Tuesday 3 September 2013

Pudarnya peran mahasiswa sebagai agen social of change


Pudarnya peran mahasiswa sebagai agen social of change
(Studi Kasus : Makna Perkuliahan Bagi Mahasiswa Sosiologi Universitas Negeri Jakarta angkatan 2012)
Oleh: Fattah Amal Iko Rusmana
Pendidikan sosiologi Reguler 2012
NIM 4815122434
Pendahuluan:

Mahasiswa adalah seseorang yang sedang menikmati keindahan pendidikan di salah satu lembaga tinggi selama beberapa waktu yang telah ditentukan. Lembaga ini populer dengan sebutan universitas atau perguruan tinggi. Di lembaga inilah dia belajar mengasah otak, berpikir, memecahkan masalah tanpa masalah, belajar menjadi orang mandiri, sabar, tawakkal, ikhlas, dan melatih keterampilan yang dia miliki tanpa merasa jenuh dan bosan guna menjadi insan sejati.
Menjadi seorang mahasiswa bukanlah hal yang mudah, namun bisa dipermudah jika kita mau menjalaninya dengan baik. Caranya, kita harus menjalankan kewajiban sebagai mahasiswa dengan menyelesaikan SKS (Sistem Kredit Semester) yang telah ditentukan. Tetapi menjadi seorang mahasiswa jangan hanya sebatas mahasiswa biasa. Kita harus mengikuti dan beradaptasi dengan pergaulan kampus, tentunya pergaulan yang memberikan dampak positif bagi perkuliahan kita.
Namun di balik semua itu menjadi mahasiswa tidaklah semudah seseorang yang belum terkatagorikan mahasiswa (pelajar) yang berada dalam pendidikan formal saja. Karena menjadi mahasiswa tak cuma belajar di kelas, baca buku, buat makalah, presentasi, diskusi dan hadir di kelas saja. Ada hal lain yang lebih beresensi daripada belajar formal dikelas. Banyak organisasi-organisasi dikampus yang dapat menghidupkan ruang akademik bagi mahasiswa.
Ibarat sebuah rumah yang besar, kampus adalah tempat bernaung bagi mahasiswa. Begitu banyak menyediakan jendela yang dapat dibuka oleh mahasiswa kapan saja dan dimana saja. Bila jendela rumah dibuka, udara dapat masuk kedalam ruangan yang dapat menyejukan ataupun memanaskan ruangan didalam rumah. Tetapi jika jendela ditutup, tak akan ada udara yang dapat menyejukan atau memanaskan ruangan yang ada di dalam rumah. Sama halnya dengan mahasiswa, jika kuliah hanya didalam ruangan kelas, tidak akan mendapatkan pengalaman dari esensi dalam berkuliah. Tetapi jika mengikuti organisasi dan bersosialisasi dengan kelompok-kelompok yang ada disekitaran kampus yang bersifat positif, dapat menghidupkan ruang-ruang sosial akademik dilingkungan kampus. Disanalah ada gerbang-gerbang sukses yang terbuka lebar.
            Berangkat dari pernyataan diatas, penulis tertarik untuk mengetahui lebih mendalam dari fungsi mahasiswa sebagai agen perubahan sosial. Dalam penelitian tentang dinamika perkuliahan mahasiswa, penulis akan mengambil sampel penelitian pada mahasiswa jurusan Pendidikan Sosiologi universitas Negeri Jakarta reguler angkatan 2012. Berdasarkan pengamatan penulis, mahasiswa yang berada dikelas ini  mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, sehingga membentuk suatu dinamika dalam memandang makna dari esensi perkuliahan di Universitas Negeri Jakarta.

Tindakan sosial mengkonstruksikan tipe-tipe mahasiswa

Menurut Max Webber, Sosiologi merupakan ilmu yang berupaya memahami tindakan sosial. Tidak semua tindakan manusia dikatakan tindakan sosial. Tindakan sosial merupakan tindakan individu terhadap orang lain yang memiliki makna untuk dirinya sendiri dan orang lain. Tindakan sosial merupakan tindakan yang penuh makna subjektif bagi pelakunya atau arti, atau dalam setiap tindakan sosial itu ada motif tertentu.
Max Webber membedakan tindakan dengan perilaku yang murni reaktif. Konsep perilaku dimaksudkan sebagai perilaku otomatis yang tidak melibatkan proses pemikiran. Webber memusatkan pada tindakan yang melibatkan proses pemikiran antara terjadinya stimulus dan respon[1].
Dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh mahasiswa, dapat terkonstruksi tipe-tipe dari mahasiswa. Setiap tindakan yang dilakukan oleh semua mahasiswa tidak selalu disebut tindakan sosial. Hanya tindakan yang mempunyai makna dan motif lah  yang dapat disebut dengan tindakan sosial.
Menurut pengalaman penulis yang sudah duduk dibangku perkuliahan selama dua semester, dapat terlihat konstruksi dari tipe-tipe mahasiswa di Universitas Negeri Jakarta. Menurut penulis ada 3 tipe dari mahasiswa, yaitu: Mahasiswa kupu-kupu, kunang-kunang, dan kura-kura.
Tipe mahasiswa yang pertama adalah mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang kuliah-pulang). Banyak mahasiswa yang  kita temukan di kampus bercorak kupu-kupu. Mereka hanya mengejar IPK tinggi, rajin kuliah, kuliah tidak pernah absen namun mereka tidak mau mempersoalkan masalah yang dihadapi bangsa  bahkan lebih parahnya lagi masalah  mengenai fakultas sendiri mereka tidak tau. Dengan demikian, kita akan melihat mahasiswa  kupu-kupu ketinggalan informasi. Masalah bangsa tidak mereka ketahui, persoalan birokrasi mereka hindari. Sehingga hidup mahasiswa kupu-kupu mengalir bagaikan air.
Menurut hasil riset wawancara penulis kebeberapa mahasiswa di kelas Pendidikan Sosiologi Reguler 2012, ada banyak sekali asumsi yang memkonstruksikan dirinya selalu kuliah langsuang pulang ke rumah ataupun kostan. Asumsi pertama, karena ingin mendapatkan IPK tinggi dengan alasan mau cepat lulus dan tidak mengecewakan orang tua. Asumsi kedua, karena tempat tinggal jauh dari kampus, sehingga timbul rasa enggan untuk berorganisasi atau sekedar bercengkrama dengan lingkungan sekitar.
Tipe mahasiswa yang kedua adalah mahasiswa kunang-kunang. Kunang-kunang adalah singkatan dari Kuliah-nangkring kuliah-nangkring. Tipe mahasiswa ini hanya nongkrong dengan teman-temannya saja di cafĂ©,kantin, dan lainnya, yang mereka lakukan  menggosip, merokok, dan kesempatan berkreatif atau mengembangkan diri.
Menurut hasil riset wawancara penulis dengan beberapa mahasiswa di kelas Pendidikan Sosiologi Reguler 2012. Ada asumsi yang mempengaruhi mengapa lebih senang nongkrong setelah pulang kuliah dari pada pulang atau ikut berorganisasi. Asumsinya, dengan nongkrong dapat menghidupkan ruang sosial mahasiswa, karena kalau hanya berorganisasi frekuensi bertemu dengan teman-teman yang lain tidak terlalu intensif. Dengan nongkrong bisa selalu mendiskusikan tentang fenomena sosial yang terjadi ataupun membahas tentang proses pembelajaran perkuliahan dengan cara yang lebih santai.
Dan tipe mahasiswa yang ketiga adalah mahasiswa kura-kura. Kura-kura adalah singkatan dari kuliah-rapat kuliah-rapat. Tipe mahasiswa kura-kura hanya dimiliki oleh mahasiswa yang mementingkan  kuliah dan tidak melupakan organisasi. Mereka mengisi waktu luang dengan bermacam rapat oraganisasi, diskusi tentang issue  kampus, ,bangsa, masyarakat  dan hingga politik. Maka tak heran, biasanya tipe kura-kura adalah mahasiswa tersibuk di kampus. Mahasiswa kura-kura alias kuliah rapat-kuliah rapat, mereka akan mendapatkan dua ilmu yaitu hard skill dan soft skill. Hard skill akan didapatkan mahasiswa di kelas dan ruang belajar, sedangkan soft skill akan didapatkan mahasiswa di organisasi. Oleh karenanya, mahasiswa yang dibutuhkan masyarakat ke depan tidak hanya berkemampuan akademik namun juga memiliki kemampuan non-akademik. Kemampuan melobi, kemampuan berinteraksi, kemampuan memimpin alias soft skill. Hal itu semua hanya didapatkan di organisasi.


Hidupnya interaksi sosial mahasiswa dengan berorganisasi

Menjadi seorang mahasiswa bukanlah hal yang mudah, namun bisa dipermudah jika kita mau menjalaninya dengan baik. Caranya, kita harus menjalankan kewajiban sebagai mahasiswa dengan menyelesaikan SKS (Satuan Kredit Semester) yang telah ditentukan. Tetapi menjadi seorang mahasiswa jangan hanya sebatas mahasiswa biasa. Kita harus mengikuti dan beradaptasi dengan pergaulan kampus, tentunya pergaulan yang memberikan dampak positif bagi perkuliahan kita.
Di lingkungan kampus, kita dilatih untuk membiasakan diri untuk berinteraksi menunjukkan rasa sosial yang tinggi. Salah satunya adalah bergabung dengan organisasi-organisasi yang ada di kampus. Di dalam lingkup organisasi kita bisa menunjukkan bahwa kita memberikan dampak yang baik di lingkungan kampus
Organisasi  kemahasiswaan merupakan bentuk kegiatan di perguruan tinggi yang diselenggarakan dengan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa (Silvia Sukirman, 2004:72). Organisasi tersebut merupakan wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa ke arah perluasan wawasan peingkatan ilmu dan pengetahuan, serta integritas kepribadian mahasiswa. Organisasi kemahasiswaan juga sebagai wadah pengembangan kegiatan ekstrakurikuler mahasiswa diperguruan tinggi yang meliputi pengembangan penalaran, keilmuan, minat, bakat dan kegemaran mahasiswa itu sendiri (Paryati Sudarman, 2004:34-35). Hal ini dikuatkan oleh Kepmendikbud RI. No. 155/U/1998 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, bahwa: Organisasi kemahasiswaan intra-perguruan tinggi adalah wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa ke arah perluasan wawasan dan peningkatan kecendikiaan serta integritas kepribadian untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi.
Di Universitas Negeri Jakarta sendiri ada banyak organisasi kemahasiswaan. Ada Organisasi kemahasiswaan (ormawa), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Unit Kegiatan Olahraga (UKO)[2]. Yang masing-masing organisasi tersebut memiliki kekhususan masing-masing
Menurut Georg simmel, Interaksi sosial (asosiasi) tidak hanya sebatas hubungan-hubungan sosial yang dinamis tetapi ada proses saling pengaruh mempengaruhi dalam berinteraksi tersebut[3].  Organisasi merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dengan mahasiswa yang menimba ilmu di kampus. Organisasi sebetulnya sangat penting untuk kebaikan kita sebagai mahasiswa, namun kesadaran berorganisasi itu sangat minim dewasa ini. Sudah semakin berkurang tampaknya mahasiswa yang berminat untuk bergabung dengan organisasi-organisasi yang ada di kampus. Padahal, dengan berorganisasi kita mampu menemukan jati diri kita sesungguhnya sebagai kaum intelektual. Tidak hanya sekedar duduk dan mendengarkan dosen memberi perkuliahan, tetapi kita juga bisa merasakan kepuasan menjadi seorang pemimpin pada sebuah organisasi.
Dengan berinteraksi sosial dengan berorganisasi, kita bisa mengenal dunia kampus lebih luas. Misalnya, kita adalah seorang mahasiswa yang tidak terbiasa berbicara di depan orang banyak, sehingga gugup ketika ingin berpendapat didalam sesi perkuliahan. Dengan berorganisasi kita akan dibina untuk hal tersebut. Setidaknya dengan berorganisasi kita mampu berbicara secara terbuka di depan orang banyak.
Apek utama yang akan kita miliki dalam berorganisasi yaitu mental. Jika kita sudah mempunyai mental untuk berlabuh pada suatu organisasi, maka akan mudah bagi kita untuk melanjutkan ke perjalanan yang selanjutnya. Setelah itu barulah kita melaksanakan pembinaan dalam organisasi  dengan baik. Berbeda dengan orang yang tidak pernah berorganisasi, jangankan untuk berbicara didepan orang banyak, berdiskusi dengan ruang lingkup yang kecilpun tidak sanggup rasanya untuk berpendapat.
Betapa pentingnya organisasi tidak mampu diukur secara formal, namun bisa kita rasakan dengan perasaan. Dahulunya kita hanyalah seorang yang pendiam dan jarang bergaul, setelah mencoba berorganisasi maka kita bisa untuk mengeluarkan pendapat dan berbicara dengan tenang. Kita tidak lagi merasakan gugup atau gemetar melihat kumpulan orang yang akan mendengar  apa yang akan kita ucapkan.
Penulis sendiri dahulunya hanya mempunyai sedikit skill untuk berbicara didepan orang banyak. Tetapi dengan berinteraksi sosial dengan berorganisasi, terasa sangat membantu disaat perkuliahan. Biasanya penulis hanya duduk-duduk dan mengobrol dibelakang, namun setelah berorganisasi penulis lebih tertarik untuk duduk dibagian depan dan bertanya jawab dengan dosen bersama teman-teman lainnya. Itulah kira-kira gambaran yang mungkin bisa memotivasi mahasiswa dilingkungan kita ini memanfaatkan organisasi agar mampu menemukan jati dirinya sebagai mahasiswa.





Terkonstruksinya Mahasiswa “kupu-kupu” di Pendidikan Sosiologi Reguler 2012

Kepada para mahasiswa yang merindukan kejayaan
Kepada rakyat yang kebingungan dipersimpang jalan
Kepada pewaris peradaban yang telah menggoreskan
Sebuah catatan kebanggaan di lembar sejarah manusia

            Petikan Mars Mahasiswa ini tentu tidak asing lagi di telinga mahasiswa. Saat masuk dan menjadi mahasiswa baru, kalimat ini adalah nyanyian keseharian ketika Masa Pengenalan Akademik (MPA) UNJ, baik MPA jurusan sampai ke tingkat universitas syair lagu ini selalu dinyayikan. Mahasiswa, rakyat, pewaris peradaban adalah kata-kata yang memiliki esensi makna yang tak terpisahkan. Kenapa hal ini bisa terjadi? Tentunya semua ada alasan yang menyadari.
Rakyat di negeri ini mengenal sosok-sosok seperti Ir.Soekarno, Muh.Hatta, Spe Hok Gie dan kiprah mereka ketika menjadi mahasiswa. Torehan tinta yang mereka goreskan dalam sejarah Negara ini dimulai pada saat mereka masih seusia kita, mahasiswa. Dan sampai saat ini hasil perjuangannya masih bisa dirasakan. Tahun 1868, dnia mencatat gerakan mahasiswa di Perancis yang mendapat dukungan dari masyarakat luas bersau melawan kaum borjuis yang adapada saat itu. Peristiwa mundurnya Suharto pada tahun 1998 juga dilakukan oleh gerakan mahasiswa dari seluruh penjuru nusantara. Semua itu terjadi karena mahasiswa benar-benar mempersiapkan dirinya dan menjalankan perannya sebagai sebuah pembaharu atau perubah sebuah keadaan yang stagnan ataupun kondisi yang tidak berpihak kepada rakyat.
Pada kenyataannya mahasiswa sering menganggap remeh harapan rakyat. Mahasiswa hanya sibuk dengan dirinya sendiri, mengejar nilai cumlaude dan berfikir mendapatkan pekerjaan layak setekah lulus. Hal itu sebenarnya tidak keliru karena mahasiswa juga dituntut untuk memiliki spesifikasi ilmu secara akademik yang bagus. Namun terkadang fenomena ini menjadikan mahasiswa hanya berkutat dengan dirinya sendiri dan acuh dengan kondisi lingkungan yang terjadi. Bahkan sekarang berkembang istilah “mahasiswa kupu-kupu”. Sebutan ini ditujukan pada karakter mahasiswa yang sekedar kuliah lalu pulang. Tentunya mahasiswa yang termasuk dalam kategori ini adalah orang yang rajin kuliah untuk mendapatkan nilai akademik bagus dengan tujuan bisa lulus secepat mungkin. Mahasiswa kupu-kupu bisa jadi memang meiliki keunggulan dari sisi akademik yag tinggi akan tetapi seorang mahasiswa tidak hanya dituntut untuk ahli dalam keilmuan saja, tetapi juga memiliki berbagai keterampilan lain yang tidak didapatkan dari mata kuliah yang ada.
Dikelas Pendidikan Sosiologi Reguler 2012, terdapat Karakteristik mahasiswa yang berbeda-beda. Setiap Mahasiswa mempunyai karakteristik yang unik sehingga berbeda-beda dalam memaknai perkuliahan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di kelas Pendidikan Sosiologi Reguler 2012, mayoritas dari mahasiswanya lebih memilih langsung pulang ke rumah dari pada mengikuti organisasi ataupun untuk sekedar nongkrong bersama mahasiswa yang lainnya dilingkungan kampus.
Hasil angket penelitian dari 54 orang sampel yang diambil, dengan pertanyaa:
Apa yang suka anda lakukan setelah kegiatan perkuliahan di dalam kelas sudah selesai?


Sumber: Penulis, 2013

Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa, dapat terkonstruksikan mahasiswa yang ada di kelas Pendidikan Sosiologi Reguler 2012 mayoritas bertipe mahasiswa kupu-kupu atau kuliah pulang. Berdasarkan wawancara penulis dengan beberapa mahasiswa di kelas Pendidikan Sosiologi Reguler 2012, ada beberapa asumsi mengapa mereka hanya memilih langsung pulang ketika selesai kuliah.
Asusmsi pertama, tidak boleh ada kegiatan yang dapat menggagu kuliah. Karena banyak kakak senior yang aktif di organisasi kampus maupun luar kampus dan juga mahasiswa yang sering nongkrong, lama sekali lulus dari bangku kuliah. Seolah-olah focus utama mereka hanya organisasi dan nongkrong saja yang dapat menelantarkan kuliah.
Asumsi kedua, lulus kuliah harus tepat waktu dengan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) tinggi. Menurut mereka tidak masalah tidak aktif di organisasi atau di lingkungan kampus, yang terpenting adalah wisuda tepat waktu dengan IPK tinggi.
Asumsi ketiga, karena jarak rumah dengan kampus terlalu jauh. Hal inilah yang membuat sebagian dari mereka tidak mau mengikuti organisasi ataupun sekedar bercengkrama dengan teman-teman di kampus dalam waktu yang lama menjadi enggan karena jarak rumah dengan kampus terlalu jauh.
            Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, mahasiswa kupu-kupu hanya menerima realitas yang ada dan sekedar mengkalkulasikan cara termudah untuk mengatasi kesulitan yang meraka hadapi[4]. Peran mahasiswa sebagai agen of change hilang, karena hanya memikirkan tugas perkuliahan saja tanpa memiki softskill dari organisasi kemahasiswaan untuk terjun di dunia kerja dan melupakan nasib rakyat yang harusnya menjadi tugas mahasiswa.
Menurut Max Webber, Rasionalitas praktis adalah setiap jalan hidup memandang dan menilai aktivitas-aktivitas duniawi dalam kaitannya dengan kepentingan individu yang murni pragmatis dan egoistis[5]. Mahasiswa “kupu-kupu” hanya memikirkan sendiri yaitu egoistis, hanya memikirkan IPK semata. Padahal kalau mau berorganisasi dan nongkrong dengan teman-teman mahasiswa lainnya yang ada di kampus, dapat menghidupkan ruang sosial akademik di luar kelas.

Penutup
            Kampus ibarat rumah besar yang mempunyai banyak jendela-jendela ilmu pengetahuan yang bisa dinikmati oleh seorang mahasiswa. Menjadi seorang mahasiswa tidak hanya sekedar menyelesaikan (Satuan Kredit Semester) SKS saja. Tetapi banyak hal yang akan di dapat oleh seorang mahasiswa jika seorang mahasiswa bisa aktif di lingkungan kampus maupun di lingkungan masyarakat.
            Mahasiswa yang aktif di lingkungan kampus atau masyarakat, akan menghidupkan ruang sosial akademik di luar kelas. Dengan berorganisasi ataupun hanya sekedar nongkrong dengan mahasiswa lain di kampus, dapat menghidupkan interaksi sosial (asosiasi) didalam masyarakat. Interaksi sosial (asosiasi) tidak hanya sebatas hubungan-hubungan sosial yang dinamis tetapi ada proses saling pengaruh mempengaruhi dalam berinteraksi tersebut. Jika interaksi sosial dapat di hidupkan oleh mahasiswa, maka akan banyak ilmu yang di dapatkan daripada kuliah langsung  pulang dan interaksi sosialnya tidak dapat dikembangkan.
            Sebagai sebuah kontemplasi dari fenomena yang terjadi didalam siklus perkuliahan mahasiswa. Penulis mencoba membangkitkan kesadaran kritis kita tentanng masalah yang dihadapi oleh para mahasiswa. Pasalnya banyak sekali mahasiswa yang lupa dengan tugasnya sebagai agen perubahan. Banyak kritik para aktivis terhadap kemandekan yang terjadi di kalangan mahasiswa hari ini. Banyak hal-hal yang telah luput dari perjuangkan mahasiswa, seperti mengawal kebijakan pemerintah, ikut andil dalam kesejahteraan masyarakat hingga pada tataran kampus, yaitu menuntut pendidikan yang memanusiakan manusia. Mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang) di rasa semakin memenuhi kampus, banyak hal yang melatarbelakangi tidak keluar dari tidak siapnya mahaiswa Indonesia menerima perubahan zaman yang sekarang serba canggih.
           
Daftar Pustaka :

Henslin, James M. 2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Jakarta: Erlangga.   
Dialihbahasakan oleh Kamanto Sunarto
Ritzer,George dan Douglas J. Goodman. 2012. Teori Sosiologi Klasik. Bantul: Kreasi Wacana.
Dialihbahasakan oleh Nurhadi.
Surachman,Eman dan Devi Septiandini. 2012. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Universitas
Negeri Jakarta.
Suriani. 2011. Menghidupkan Ruang Sosial Pendidikan. Bogor: Edukati Press.



[1] George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2012. Teori Sosiologi Klasik. Bantul: Kreasi Wacana. Dialihbahasakan oleh Nurhadi.hal 136
[2] Unj.ac.id/organisasi
[3] Ritzer,op.cit Hal 179
[4] Ibit 148
[5] Ibit 148

No comments:

Post a Comment