dasar kondisi ekonomi yang
mendesak (Harian Warta Kota, 3 Juni 2013). Oleh karena itu, penyebab keberadaan
ayam kampus dengan motif seperti ini
adalah berlandaskan determinisme ekonomi. Dari determinisme ekonomi inilah yang
mempengaruhi kondisi sosial dan budaya bahkan mereka yang akhirnya dapat
dikatakan menyimpang (di luar batas nilai dan norma konvensional).
4.
Keberadaan
Ayam Kampus dalam Sebuah “Jaringan”
Keberadaan
ayam kampus dalam eksistensinya
memang telah mengundang pandangan-pandangan publik. Akan tetapi, terlepas dari
itu semua, terdapat beberapa hal yang berperan dalam eksistensi ayam kampus itu sendiri. Salah satunya
adalah keberadaannya dalam sebuah yang dapat dikatakan sebagai suatu
‘jaringan’. Hal itu tergambar dari keberadaan mucikari atau ani-ani dalam
‘memasarkan’ ayam kampus tersebut.
Biasanya, ayam kampus tersebut
dipasarkan melalui jejaring sosial seperti BBM (Blackberry Messenger). Akan tetapi, dilakukannya secara tersembunyi
dan terkesan independen. Jadi, hanya kalangan-kalangan tertentu saja yang dapat
bertransaksi dengannya.
Jaringan
ayam kampus ini memang sudah menyebar
luas. Bahkan, seperti suatu jaringan pertemanan yang di dalamnya tersedia
berbagai ayam kampus yang berbeda.
Selain itu, berbagai jaringan tersebut terdapat mucikari tentunya dalam menawarkan stok-stok baru dengan cara mengirimkan foto-foto ayam kampus-nya melalui BBM seperti yang
telah dikatakan sebelumnya.[13]
Setelah itu, para pengguna jasa ayam
kampus ini menawarkan juga atau merekomendasikan kepada temannya baik
seprofesi maupun tidak, dalam hal ini seperti pejabat, politisi, ataupun
pengusaha. Dari hal tersebut, dapat dikatakan jaringan ayam kampus tersebut seperti sebuah jaringan MLM (Multi Level
Marketing).
Di
sini penulis mencoba memberikan contoh kasus tentang kemiripan jaringan ayam kampus dengan jaringan MLM. Dari
wawancara yang dilakukan oleh Harian
Warta Kota (Edisi Senin, 3 Juni 2013: 11), salah satu pengusaha yang mereka
wawancarai mempunyai pengalaman tentang jaringan ayam kampus tersebut. Menurut pengusaha tersebut, eksistensi dia di
kalangan ayam kampus tersebut dapat
terangkat. Hal itu dikarenakan pengusaha
tersebut tergolong royal dalam memberikan uang “jajan” terhadap ayam kampus yang dipilihnya. Oleh karena
itu, ayam kampus dari berbagai
jaringan berlomba-lomba untuk dimintai jasanya oleh para pengusaha seperti
pengusaha tersebut. Peran mucikari pun
tidak bisa dilupakan. Layaknya seperti manajer artis yang berlomba-lomba untuk
mendapatkan job ataupun seperti
perusahaan-perusahaan yang berlomba-lomba untuk mendapatkan tender dari proyek yang sedang diadakan.
Itulah peran mucikari dalam
memasarkan ayam kampus pada
jaringannya.
Permasalahan
besarnya harga yang ditawarkan, menurut pengusaha yang diwawancarai oleh Harian Warta Kota adalah tergantung
dengan kecantikan dan kesemokan ayam
kampus tersebut. Semakin cantik dan semok,
maka semakin tinggi pula tarif dari ayam
kampus tersebut (Edisi Senin, 3 Juni 2013: 11). Sekedar contoh, untuk ayam kampus yang kualifikasinya standar,
dibandrol Rp 1,5 juta sampai Rp 3 juta untuk short time, sedangkan Rp 5 juta sampai Rp 10 juta untuk satu malam.[14]
Dari penggambaran tentang tarif ayam
kampus tersebut, maka dapat diasumsikan bahwa penghasilan dari seorang ayam kampus tergolong besar, sehingga
tidak jarang perilaku hidup mewah menyelimuti kehidupannya (seperti yang
diutarakan pada bab sebelumnya).
Terlepas
dari itu semua, keberadaan ayam kampus dalam
jaringannya itu terkesan independen atau sembunyi-sembunyi. Mereka juga menjaga
jaringan mereka dalam aktivitasnya dengan sangat terorganisir. Oleh karena itu,
pihak kepolisian merasa kesulitan dalam mengungkap keberadaan jaringan ayam kampus ini. Akan tetapi, ketika itu
semua terungkap, maka bisa jadi sama halnya dengan kasus mahasiswa IPB yang
membuat perdagangan ayam kampus dalam
media online. Dengan tindakannya tersebut, dikenailah pasal tentang
pemberantasan perdagangan orang (Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007).
Dilihat
dari semua itu, dapat dikatakan bahwa seorang ayam kampus dalam eksistensinya pada jaringannya itu memungkinkan
pengeksploitasian harga diri yang telah dilakukan oleh mucikari-nya sebagai seorang penguasa dari jaringannya itu. Dengan
kata lain, analogi dari ini semua adalah memposisikan mucikari sebagai kapitalis dengan kekuasaan terhadap jasa ayam kampus sebagai pekerja dalam
jaringannya. Inilah yang menurut Marx bahwa suatu kapital tidak akan meningkat
kecuali dengan mengeksploitasi orang-orang yang bekerja secara aktual dan
ironisnya justru sistemlah yang berperan dalam pengeksploitasiannya itu melalui
kerja dari para pekerja itu sendiri.[15]
Dikontekskan
lain, selain adanya desakan dari kondisi ekonomi yang dialami ayam kampus tersebut, ternyata tujuannya
dalam pekerjaan itu hanyalah berdasarkan dari tujuan kapiltalis yang
menggajinya dan tidak ada objektivasi. Dengan demikian, menurut Marx, kerja
bukan lagi milik pribadi seseorang yang bekerja, dengan kata lain telah
dialienasi (diasingkan) dari kerjanya dan dialienasi dari sifat dasar sebagai
manusia (dalam Ritzer dan Goodman, 2004: 55).
5.
Berbagai
Pandangan Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Reguler 2012 terhadap Keberadaan Ayam Kampus dalam Eksistensinya
Berdasarkan
penjabaran di atas, fenomena ayam kampus ini
telah mengundang berbagai pandangan publik, baik yang berupa justifikasi saja
hingga mencoba menganalisis sebab-sebab munculnya fenomena tersebut. Meskipun
demikan, banyak dari pandangan-pandangan publik tersebut mengarah kepada suatu
solusi. Itu merupakan kemirisan mereka dalam melihat fenomena tersebut, yang
padahal merupakan kalangan intelektual dan merupakan generasi bangsa. Dalam
tulisan ini, penulis ingin mengetahui bagaimana dan apa saja pandangan
mahasiswa yang merupakan kalangan intelektual dalam melihat fenomena ini. Dalam
hal ini, penulis melakukan penelitan pada mahasiswa Pendidikan Sosiologi
Reguler 2012 terkait pandangan tersebut.
Setelah
menyebar angket yang berisi pertanyaan dan mewawancarai beberapa mahasiswa
sebagai sampel, ditemukan jawaban-jawaban serta pandangan atas jawaban mereka
yang cukup menarik. Selain itu, terdapat keunikan pada mahasiswa Pendidikan
Sosiologi Reguler 2012 ini. Keunikannya adalah segelintir dari mereka
mengungkapkan secara jujur tentang ketidaktahuan mereka terhadap apa itu ayam kampus. Alasannya, mereka tidak
pernah mengenal istilah tersebut karena tidak terlalu memperhatikan
persoalan-persoalan seperti itu.
Hasil
angket penelitian dari 25 orang sampel yang diambil, dengan pertanyaan: menurut Anda, seberapa berpengaruh
keberadaan Ayam Kampus dalam eksistensinya terhadap citra dari ‘almamater’
kampusnya, baik itu terkspos oleh media ataupun tidak?
Sumber:
Penulis,
2013
Berdasarkan
data di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut mahasiswa Pendidikan Sosiologi
Reguler 2012, keberadaan ayam kampus dalam
eksistensinya ternyata sangat berpengaruh terhadap citra kampusnya. Baik itu
terkspos, ataupun tidak. Lebih lanjut, alasan mereka yang mengatakan kurang
berpengaruh adalah bahwa ketika ayam
kampus tersebut menjajakan dirinya dalam fenomena tersebut, maka efek atau
dampak yang nantinya akan muncul hanyalah kepada citra atau nama baik diri
mereka sendiri, baik itu terkspos oleh media ataupun tidak. Salah satu
mahasiswa mengungkapkan pandangannya bahwa ketika ayam kampus tersebut melakukan pekerjaannya sebagai ayam kampus tentunya mereka tidak
menunjukkan identitasnya, dan orang lain yang memakai jasanya tidak memikirkan
dari kampus mana dia berasal.
Akan
tetapi, tidak demikian rupanya pada mahasiswa yang mengatakan bahwa fenomena
tersebut sangat berpengaruh terhadap citra kampusnya. Mereka beranggapan bahwa
setiap yang mahasiswa lakukan diluar kampusnya, tentunya membawa nama baik
kampusnya. Pribahasa yang tepat adalah “akibat nila setitik, maka rusak susu
sebelanga”. Contoh kasusnya adalah seperti Maharani yang kasusnya terkait
dengan salah seorang petinggi partai. Ketika itu terekspos oleh media, maka
munculah stigma-stigma tajam terhadap kampus dimana ia kuliah. Bahkan, terdapat
salah satu stigma bahwa kampus tempat ia kuliah merupakan kampusnya para ayam.
Di
sinilah letak argumen bagi beberapa mereka yang menganggap hal tersebut sangat
berpengaruh. Mesikipun tidak terekspos oleh media, tetap saja menurut mereka
sebagai suatu hal yang merusak citra kampus. Seperti misalnya, informasi dari
mulut ke mulu ataupun lewat gosip di dalam ataupun di luar kampus tentang ayam kampus tersebut. Di situlah letak
dari dampak keberadaan ayam kampus dalam
eksistensinya menurut meraka. Baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjangnya. Jangka pendeknya seperti efek langsung dari pandangan publik
terhadap kampus tersebut yang memiliki beberapa mahasiswinya sebagai seorang
“PSK intelektual”. Kemudian, dampak jangka panjangnya adalah terhadap peminat
dari mahasiswa baru ke depannya. Menurut salah seorang mahasiswa berpendapat
bahwa ketika orang tua dari sang anak mengetahui bahwa kampus tersebut adalah
sarangnya para ayam, maka kemungkinan
besar orang tua tersebut enggan untuk mengkuliahkan anaknya di kampus tersebut,
khususnya bagi mereka yang memiliki anak perempuan.
Inilah
mungkin yang seperti dikatakan oleh beberapa tokoh struktural fungsional bahwa
antara struktur dan fungsi harus dijalankan dengan seimbang sehingga
terciptalah keadaan masyarakat dalam keadaan yang seimbang. Akan tetapi, Marx
dalam teorinya menentang itu semua. Sebab, dalam lapisan masyarakat pasti
selalu ada pertentangan serta konflik-konflik sosial di dalamnya. Hal tersebut
seperti yang dicontohkan dalam kasus ayam
kampus ini. Di sisi lain mereka harus menjaga nama baik kampusnya sebagai
almamaternya. Akan tetapi, di sisi lain mereka terjebak dalam kondisi sosial
ekonomi sehingga membuatnya dalam kondisi tersebut.
6.
Penutup
Ayam kampus memang
sudah tidak dapat dipungkiri lagi keberadaan serta eksistensinya dalam
kehidupan sosial. Suatu fakta sosial bersimbol determinsme ekonomi ini sedikit
banyak telah memunculkan beragam alasan sebagai bentuk “pembelaan” dari apa
yang telah mereka lakukan. Bukan bermaksud untuk menyalahi keadaan, tapi
fenomena seperti tidak boleh dibiarkan terus berlanjut. Sehingga dalam hal ini
diperlukan pandangan-pandangan kritis sebagai acuan dalam memberi solusi
terhadap fenomena tersebut. Dalam hal ini, pendangan-pandangan intelektual
seperti mahasiswa sangat diperlukan sebagai bentuk dari salah satu tri dharma mahasiswa, yaitu pengabdian
masyarakat khususnya pandangan dari mahasiswa Pendidikan Sosiologi Reguler
2012.
Dari
berbagai pandangan yang mereka utarakan, dapat disimpulkan bahwa keberadaan ayam kampus sebagai suatu fenomena sosial,
dalam eksistensinya sangat berpengaruh terhadap citra atau nama baik kampusnya.
Hal tersebut dipandang sebagai suatu dampak yang berupa jangka pendek dan
apabila berkelanjutan dapat menjadi suatu dampak yang jangka panjang. Dalam
kondisi dialektik seperti ini, memanglah dibutuhkan berbagai solusi sebagai
wujud dari kepekaan terhadap fenomena seperti ini. Oleh karena itu, dengan
munculnya kasus seperti ini sebagai sebuah fakta sosial dan simbol determinisme
ekonomi, bagi penulis harus diperlukannya upaya-upaya yang kritis, baik dari
institusi terkait maupun diri sendiri sebagai masyarakat. Dengan demikian,
fenomena sosial seperti ini tidak menjadi sebuah siklus panjang yang linier
nantinya.
DAFTAR PUSTAKA
Johnson, D. P. (1986). Teori Sosiologi Klasik dan
Modern. (R. M. Lawang, Penerj.) Jakarta:
PT. Gramedia.
Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2004). Teori
Sosiologi. (Nurhadi, Penerj.) Bantul:
Kreasi Wacana.
Sunarto, K. (2004). Pengantar Sosiologi Edisi Revisi.
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas
Indonesia.
Dari Surat Kabar:
Harian Warta
Kota. Mahasiswi Plus 6 bulan Raih Rp 1
miliar. Edisi: Senin, 3 Juni 2013.
------------------------. Jaringannya Mirip MLM. Edisi: Senin, 3 Juni 2013.
------------------------. Publice Service: Mahasiswi Plus 6 bulan
Raih Rp 1 miliar. Edisi: Selasa
4 Juni 2013.
[1] Doyle Paul Johnson.
1981. Teori Sosiologi Klasik dan Modern
(Jilid 1). (Penerj). Robert M. Z. Lawang.
Jakarta: PT. Gramedia. Hal: 134.
[2] Ritzer dan Goodman. 2004. Teori Sosiologi. (Pener.)
Nurhadi.
Bantul: Kreasi Wacana. Hal: 81
[3] Ibid.
[4] Mucikari adalah seseorang
yang ‘memasarkan’ atau mengelola sekelompok PSK (Pekerja Seks
Komersial).
[5] Harian Warta Kota, Edisi:
Senin, 3 Juni 2013. Hal: 11.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Harian
Warta Kota, Edisi: Selasa, 4 Juni 2013. Hal: 7
[9] Kamanto Sunarto. 2004. Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi).
Jakarta:
Lembaga Penerbit FE Universitas
Indonesia. Hal 179
[10] Ritzer dan Goodman.
2004. Teori Sosiologi. (penerj.)
Nurhadi.
Bantul: Kreasi Wacana.
[11] Ibid. Hal. 87.
[12] Ibid. Hal. 68.
[13] Harian Warta Kota, Edisi: Senin, 3 Juni 2013. Hal: 11
[14] Ibid.
No comments:
Post a Comment