Pudarnya
peran mahasiswa sebagai agen social of
change
(Studi
Kasus : Makna Perkuliahan Bagi Mahasiswa Sosiologi Universitas Negeri Jakarta
angkatan 2012)
Oleh:
Fattah Amal Iko Rusmana
Pendidikan
sosiologi Reguler 2012
NIM
4815122434
Pendahuluan:
Mahasiswa adalah
seseorang yang sedang menikmati keindahan pendidikan di salah satu lembaga
tinggi selama beberapa waktu yang telah ditentukan. Lembaga ini populer dengan
sebutan universitas atau perguruan tinggi. Di lembaga inilah dia belajar
mengasah otak, berpikir, memecahkan masalah tanpa masalah, belajar menjadi
orang mandiri, sabar, tawakkal, ikhlas, dan melatih keterampilan yang dia
miliki tanpa merasa jenuh dan bosan guna menjadi insan sejati.
Menjadi
seorang mahasiswa bukanlah hal yang mudah, namun bisa dipermudah jika kita mau
menjalaninya dengan baik. Caranya, kita harus menjalankan kewajiban sebagai
mahasiswa dengan menyelesaikan SKS (Sistem Kredit Semester) yang telah
ditentukan. Tetapi menjadi seorang mahasiswa jangan hanya sebatas mahasiswa biasa.
Kita harus mengikuti dan beradaptasi dengan pergaulan kampus, tentunya
pergaulan yang memberikan dampak positif bagi perkuliahan kita.
Namun
di balik semua itu menjadi mahasiswa tidaklah semudah seseorang yang belum
terkatagorikan mahasiswa (pelajar) yang berada dalam pendidikan formal saja.
Karena menjadi mahasiswa tak cuma belajar di kelas, baca buku, buat makalah,
presentasi, diskusi dan hadir di kelas saja. Ada hal lain yang lebih beresensi
daripada belajar formal dikelas. Banyak organisasi-organisasi dikampus yang
dapat menghidupkan ruang akademik bagi mahasiswa.
Ibarat
sebuah rumah yang besar, kampus adalah tempat bernaung bagi mahasiswa. Begitu
banyak menyediakan jendela yang dapat dibuka oleh mahasiswa kapan saja dan
dimana saja. Bila jendela rumah dibuka, udara dapat masuk kedalam ruangan yang
dapat menyejukan ataupun memanaskan ruangan didalam rumah. Tetapi jika jendela
ditutup, tak akan ada udara yang dapat menyejukan atau memanaskan ruangan yang
ada di dalam rumah. Sama halnya dengan mahasiswa, jika kuliah hanya didalam
ruangan kelas, tidak akan mendapatkan pengalaman dari esensi dalam berkuliah.
Tetapi jika mengikuti organisasi dan bersosialisasi dengan kelompok-kelompok
yang ada disekitaran kampus yang bersifat positif, dapat menghidupkan ruang-ruang
sosial akademik dilingkungan kampus. Disanalah ada gerbang-gerbang sukses yang
terbuka lebar.
Berangkat dari pernyataan diatas,
penulis tertarik untuk mengetahui lebih mendalam dari fungsi mahasiswa sebagai
agen perubahan sosial. Dalam penelitian tentang dinamika perkuliahan mahasiswa,
penulis akan mengambil sampel penelitian pada mahasiswa jurusan Pendidikan
Sosiologi universitas Negeri Jakarta reguler angkatan 2012. Berdasarkan
pengamatan penulis, mahasiswa yang berada dikelas ini mempunyai karakteristik yang berbeda-beda,
sehingga membentuk suatu dinamika dalam memandang makna dari esensi perkuliahan
di Universitas Negeri Jakarta.
Tindakan sosial mengkonstruksikan
tipe-tipe mahasiswa
Menurut Max Webber, Sosiologi merupakan ilmu yang berupaya
memahami tindakan sosial. Tidak semua tindakan manusia dikatakan tindakan
sosial.
Tindakan sosial merupakan tindakan
individu terhadap orang lain yang memiliki makna untuk dirinya sendiri dan
orang lain. Tindakan sosial merupakan tindakan yang penuh makna subjektif bagi
pelakunya atau arti, atau dalam setiap tindakan sosial itu ada motif tertentu.
Max Webber membedakan tindakan dengan perilaku yang
murni reaktif. Konsep perilaku dimaksudkan sebagai perilaku otomatis yang tidak
melibatkan proses pemikiran. Webber memusatkan pada tindakan yang melibatkan
proses pemikiran antara terjadinya stimulus dan respon[1].
Dari
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh mahasiswa, dapat terkonstruksi tipe-tipe
dari mahasiswa. Setiap tindakan yang dilakukan oleh semua mahasiswa tidak
selalu disebut tindakan sosial. Hanya tindakan yang mempunyai makna dan motif
lah yang dapat disebut dengan tindakan
sosial.
Menurut
pengalaman penulis yang sudah duduk dibangku perkuliahan selama dua semester,
dapat terlihat konstruksi dari tipe-tipe mahasiswa di Universitas Negeri
Jakarta. Menurut penulis ada 3 tipe dari mahasiswa, yaitu: Mahasiswa kupu-kupu,
kunang-kunang, dan kura-kura.
Tipe
mahasiswa yang pertama adalah mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang
kuliah-pulang). Banyak mahasiswa yang
kita temukan di kampus bercorak kupu-kupu. Mereka hanya mengejar IPK
tinggi, rajin kuliah, kuliah tidak pernah absen namun mereka tidak mau
mempersoalkan masalah yang dihadapi bangsa
bahkan lebih parahnya lagi masalah
mengenai fakultas sendiri mereka tidak tau. Dengan demikian, kita akan
melihat mahasiswa kupu-kupu ketinggalan
informasi. Masalah bangsa tidak mereka ketahui, persoalan birokrasi mereka
hindari. Sehingga hidup mahasiswa kupu-kupu mengalir bagaikan air.
Menurut
hasil riset wawancara penulis kebeberapa mahasiswa di kelas Pendidikan
Sosiologi Reguler 2012, ada banyak sekali asumsi yang memkonstruksikan dirinya
selalu kuliah langsuang pulang ke rumah ataupun kostan. Asumsi pertama, karena
ingin mendapatkan IPK tinggi dengan alasan mau cepat lulus dan tidak
mengecewakan orang tua. Asumsi kedua, karena tempat tinggal jauh dari kampus,
sehingga timbul rasa enggan untuk berorganisasi atau sekedar bercengkrama
dengan lingkungan sekitar.
Tipe
mahasiswa yang kedua adalah mahasiswa kunang-kunang. Kunang-kunang adalah
singkatan dari Kuliah-nangkring kuliah-nangkring. Tipe mahasiswa ini hanya
nongkrong dengan teman-temannya saja di café,kantin, dan lainnya, yang mereka
lakukan menggosip, merokok, dan
kesempatan berkreatif atau mengembangkan diri.
Menurut
hasil riset wawancara penulis dengan beberapa mahasiswa di kelas Pendidikan
Sosiologi Reguler 2012. Ada asumsi yang mempengaruhi mengapa lebih senang
nongkrong setelah pulang kuliah dari pada pulang atau ikut berorganisasi.
Asumsinya, dengan nongkrong dapat menghidupkan ruang sosial mahasiswa, karena
kalau hanya berorganisasi frekuensi bertemu dengan teman-teman yang lain tidak
terlalu intensif. Dengan nongkrong bisa selalu mendiskusikan tentang fenomena
sosial yang terjadi ataupun membahas tentang proses pembelajaran perkuliahan
dengan cara yang lebih santai.
Dan
tipe mahasiswa yang ketiga adalah mahasiswa kura-kura. Kura-kura adalah
singkatan dari kuliah-rapat kuliah-rapat. Tipe mahasiswa kura-kura hanya
dimiliki oleh mahasiswa yang mementingkan
kuliah dan tidak melupakan organisasi. Mereka mengisi waktu luang dengan
bermacam rapat oraganisasi, diskusi tentang issue kampus, ,bangsa, masyarakat dan hingga politik. Maka tak heran, biasanya
tipe kura-kura adalah mahasiswa tersibuk di kampus. Mahasiswa kura-kura alias
kuliah rapat-kuliah rapat, mereka akan mendapatkan dua ilmu yaitu hard skill
dan soft skill. Hard skill akan didapatkan mahasiswa di kelas dan ruang
belajar, sedangkan soft skill akan didapatkan mahasiswa di organisasi. Oleh
karenanya, mahasiswa yang dibutuhkan masyarakat ke depan tidak hanya
berkemampuan akademik namun juga memiliki kemampuan non-akademik. Kemampuan
melobi, kemampuan berinteraksi, kemampuan memimpin alias soft skill. Hal itu
semua hanya didapatkan di organisasi.
Hidupnya interaksi sosial mahasiswa
dengan berorganisasi
Menjadi
seorang mahasiswa bukanlah hal yang mudah, namun bisa dipermudah jika kita mau
menjalaninya dengan baik. Caranya, kita harus menjalankan kewajiban sebagai
mahasiswa dengan menyelesaikan SKS (Satuan Kredit Semester) yang telah
ditentukan. Tetapi menjadi seorang mahasiswa jangan hanya sebatas mahasiswa
biasa. Kita harus mengikuti dan beradaptasi dengan pergaulan kampus, tentunya
pergaulan yang memberikan dampak positif bagi perkuliahan kita.
Di
lingkungan kampus, kita dilatih untuk membiasakan diri untuk berinteraksi
menunjukkan rasa sosial yang tinggi. Salah satunya adalah bergabung dengan
organisasi-organisasi yang ada di kampus. Di dalam lingkup organisasi kita bisa
menunjukkan bahwa kita memberikan dampak yang baik di lingkungan kampus
Organisasi
kemahasiswaan merupakan bentuk kegiatan di perguruan tinggi yang
diselenggarakan dengan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa (Silvia Sukirman,
2004:72). Organisasi tersebut merupakan wahana dan sarana pengembangan diri
mahasiswa ke arah perluasan wawasan peingkatan ilmu dan pengetahuan, serta
integritas kepribadian mahasiswa. Organisasi kemahasiswaan juga sebagai wadah
pengembangan kegiatan ekstrakurikuler mahasiswa diperguruan tinggi yang
meliputi pengembangan penalaran, keilmuan, minat, bakat dan kegemaran mahasiswa
itu sendiri (Paryati Sudarman, 2004:34-35). Hal ini dikuatkan oleh Kepmendikbud
RI. No. 155/U/1998 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan
Tinggi, bahwa: Organisasi kemahasiswaan intra-perguruan tinggi adalah wahana
dan sarana pengembangan diri mahasiswa ke arah perluasan wawasan dan
peningkatan kecendikiaan serta integritas kepribadian untuk mencapai tujuan
pendidikan tinggi.
Di
Universitas Negeri Jakarta sendiri ada banyak organisasi kemahasiswaan. Ada
Organisasi kemahasiswaan (ormawa), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Unit Kegiatan
Olahraga (UKO)[2].
Yang masing-masing organisasi tersebut memiliki kekhususan masing-masing
Menurut
Georg simmel, Interaksi sosial (asosiasi) tidak hanya sebatas hubungan-hubungan
sosial yang dinamis tetapi ada proses saling pengaruh mempengaruhi dalam
berinteraksi tersebut[3]. Organisasi merupakan sesuatu yang
tidak bisa dipisahkan dengan mahasiswa yang menimba ilmu di kampus. Organisasi
sebetulnya sangat penting untuk kebaikan kita sebagai mahasiswa, namun
kesadaran berorganisasi itu sangat minim dewasa ini. Sudah semakin berkurang
tampaknya mahasiswa yang berminat untuk bergabung dengan organisasi-organisasi
yang ada di kampus. Padahal, dengan berorganisasi kita mampu menemukan jati
diri kita sesungguhnya sebagai kaum intelektual. Tidak hanya sekedar duduk dan
mendengarkan dosen memberi perkuliahan, tetapi kita juga bisa merasakan
kepuasan menjadi seorang pemimpin pada sebuah organisasi.
Dengan
berinteraksi sosial dengan berorganisasi, kita bisa mengenal dunia kampus lebih
luas. Misalnya, kita adalah seorang mahasiswa yang tidak terbiasa berbicara di
depan orang banyak, sehingga gugup ketika ingin berpendapat didalam sesi
perkuliahan. Dengan berorganisasi kita akan dibina untuk hal tersebut.
Setidaknya dengan berorganisasi kita mampu berbicara secara terbuka di depan
orang banyak.
Apek utama
yang akan kita miliki dalam berorganisasi yaitu mental. Jika kita sudah
mempunyai mental untuk berlabuh pada suatu organisasi, maka akan mudah bagi
kita untuk melanjutkan ke perjalanan yang selanjutnya. Setelah itu barulah kita
melaksanakan pembinaan dalam organisasi
dengan baik. Berbeda dengan orang yang tidak pernah berorganisasi,
jangankan untuk berbicara didepan orang banyak, berdiskusi dengan ruang lingkup
yang kecilpun tidak sanggup rasanya untuk berpendapat.
Betapa
pentingnya organisasi tidak mampu diukur secara formal, namun bisa kita rasakan
dengan perasaan. Dahulunya kita hanyalah seorang yang pendiam dan jarang
bergaul, setelah mencoba berorganisasi maka kita bisa untuk mengeluarkan
pendapat dan berbicara dengan tenang. Kita tidak lagi merasakan gugup atau gemetar
melihat kumpulan orang yang akan mendengar
apa yang akan kita ucapkan.
Penulis
sendiri dahulunya hanya mempunyai sedikit skill
untuk berbicara didepan orang banyak. Tetapi dengan berinteraksi sosial dengan
berorganisasi, terasa sangat membantu disaat perkuliahan. Biasanya penulis
hanya duduk-duduk dan mengobrol dibelakang, namun setelah berorganisasi penulis
lebih tertarik untuk duduk dibagian depan dan bertanya jawab dengan dosen
bersama teman-teman lainnya. Itulah kira-kira gambaran yang mungkin bisa
memotivasi mahasiswa dilingkungan kita ini memanfaatkan organisasi agar mampu
menemukan jati dirinya sebagai mahasiswa.
Terkonstruksinya Mahasiswa
“kupu-kupu” di Pendidikan Sosiologi Reguler 2012
Kepada para mahasiswa yang merindukan kejayaan
Kepada rakyat yang kebingungan dipersimpang jalan
Kepada pewaris peradaban yang telah menggoreskan
Sebuah catatan kebanggaan di lembar sejarah manusia
Petikan
Mars Mahasiswa ini tentu tidak asing lagi di telinga mahasiswa. Saat masuk dan
menjadi mahasiswa baru, kalimat ini adalah nyanyian keseharian ketika Masa
Pengenalan Akademik (MPA) UNJ, baik MPA jurusan sampai ke tingkat universitas
syair lagu ini selalu dinyayikan. Mahasiswa, rakyat, pewaris peradaban adalah
kata-kata yang memiliki esensi makna yang tak terpisahkan. Kenapa hal ini bisa
terjadi? Tentunya semua ada alasan yang menyadari.
Rakyat di
negeri ini mengenal sosok-sosok seperti Ir.Soekarno, Muh.Hatta, Spe Hok Gie dan
kiprah mereka ketika menjadi mahasiswa. Torehan tinta yang mereka goreskan
dalam sejarah Negara ini dimulai pada saat mereka masih seusia kita, mahasiswa.
Dan sampai saat ini hasil perjuangannya masih bisa dirasakan. Tahun 1868, dnia
mencatat gerakan mahasiswa di Perancis yang mendapat dukungan dari masyarakat
luas bersau melawan kaum borjuis yang adapada saat itu. Peristiwa mundurnya
Suharto pada tahun 1998 juga dilakukan oleh gerakan mahasiswa dari seluruh
penjuru nusantara. Semua itu terjadi karena mahasiswa benar-benar mempersiapkan
dirinya dan menjalankan perannya sebagai sebuah pembaharu atau perubah sebuah
keadaan yang stagnan ataupun kondisi yang tidak berpihak kepada rakyat.
Pada
kenyataannya mahasiswa sering menganggap remeh harapan rakyat. Mahasiswa hanya
sibuk dengan dirinya sendiri, mengejar nilai cumlaude dan berfikir mendapatkan
pekerjaan layak setekah lulus. Hal itu sebenarnya tidak keliru karena mahasiswa
juga dituntut untuk memiliki spesifikasi ilmu secara akademik yang bagus. Namun
terkadang fenomena ini menjadikan mahasiswa hanya berkutat dengan dirinya
sendiri dan acuh dengan kondisi lingkungan yang terjadi. Bahkan sekarang
berkembang istilah “mahasiswa kupu-kupu”. Sebutan ini ditujukan pada karakter
mahasiswa yang sekedar kuliah lalu pulang. Tentunya mahasiswa yang termasuk
dalam kategori ini adalah orang yang rajin kuliah untuk mendapatkan nilai
akademik bagus dengan tujuan bisa lulus secepat mungkin. Mahasiswa kupu-kupu
bisa jadi memang meiliki keunggulan dari sisi akademik yag tinggi akan tetapi
seorang mahasiswa tidak hanya dituntut untuk ahli dalam keilmuan saja, tetapi
juga memiliki berbagai keterampilan lain yang tidak didapatkan dari mata kuliah
yang ada.
Dikelas
Pendidikan Sosiologi Reguler 2012, terdapat Karakteristik mahasiswa yang
berbeda-beda. Setiap Mahasiswa mempunyai karakteristik yang unik sehingga berbeda-beda
dalam memaknai perkuliahan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di
kelas Pendidikan Sosiologi Reguler 2012, mayoritas dari mahasiswanya lebih
memilih langsung pulang ke rumah dari pada mengikuti organisasi ataupun untuk
sekedar nongkrong bersama mahasiswa yang lainnya dilingkungan kampus.
Hasil
angket penelitian dari 54 orang sampel yang diambil, dengan pertanyaa:
Apa yang suka anda lakukan setelah kegiatan
perkuliahan di dalam kelas sudah selesai?
Sumber:
Penulis, 2013
Berdasarkan data diatas dapat
disimpulkan bahwa, dapat terkonstruksikan mahasiswa yang ada di kelas
Pendidikan Sosiologi Reguler 2012 mayoritas bertipe mahasiswa kupu-kupu atau
kuliah pulang. Berdasarkan wawancara penulis dengan beberapa mahasiswa di kelas
Pendidikan Sosiologi Reguler 2012, ada beberapa asumsi mengapa mereka hanya
memilih langsung pulang ketika selesai kuliah.
Asusmsi pertama, tidak boleh ada
kegiatan yang dapat menggagu kuliah. Karena banyak kakak senior yang aktif di
organisasi kampus maupun luar kampus dan juga mahasiswa yang sering nongkrong,
lama sekali lulus dari bangku kuliah. Seolah-olah focus utama mereka hanya
organisasi dan nongkrong saja yang dapat menelantarkan kuliah.
Asumsi kedua, lulus kuliah harus
tepat waktu dengan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) tinggi. Menurut mereka tidak
masalah tidak aktif di organisasi atau di lingkungan kampus, yang terpenting
adalah wisuda tepat waktu dengan IPK tinggi.
Asumsi ketiga, karena jarak rumah
dengan kampus terlalu jauh. Hal inilah yang membuat sebagian dari mereka tidak
mau mengikuti organisasi ataupun sekedar bercengkrama dengan teman-teman di
kampus dalam waktu yang lama menjadi enggan karena jarak rumah dengan kampus
terlalu jauh.
Berdasarkan
asumsi-asumsi tersebut, mahasiswa kupu-kupu hanya menerima realitas yang ada
dan sekedar mengkalkulasikan cara termudah untuk mengatasi kesulitan yang
meraka hadapi[4]. Peran
mahasiswa sebagai agen of change
hilang, karena hanya memikirkan tugas perkuliahan saja tanpa memiki softskill dari organisasi kemahasiswaan
untuk terjun di dunia kerja dan melupakan nasib rakyat yang harusnya menjadi
tugas mahasiswa.
Menurut Max Webber, Rasionalitas praktis adalah setiap jalan
hidup memandang dan menilai aktivitas-aktivitas duniawi dalam kaitannya dengan
kepentingan individu yang murni pragmatis dan egoistis[5].
Mahasiswa “kupu-kupu” hanya memikirkan sendiri yaitu egoistis, hanya memikirkan
IPK semata. Padahal kalau mau berorganisasi dan nongkrong dengan teman-teman
mahasiswa lainnya yang ada di kampus, dapat menghidupkan ruang sosial akademik
di luar kelas.
Penutup
Kampus ibarat rumah besar yang mempunyai banyak
jendela-jendela ilmu pengetahuan yang bisa dinikmati oleh seorang mahasiswa.
Menjadi seorang mahasiswa tidak hanya sekedar menyelesaikan (Satuan Kredit
Semester) SKS saja. Tetapi banyak hal yang akan di dapat oleh seorang mahasiswa
jika seorang mahasiswa bisa aktif di lingkungan kampus maupun di lingkungan
masyarakat.
Mahasiswa
yang aktif di lingkungan kampus atau masyarakat, akan menghidupkan ruang sosial
akademik di luar kelas. Dengan berorganisasi ataupun hanya sekedar nongkrong
dengan mahasiswa lain di kampus, dapat menghidupkan interaksi sosial (asosiasi)
didalam masyarakat. Interaksi sosial (asosiasi) tidak hanya
sebatas hubungan-hubungan sosial yang dinamis tetapi ada proses saling pengaruh
mempengaruhi dalam berinteraksi tersebut. Jika interaksi sosial dapat di hidupkan oleh mahasiswa,
maka akan banyak ilmu yang di dapatkan daripada kuliah langsung pulang dan interaksi sosialnya tidak dapat
dikembangkan.
Sebagai
sebuah kontemplasi dari fenomena yang terjadi didalam siklus perkuliahan
mahasiswa. Penulis mencoba membangkitkan kesadaran kritis kita tentanng masalah
yang dihadapi oleh para mahasiswa. Pasalnya banyak sekali mahasiswa yang lupa
dengan tugasnya sebagai agen perubahan. Banyak kritik para aktivis terhadap
kemandekan yang terjadi di kalangan mahasiswa hari ini. Banyak hal-hal yang
telah luput dari perjuangkan mahasiswa, seperti mengawal kebijakan pemerintah,
ikut andil dalam kesejahteraan masyarakat hingga pada tataran kampus, yaitu
menuntut pendidikan yang memanusiakan manusia. Mahasiswa kupu-kupu (kuliah
pulang-kuliah pulang) di rasa semakin memenuhi kampus, banyak hal yang
melatarbelakangi tidak keluar dari tidak siapnya mahaiswa Indonesia menerima
perubahan zaman yang sekarang serba canggih.
Daftar
Pustaka :
Henslin, James
M. 2006. Sosiologi dengan Pendekatan
Membumi. Jakarta: Erlangga.
Dialihbahasakan oleh Kamanto Sunarto
Ritzer,George
dan Douglas J. Goodman. 2012. Teori Sosiologi Klasik. Bantul: Kreasi
Wacana.
Dialihbahasakan oleh Nurhadi.
Surachman,Eman
dan Devi Septiandini. 2012. Pengantar
Ilmu Pendidikan. Jakarta: Universitas
Negeri Jakarta.
Suriani.
2011. Menghidupkan Ruang Sosial
Pendidikan. Bogor: Edukati Press.
No comments:
Post a Comment