Tuesday, 3 September 2013

Fenomena ayam kampus


Fenomena Ayam Kampus: Sebuah Fakta Sosial dan Simbol Determinisme Ekonomi
(Studi Kasus: Pandangan Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Reguler 2012 Tentang Fenomena Ayam Kampus Terhadap Citra ‘Almamater’ Kampusnya)

Oleh: Danies Mudeatama (4815122429)
Pendidikan Sosiologi Reguler 2012
Universitas Negeri Jakarta
1.      Pendahuluan
Fenomena ayam kampus dewasa ini sedang marak diberitakan keberadaannya oleh para pemburu berita, dari media cetak hingga media elektronik. Hal tersebut ditambah lagi dengan adanya pemberitaan terkait ayam kampus tersebut dengan salah satu politisi pada salah satu partai. Beragam pemberitaan lain pun menyebar dengan berbagai macam topik pemberitaan tentang ayam kampus tersebut. Tentunya, banyak pertanyaan publik muncul tentang keberadaan ayam kampus tersebut. Salah satunya adalah alasan ayam kampus tersebut melakukan pekerjaan seperti itu. Padahal, yang diketahui publik adalah mereka semua (ayam kampus) merupakan kalangan intelektual yang bernamakan mahasiswi.
Beberapa media mengungkapkan bahwa dari hasil wawancara yang mereka lakukan terhadap beberapa ayam kampus ditemukan beberapa alasan sebab mereka melakukan hal tersebut. Salah satunya adalah karena alasan ekonomi. Inilah yang menyebabkan mereka melakukan perbuatan yang menodai citra mereka sebagai manusia. Dilihat dari sudut pandang sosiologi, Marx mengatakan bahwa hal seperti ini merupakan suatu determinisme ekonomi yang menekan kondisi sosial dari pengalaman materil yang telah dialami ayam kampus tersebut. Hubungan antara infrastruktur ekonomi dan superstruktur budaya dan struktur sosial yang dibangun atas dasar itu merupakan akibat langsung yang wajar dari kedudukan materialisme historis[1] yang telah Marx ungkapkan. Yaitu, pada salah satu asumsinya adalah bahwa suatu keadaan sosial yang dialami individu, maka akan mempengaruhi kesadaran individu tersebut.
Selain itu, dalam hal ini, fenomena ayam kampus juga dapat dianalisis dari pemikiran Durkheim tentang fakta sosial. Fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal; atau juga bisa dikatakan bahwa fakta sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individual.[2] Oleh karena itu, jika fenomena ayam kampus ini yang dinilai Marx sebagai determinisme ekonomi, maka Durkheim melihatnya sebagai adanya sebuah paksaan eksternal yang tentunya tidak bisa direduksi kepada individu, namun mesti dipelajari sebagai sebuah realitas dalam fakta sosialnya.[3]
Dari yang diungkapkan juga oleh beberapa media, keberadaan ayam kampus dalam eksistensinya banyak dipengaruhi berbagai macam motif. Menurut berita yang dimuat dalam Harian Warta Kota, keberadaan ayam kampus tersebut sudah menjadi seperti sebuah jaringan. Dimana terdapat peran seorang “mucikari”[4] dalam mengelola jaringan ayam kampus tersebut. Oleh karena itu, dalam surat kabar tersebut mengatakan bahwa jaringan ayam kampus tersebut seperti layaknya jaringan MLM (Multi Level Marketing).[5] Selain itu, eksistensi ayam kampus tersebut ternyata juga dipengaruhi oleh beberapa pelanggan yang tentunya mempunyai kantong celana yang cukup dalam. Seperti, pejabat, politisi, pengusaha, hingga kalangan militer.[6] Sehingga tidak heran jika beberapa ayam kampus yang merupakan langganan kalangan seperti itu memiliki penghasilan yang sangat besar, bahkan sampai ada yang meraup satu miliah per enam bulannya.[7] Di sini juga dapat terlihat bahwa ayam kampus dalam pekerjaannya memungkinkan telah tereksploitasi harga dirinya oleh mucikari dalam jaringannya tersebut. Analogi tepat bahwa mucikari sebagai pihak kapitalis dan ayam kampus sebagai proletariat.
Dalam tulisan ini, penulis juga mencoba untuk membahas permasalahan dalam fenomena ayam kampus lebih mendalam. Dimana yang telah sebelumnya diketahui bahwa ayam kampus (seharusnya) merupakan bagian dari kalangan intelektual. Secara sosiologis, tidak ada sesuatu yang harus dijustifikasi atau ‘dihakimi’ (non-etis) dalam fenomena ayam kampus tersebut. Oleh karena itu, perlunya mencari faktor-faktor yang mempengaruhi, sebab-sebab terjadinya, hingga mencoba untuk mencari solusi dalam fenomena ayam kampus ini. Hal inilah yang kemudian diperkuat oleh analisis dari teori Karl Marx tentang konsep struktur masyarakatnya serta Durkheim dengan fakta sosialnya.
Dari pernyataan di atas, penulis ingin lebih mengetahui tentang fenomena ayam kampus dalam berbagai pandangan. Untuk itu, dalam penelitian tentang fenomena ayam kampus ini, penulis akan mengambil sampel penelitian pada mahasiswa Pendidikan Sosiologi Reguler 2012 Universitas Negeri Jakarta untuk mengetahui pandangan beberapa dari mereka sebagai sampel tentang keberadaan dari fenomena ayam kampus terhadap nama baik (citra) almamaternya, baik ketika itu terekspos oleh media ataupun tidak. Dimana menurut mereka keberadaan ayam kampus dalam eksistensinya sangat berpengaruh terhadap citra dari ‘almamaternya’, baik itu terekspos oleh media ataupun tidak.
2.      Citra Ayam Kampus dalam Berbagai Pandangan Publik
Sebagai sebuah fenomena, ayam kampus pun tidak terlepas dari berbagai opini publik tentangnya. Citra yang terbangun negatif oleh masyarakat menjadi suatu opini yang mengarah terhadap apa yang telah mereka lakukan. Terkadang memang opini tersebut tidak memperhatikan latar belakang dari perbuatan yang mereka lakukan. Akan tetapi, opini memanglah opini. Oleh karena itu, tinggal bagaimana cara mengolah opini tersebut menjadi sebuah solusi.
Beberapa media, baik cetak maupun elektronik, membuat suatu muatan opini publik dengan beberapa bentuk, seperti SMS ataupun polling. Salah satunya adalah media cetak lokal di Jakarta, Harian Wata Kota yang menggunakan SMS sebagai bentuk menampung aspirasi publik tentang fenomena ayam kampus ini. Misalnya, ketika dibahas pada salah satu topik berita di media tersebut tentang penghasilan yang diperoleh ayam kampus. Menurut beberapa dari mereka, apa yang dihasilkan oleh ayam kampus tersebut merupakan suatu hasil yang tidak baik, karena dilihat dari cara memperolehnya. Kemudian, ada beberapa dari mereka mengungkapkan bahwa mahasiswi yang seperti itu tidak memaknai esensi dari pendidikan yang telah ditempuhnya. Akan tetapi, tidak jarang dari tanggapan yang muncul bahwa publik pun merasa kecewa terhadap institusi pendidikan yang terkesan kurang peka terhadap permasalahan seperti ini serta mengarah kepada kegagalan dalam mendidik serta mengawasi peserta didiknya.  Terlihat pada aspek moral dari ayam kampus tersebut.
Selanjutnya, dari perolehan yang didapat oleh ayam kampus tersebut, beberapa kalangan mengatakan pasti mempengaruhi gaya hidup dari ayam kampus itu. Seperti, gaya hidup mewah, berfoya-foya, hingga muncul efek keberlanjutan untuk menjadi ayam kampus lagi. Kemudian, tanggapan publik lainnya mengatakan bahwa meskipun ayam kampus berangkat dari kehidupan atau kondisi ekonomi yang kurang mampu, akan tetapi jika telah mendapatkan kondisi seperti itu, maka kecenderungan untuk berhenti malah akan sulit.[8] Terlebih lagi ketika mereka sudah tercap oleh masyarakat sebagai suatu yang menyimpang.
Kondisi yang seperti itulah yang dikatakan oleh Edwin M. Lemert sebagai labelling. Menurutnya, seseorang menjadi menyimpang karena proses labelling ̶ pemberian julukan, cap, etiket, merek, ̶ yang diberikan masyarakat kepadanya.[9] Mula-mula memang seorang ayam kampus tersebut melakukan penyimpangan tersebut atas dasar ekonomi, seperti yang dikatakan sebelumnya. Akan tetapi, penyimpangan tersebut selanjutnya dimaknai oleh masyarakat sebagai suatu pemberian cap atau julukan terhadap ayam kampus tersebut. Oleh karena itulah, ayam kampus tersebut mendefinisikan dirinya sebagai seorang penympang dan akan mengulangi perbuatannya lagi.
Dari kondisi itulah, memungkinkan adanya sebuah siklus dalam pandangan publik terhadap keberadaan ayam kampus. Suatu kesulitan nantinya dalam meminimalisasi persoalan seperti ayam kampus ini jika siklus tersebut masih terus berkelanjutan. Tinggal bagaimana nantinya suatu kesadaran pada diri  ayam kampus tersebut dan upaya-upaya eksternal yang dilakukan. Dengan demikian, semua pandangan-pandangan tersebut tidak hanya sebagai suatu tindakan justifikasi subjektif saja, tetapi juga mencoba untuk mencari solusi bersama.
3.      Sebuah Fakta Sosial dan Simbol Determinisme Ekonomi
Fenomena ayam kampus memang telah terekspos keberadaannya, baik lewat media maupun dalam pembicaraan publik. Dari semuanya itu, munculah pandangan-pandangan beragam atas fenomena tersebut. Dimulai dair suatu hujatan sampai pandangan-pandangan yang sifatnya analisis deskriptif. Itu semualah yang menjadi opini-opini yang sebelumnya telah dijelaskan di atas.
Dalam eksistensi dari keberadaan ayam kampus sendiri, tentu mempunyai motif ataupun alasan yang menyebabkan perilaku tersebut muncul. Hal-hal yang melatarbelakangi inilah yang harus diperhatikan dalam menganalisis permasalahan dari fenomena ayam kampus itu sendiri. Salah satunya sosiologi sebagai suatu disiplin ilmu dirasa sangat tepat dalam menganilisis persoalan seperti ini yang kaitannya dalam permasalahan sosial. Salah satunya adalah lewat memainkan peran dari abstraksi atau teori yang tepat dengan tujuan memperoleh suatu kajian praktisnya.
Fenomena ayam kampus ini dapat dilihat dari sudut pandang individu (pelaku) serta dari kondisional masyarakat (eksternal) yang mempengaruhi individu tersebut. Terlepas dari itu semua, suatu fenomena ini, bagi masyarakat adalah suatu realitas sosial. Yang pengertiannya adalah suatu realita yang (sedang) terjadi di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi, sosiologi menolak itu. Sosiologi mempunyai bahasa yang lebih menarik lagi dalam menganalisis fenomena ini, yaitu fakta sosial.
Fakta sosial dicetuskan pertama kali oleh David Emile Durkheim. Yang menurutnya adalah suatu seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal; atau bisa dikatakan fakta sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individual (Ritzer dan Goodman, 2004: 81). Dari pengertian ini terdapat dua bagian penting. Pertama, fakta sosial merupakan suatu pengalaman nyata sebagai sebuah paksaan eksternal. Kedua, fakta sosial meliputi seluruh elemen masyarakat yang tidak bisa direduksi kepada individu serta harus dipelajari sebagai realitas mereka (Ritzer dan Goodman, 2004: 81).
Dari pengertian di atas, fenomena ayam kampus berarti merupakan suatu fakta sosial. Hal itu disebabkan karena adanya dorongan-dorongan secara eksternal yang mempengaruhi perilaku individu tanpa memperhatikan manifestasi-manifestasi keindividualnya. Contoh kasus ini membenarkan perhatian Durkheim terhadap penjelasan tentang fakta sosial itu sendiri yang membedakannya dengan psikologi. Durkheim juga menganggap bahwa adanya paksaan eksternal dari keberadaan di luar individu itu dapat dijelaskan oleh fakta sosial lain. Dari kasus ayam kampus ini, fakta sosial lain seperti keterbatasan ekonomi dalam membiyai kuliahnya, legalitas hukum yang lemah, rendahnya moralitas itu sendiri, gaya hidup yang mempengaruhinya, dan lain-lain.
Selanjutnya, fenomena ayam kampus dalam pandangan fakta sosial adalah menurut teori Durkheim tersebut sebagai suatu perwujudan dari fakta sosial non-material. Dimana menurut Durkheim disebut juga sebagai suatu kekuatan moral (dalam Ritzer dan Goodman, 2004: 83). Lebih lanjut menurut Alexander, contoh yang tepat untuk apa yang disebut Durkheim dengan fakta sosial non-material adalah apa yang saat ini disebut sebagai nilai dan norma ataupun budaya.[10] Berarti, dalam kondisi tersebut, kekuatan moral yang dimiliki ayam kampus terbilang lemah, terbukti dari perilakunya tersebut yang terlepas dari faktor eksternal lain. Perilaku ini bukan berarti ‘memperkosa’ perkataan Durkheim sebelumnya tentang terlepasnya keberadaan individu, tetapi Durkheim sendiri memberi batasan bahwa fakta sosial non-material ini sebenarnya berada dalam pikiran individu. Namun, untuk memperjelasnya keberadaan individu ini dalam bentuk dan isi partikulernya, ditentukan oleh interaksi sosialnya bukan tindakan individu itu.
Fakta sosial dalam jenisnya terbagi atas empat jenis, yaitu moralitas, kesadaran kolektif, representasi kolektif, dan arus sosial. Dari jenis-jenis ini, dapat dianalisis terkait fenomena ayam kampus tersebut. Ketika ayam kampus sebagai suatu fenomena itu muncul karena kesadaran akan moralnya kurang, maka kondisi seperti dikatakan sebagai suatu kajian dari sosiologi moralitas. Ketika diketahui bahwa ayam kampus sudah melembaga di masyarakat dikarenakan moralitas yang lemah, maka posisi fakta sosial telah dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan individu belaka. Bagi durkheim, kondisi moral yang lemah dan akhirnya mengakibatkan kondisi seperti ini (ayam kampus), merupakan sebuah patologi (penyakit sosial).
Kedua adalah kesadaran kolektif. Jika kita melihat fenomena ayam kampus yang telah melembaga atau dengan kata lain telah menjadi suatu jaringan, maka disanalah terdapat suatu kesadaran kolektif yang mempengaruhi eksistensi mereka sebagai ayam kampus. Ditambah lagi dengan kondisi moral yang lemah menjadikan hal ini sebagai terciptanya kesadaran kolektif yang lemah pula. Dari beberapa asumsinya tentang kesadaran kolektif, jika dikaitkan dengan kasus ini, maka Durkheim mengatakan bahwa kesadaran-kesadaran individual yang tercermin dalam fenomena ayam kampus mewujudkan kesadaran kolektif dalam ayam kampus tersebut. Tentunya, dari kesadaran kolektif tersebut, memungkinkan mempengaruhi representasi kolektifnya yang merupakan jenis fakta sosial yang ketiga. Representasi ini muncul karena merupakan hasil dari interaksi. Inilah yang menjadi salah satu penyebab dari jaringan ayam kampus. Ketika ada mahasiswa yang lugu ataupun yang terdesak secara ekonomi, maupun yang terlihat nakal, maka akan sangat berpengaruh dalam representasi kolektifnya sehinnga munculah pengaruh-pengaruh persuasif tersebut.
Yang terakhir adalah adalah arus sosial. Dari jenis fakta sosial non-material ini, analisisnya adalah terhadap arus sosial yang mempengaruhi keberadaan ayam kampus dalam eksistensinya. Seperti motif ayam kampus yang terpengaruh oleh arus budaya yang menyimpang. Seperti keinginan ayam kampus dalam memenuhi kebutuhan fashion-nya, eksistensinya dalam pergaulannya, ataupun sikap hedonis dan sekuleris yang mempengaruhi. Intinya, dalam fenomena terdapat keterhubungan di antara keduanya, namun berbeda dari perasaan dan cita-cita individual.[11]
Keberadaan ayam kampus dalam eksistensinya selain sebagai sebuah fakta sosial juga merupakan simbol determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi diartikan Marx sebagai suatu basis struktur/infrastruktur dalam suatu masyarakat. Lanjutnya, dari infrastruktur iniliah yang menjadi landasan atau dasar dengan kondisi-kondisi ekonomi yang mempengaruhi suprastrukturnya. Dalam hal ini, suprastruktur disini diartikan sebagai relasi-relasi non-ekonomi, institusi-institusi sosial yang lain, dan ide-ide.[12] Dalam bentuknya, lapisan suprastruktur ini seperti agama, sosial, politik, budaya, filsafat, pendidikan, dan lain-lain. Lebih lanjut Marx mengatakan dalam materialisme historisnya bahwa sejarah manusia digerakkan oleh kegiatan-kegiatan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya (ekonomi) (dalam Ritzer dan Goodman, 2004: 68).
Dikaitkan dengan contoh kasus ayam kampus ini bahwa jawaban dari beberapa mereka (ayam kampus) menyatakan bahwa mereka melakukan pekerjaan itu atas dasar kondisi ekonomi yang mendesak (Harian Warta Kota, 3 Juni 2013). Oleh karena itu, penyebab keberadaan ayam kampus dengan motif seperti ini adalah berlandaskan determinisme ekonomi. Dari determinisme ekonomi inilah yang mempengaruhi kondisi sosial dan budaya bahkan mereka yang akhirnya dapat dikatakan menyimpang (di luar batas nilai dan norma konvensional).
4.      Keberadaan Ayam Kampus dalam Sebuah “Jaringan”
Keberadaan ayam kampus dalam eksistensinya memang telah mengundang pandangan-pandangan publik. Akan tetapi, terlepas dari itu semua, terdapat beberapa hal yang berperan dalam eksistensi ayam kampus itu sendiri. Salah satunya adalah keberadaannya dalam sebuah yang dapat dikatakan sebagai suatu ‘jaringan’. Hal itu tergambar dari keberadaan mucikari atau ani-ani dalam ‘memasarkan’ ayam kampus tersebut. Biasanya, ayam kampus tersebut dipasarkan melalui jejaring sosial seperti BBM (Blackberry Messenger). Akan tetapi, dilakukannya secara tersembunyi dan terkesan independen. Jadi, hanya kalangan-kalangan tertentu saja yang dapat bertransaksi dengannya.
Jaringan ayam kampus ini memang sudah menyebar luas. Bahkan, seperti suatu jaringan pertemanan yang di dalamnya tersedia berbagai ayam kampus yang berbeda. Selain itu, berbagai jaringan tersebut terdapat mucikari tentunya dalam menawarkan stok-stok baru dengan cara mengirimkan foto-foto ayam kampus-nya melalui BBM seperti yang telah dikatakan sebelumnya.[13] Setelah itu, para pengguna jasa ayam kampus ini menawarkan juga atau merekomendasikan kepada temannya baik seprofesi maupun tidak, dalam hal ini seperti pejabat, politisi, ataupun pengusaha. Dari hal tersebut, dapat dikatakan jaringan ayam kampus tersebut seperti sebuah jaringan MLM (Multi Level Marketing).
Di sini penulis mencoba memberikan contoh kasus tentang kemiripan jaringan ayam kampus dengan jaringan MLM. Dari wawancara yang dilakukan oleh Harian Warta Kota (Edisi Senin, 3 Juni 2013: 11), salah satu pengusaha yang mereka wawancarai mempunyai pengalaman tentang jaringan ayam kampus tersebut. Menurut pengusaha tersebut, eksistensi dia di kalangan ayam kampus tersebut dapat terangkat. Hal itu  dikarenakan pengusaha tersebut tergolong royal dalam memberikan uang “jajan” terhadap ayam kampus yang dipilihnya. Oleh karena itu, ayam kampus dari berbagai jaringan berlomba-lomba untuk dimintai jasanya oleh para pengusaha seperti pengusaha tersebut. Peran mucikari pun tidak bisa dilupakan. Layaknya seperti manajer artis yang berlomba-lomba untuk mendapatkan job ataupun seperti perusahaan-perusahaan yang berlomba-lomba untuk mendapatkan tender dari proyek yang sedang diadakan. Itulah peran mucikari dalam memasarkan ayam kampus pada jaringannya.
Permasalahan besarnya harga yang ditawarkan, menurut pengusaha yang diwawancarai oleh Harian Warta Kota adalah tergantung dengan kecantikan dan kesemokan ayam kampus tersebut. Semakin cantik dan semok, maka semakin tinggi pula tarif dari ayam kampus tersebut (Edisi Senin, 3 Juni 2013: 11). Sekedar contoh, untuk ayam kampus yang kualifikasinya standar, dibandrol Rp 1,5 juta sampai Rp 3 juta untuk short time, sedangkan Rp 5 juta sampai Rp 10 juta untuk satu malam.[14] Dari penggambaran tentang tarif ayam kampus tersebut, maka dapat diasumsikan bahwa penghasilan dari seorang ayam kampus tergolong besar, sehingga tidak jarang perilaku hidup mewah menyelimuti kehidupannya (seperti yang diutarakan pada bab sebelumnya).
Terlepas dari itu semua, keberadaan ayam kampus dalam jaringannya itu terkesan independen atau sembunyi-sembunyi. Mereka juga menjaga jaringan mereka dalam aktivitasnya dengan sangat terorganisir. Oleh karena itu, pihak kepolisian merasa kesulitan dalam mengungkap keberadaan jaringan ayam kampus ini. Akan tetapi, ketika itu semua terungkap, maka bisa jadi sama halnya dengan kasus mahasiswa IPB yang membuat perdagangan ayam kampus dalam media online. Dengan tindakannya tersebut, dikenailah pasal tentang pemberantasan perdagangan orang (Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007).
Dilihat dari semua itu, dapat dikatakan bahwa seorang ayam kampus dalam eksistensinya pada jaringannya itu memungkinkan pengeksploitasian harga diri yang telah dilakukan oleh mucikari-nya sebagai seorang penguasa dari jaringannya itu. Dengan kata lain, analogi dari ini semua adalah memposisikan mucikari sebagai kapitalis dengan kekuasaan terhadap jasa ayam kampus sebagai pekerja dalam jaringannya. Inilah yang menurut Marx bahwa suatu kapital tidak akan meningkat kecuali dengan mengeksploitasi orang-orang yang bekerja secara aktual dan ironisnya justru sistemlah yang berperan dalam pengeksploitasiannya itu melalui kerja dari para pekerja itu sendiri.[15]
Dikontekskan lain, selain adanya desakan dari kondisi ekonomi yang dialami ayam kampus tersebut, ternyata tujuannya dalam pekerjaan itu hanyalah berdasarkan dari tujuan kapiltalis yang menggajinya dan tidak ada objektivasi. Dengan demikian, menurut Marx, kerja bukan lagi milik pribadi seseorang yang bekerja, dengan kata lain telah dialienasi (diasingkan) dari kerjanya dan dialienasi dari sifat dasar sebagai manusia (dalam Ritzer dan Goodman, 2004: 55).
5.      Berbagai Pandangan Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Reguler 2012 terhadap Keberadaan Ayam Kampus dalam Eksistensinya
Berdasarkan penjabaran di atas, fenomena ayam kampus ini telah mengundang berbagai pandangan publik, baik yang berupa justifikasi saja hingga mencoba menganalisis sebab-sebab munculnya fenomena tersebut. Meskipun demikan, banyak dari pandangan-pandangan publik tersebut mengarah kepada suatu solusi. Itu merupakan kemirisan mereka dalam melihat fenomena tersebut, yang padahal merupakan kalangan intelektual dan merupakan generasi bangsa. Dalam tulisan ini, penulis ingin mengetahui bagaimana dan apa saja pandangan mahasiswa yang merupakan kalangan intelektual dalam melihat fenomena ini. Dalam hal ini, penulis melakukan penelitan pada mahasiswa Pendidikan Sosiologi Reguler 2012 terkait pandangan tersebut.
Setelah menyebar angket yang berisi pertanyaan dan mewawancarai beberapa mahasiswa sebagai sampel, ditemukan jawaban-jawaban serta pandangan atas jawaban mereka yang cukup menarik. Selain itu, terdapat keunikan pada mahasiswa Pendidikan Sosiologi Reguler 2012 ini. Keunikannya adalah segelintir dari mereka mengungkapkan secara jujur tentang ketidaktahuan mereka terhadap apa itu ayam kampus. Alasannya, mereka tidak pernah mengenal istilah tersebut karena tidak terlalu memperhatikan persoalan-persoalan seperti itu.
Hasil angket penelitian dari 25 orang sampel yang diambil, dengan pertanyaan: menurut Anda, seberapa berpengaruh keberadaan Ayam Kampus dalam eksistensinya terhadap citra dari ‘almamater’ kampusnya, baik itu terkspos oleh media ataupun tidak?

Sumber: Penulis, 2013
Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut mahasiswa Pendidikan Sosiologi Reguler 2012, keberadaan ayam kampus dalam eksistensinya ternyata sangat berpengaruh terhadap citra kampusnya. Baik itu terkspos, ataupun tidak. Lebih lanjut, alasan mereka yang mengatakan kurang berpengaruh adalah bahwa ketika ayam kampus tersebut menjajakan dirinya dalam fenomena tersebut, maka efek atau dampak yang nantinya akan muncul hanyalah kepada citra atau nama baik diri mereka sendiri, baik itu terkspos oleh media ataupun tidak. Salah satu mahasiswa mengungkapkan pandangannya bahwa ketika ayam kampus tersebut melakukan pekerjaannya sebagai ayam kampus tentunya mereka tidak menunjukkan identitasnya, dan orang lain yang memakai jasanya tidak memikirkan dari kampus mana dia berasal.
Akan tetapi, tidak demikian rupanya pada mahasiswa yang mengatakan bahwa fenomena tersebut sangat berpengaruh terhadap citra kampusnya. Mereka beranggapan bahwa setiap yang mahasiswa lakukan diluar kampusnya, tentunya membawa nama baik kampusnya. Pribahasa yang tepat adalah “akibat nila setitik, maka rusak susu sebelanga”. Contoh kasusnya adalah seperti Maharani yang kasusnya terkait dengan salah seorang petinggi partai. Ketika itu terekspos oleh media, maka munculah stigma-stigma tajam terhadap kampus dimana ia kuliah. Bahkan, terdapat salah satu stigma bahwa kampus tempat ia kuliah merupakan kampusnya para ayam.
Di sinilah letak argumen bagi beberapa mereka yang menganggap hal tersebut sangat berpengaruh. Mesikipun tidak terekspos oleh media, tetap saja menurut mereka sebagai suatu hal yang merusak citra kampus. Seperti misalnya, informasi dari mulut ke mulu ataupun lewat gosip di dalam ataupun di luar kampus tentang ayam kampus tersebut. Di situlah letak dari dampak keberadaan ayam kampus dalam eksistensinya menurut meraka. Baik dalam jangka pendek maupun jangka panjangnya. Jangka pendeknya seperti efek langsung dari pandangan publik terhadap kampus tersebut yang memiliki beberapa mahasiswinya sebagai seorang “PSK intelektual”. Kemudian, dampak jangka panjangnya adalah terhadap peminat dari mahasiswa baru ke depannya. Menurut salah seorang mahasiswa berpendapat bahwa ketika orang tua dari sang anak mengetahui bahwa kampus tersebut adalah sarangnya para ayam, maka kemungkinan besar orang tua tersebut enggan untuk mengkuliahkan anaknya di kampus tersebut, khususnya bagi mereka yang memiliki anak perempuan.
Inilah mungkin yang seperti dikatakan oleh beberapa tokoh struktural fungsional bahwa antara struktur dan fungsi harus dijalankan dengan seimbang sehingga terciptalah keadaan masyarakat dalam keadaan yang seimbang. Akan tetapi, Marx dalam teorinya menentang itu semua. Sebab, dalam lapisan masyarakat pasti selalu ada pertentangan serta konflik-konflik sosial di dalamnya. Hal tersebut seperti yang dicontohkan dalam kasus ayam kampus ini. Di sisi lain mereka harus menjaga nama baik kampusnya sebagai almamaternya. Akan tetapi, di sisi lain mereka terjebak dalam kondisi sosial ekonomi sehingga membuatnya dalam kondisi tersebut.
6.      Penutup
Ayam kampus memang sudah tidak dapat dipungkiri lagi keberadaan serta eksistensinya dalam kehidupan sosial. Suatu fakta sosial bersimbol determinsme ekonomi ini sedikit banyak telah memunculkan beragam alasan sebagai bentuk “pembelaan” dari apa yang telah mereka lakukan. Bukan bermaksud untuk menyalahi keadaan, tapi fenomena seperti tidak boleh dibiarkan terus berlanjut. Sehingga dalam hal ini diperlukan pandangan-pandangan kritis sebagai acuan dalam memberi solusi terhadap fenomena tersebut. Dalam hal ini, pendangan-pandangan intelektual seperti mahasiswa sangat diperlukan sebagai bentuk dari salah satu tri dharma mahasiswa, yaitu pengabdian masyarakat khususnya pandangan dari mahasiswa Pendidikan Sosiologi Reguler 2012.
Dari berbagai pandangan yang mereka utarakan, dapat disimpulkan bahwa keberadaan ayam kampus sebagai suatu fenomena sosial, dalam eksistensinya sangat berpengaruh terhadap citra atau nama baik kampusnya. Hal tersebut dipandang sebagai suatu dampak yang berupa jangka pendek dan apabila berkelanjutan dapat menjadi suatu dampak yang jangka panjang. Dalam kondisi dialektik seperti ini, memanglah dibutuhkan berbagai solusi sebagai wujud dari kepekaan terhadap fenomena seperti ini. Oleh karena itu, dengan munculnya kasus seperti ini sebagai sebuah fakta sosial dan simbol determinisme ekonomi, bagi penulis harus diperlukannya upaya-upaya yang kritis, baik dari institusi terkait maupun diri sendiri sebagai masyarakat. Dengan demikian, fenomena sosial seperti ini tidak menjadi sebuah siklus panjang yang linier nantinya.




DAFTAR PUSTAKA

 

Johnson, D. P. (1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern. (R. M. Lawang, Penerj.) Jakarta:
 PT. Gramedia.
Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2004). Teori Sosiologi. (Nurhadi, Penerj.) Bantul:
Kreasi Wacana.
Sunarto, K. (2004). Pengantar Sosiologi Edisi Revisi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
 Ekonomi Universitas Indonesia.

Dari Surat Kabar:
Harian Warta Kota. Mahasiswi Plus 6 bulan Raih Rp 1 miliar. Edisi: Senin, 3 Juni 2013.
------------------------. Jaringannya Mirip MLM. Edisi: Senin, 3 Juni 2013.
------------------------. Publice Service: Mahasiswi Plus 6 bulan Raih Rp 1 miliar. Edisi: Selasa
            4 Juni 2013.




[1] Doyle Paul Johnson. 1981. Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jilid 1). (Penerj). Robert M. Z. Lawang.
                Jakarta: PT. Gramedia. Hal: 134.
[2]  Ritzer dan Goodman. 2004. Teori Sosiologi. (Pener.)  Nurhadi.
Bantul: Kreasi Wacana. Hal: 81
[3] Ibid.
[4] Mucikari adalah seseorang  yang ‘memasarkan’ atau mengelola sekelompok PSK (Pekerja Seks Komersial).
[5] Harian Warta Kota, Edisi: Senin, 3 Juni 2013. Hal: 11.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8]  Harian Warta Kota, Edisi: Selasa, 4 Juni 2013. Hal: 7
[9] Kamanto Sunarto. 2004. Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi). Jakarta:
Lembaga Penerbit FE Universitas Indonesia. Hal 179
[10] Ritzer dan Goodman. 2004. Teori Sosiologi. (penerj.) Nurhadi.
Bantul: Kreasi Wacana.
[11] Ibid. Hal. 87.
[12] Ibid. Hal. 68.
[13] Harian Warta Kota, Edisi: Senin, 3 Juni 2013. Hal: 11
[14] Ibid.
[15] Ritzer dan Goodman. 2004. Teori Sosiologi. (Pener.)  Nurhadi.
Bantul: Kreasi Wacana. Hal: 6


No comments:

Post a Comment