Tuesday 24 September 2013

Makalah SOSPEM Kel 2 - Hasil Kajian Teori Modernisasi Klasik

Hasil Kajian Teori Modernisasi Klasik
Mata Kuliah Sosiologi Pembangunan
Dra. Ikhlasiah Dalimoenthe, M.Si







Kelompok  2
Ahmad Rofiki                                           4815122446
Angga Mardiansya                                    4815120320
Bunga Haryani                                          4815122431
Nelva Aini Syifa                                       4815122448
Vicky Affanny Tsulasa                             4815120324


Pendidikan Sosiologi Reguler
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta
2012

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,
                  Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, shalawat serta salam tak lupa tim penulis panjatkan kepada Nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW sehingga tim penulis dapat menyelesaikan makalah yang merupakan salah satu syarat penugasan dari mata kuliah Sosiologi Pembangunan. Makalah ini kami beri judul “ Hasil Kajian Teori Modernisasi Klasik” . Makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi dan lebih mengeksplorasi ilmu pengetahuan mendalam, mengenai kajian teori modernisasi klasik.
                  Tim penulis menyadari bahwa dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan yang dikarenakan keterbatasan oleh tim penulis. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk menuju kesempurnaan makalah ini. Dalam penyusunan makalah ini, tim penulis mengucapan terima kasih kepada :
2.      Teman - teman penulis, Ahmad Rofiki, Angga Mardiansya, Bunga Haryani, Nelva Aini Syifa dan Vicky Affanny Tsulasa. Terima kasih atas waktu dan kontribusinya dalam menyelesaikan makalah ini.
3.      Teman-teman di kelas Pendidikan Sosiologi Reguler yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Terimakasih yang sebesar-besarnya.




Jakarta, 14 September 2013
Hasil Kajian Teori Modernisasi Klasik
1.         Pertama, penelitian McClelland tentang Motivasi Berprestasi yang mewakili karya di bidang Psikologi.
2.         Kedua, penelitian Inkeles disekitar tesis Manusia Modernnya yang mewakili Sosiologi Mikro (Psikologi Sosial).
3.         Ketiga, pengamatan Sumawinata tentang kemungkinan dan kesiapan ekonomi Indonesia dalam mencapai tahap lepas landas, sebuah konsep yang dikembangkan Rostow.
4.         Keempat, kajian Sosiologi Makro Bellah tentang Agama Tokugawa dan Pembangunan di Jepang.
5.         Terakhir, Lipset tentang Keterkaitan Antara Pembangunan Ekonomi dan Pengembangan Demokrasi Politik, yang merupakan Representasi Disiplin Ilmu Politik.
McClelland: Motivasi Berprestasi
Bagi dia, yang bertanggung jawab atas proses modernisasi Negara-negara Dunia Ketiga ialah kaum wiraswastawan domestik. Bukan para politisi atau penasehat ahli, karena kaum wiraswastawan mempunyai semangat dan sifat berdagang tinggi – bekerja dengan tekun dan memperbaiki kesalahan agar lebih baik dikemudian. Oleh karena itu, para investor jangan hanya menanamkan modalnya dari segi ekonomi. Melainkan melakukan investasi pada pengembangan Sumber Daya Manusia.
Motivasi berprestasi menurut McClelland adalah keinginan yang kuat untuk mencapai prestasi gemilang yang dikerjakannya melalui penampilan kerja yang baik, dengan selalu berpikir dan berusaha untuk menemukan cara-cara baru untuk memperbaiki kualitas kerja yang dicapainya. Inilah yang sesungguhnya ingin dicapai oleh kaum wiraswastawan. Sebagai contoh: Jika seseorang menghabiskan waktu hidupnya untuk bersenang-senang; pesta, tidur, jalan-jalan – maka motivasi berprestasinya rendah. Sebaliknya, jika seseorang memikirkan bagaimana nantinya kehidupan ini akan menjadi lebih baik lagi, dengan cara melaksanakan tugasnya maka motivasi berprestasinya tinggi.
Pertanyaan tertulis bukan metode bagus untuk mengukur motivasi berprestasi, karena seseorang akan berbohong untuk itu. Oleh karenanya, McClelland mengukurnya dengan Metode Proyeksi. Metode proyeksi ini menunjukkan suatu gambar dari pokok penelitiannya kepada masing-masing orang untuk menulis cerita dari gambar yang mereka lihat.
Dari cerita tersebut, dapat diketahui motivasi masing-masing individu. Misalnya dalam buku ini, digambarkan seorang laki-laki yang menjulurkan kakinya ke atas meja kerja lalu melihat sebuah poto dinding dihadapannya. Salah satu responden menjawab bahwa ia sedang melamun, lalu memikirkan masa liburannya bersama keluarga untuk menghabiskan waktunya bersenang-senang. Responden kedua menjawab bahwa seorang Direktur sedang memikirkan bagaimana membangun perusahaannya agar menang tender. Dapat disimpulkan, responden kedua memiliki motivasi berprestasi tinggi.
Motivasi berprestasi tingkat individu dapat diukur melalui Metode Proyeksi. Lalu bagaimana mengukur Motivasi Berprestasi suatu Negara? McClelland menggunakan alat untuk mengukur berskala nasional ini dengan mengumpulkan literatur populer; nyanyian rakyat, buku komik, puisi, drama, dan cerita anak-anak.
Sebagai contoh, literatur populer yang ada di Indonesia menceritakan; “Si Kancil Anak Nakal” menceritakan tentang kancil yang suka mencuri ketimun, mengindikasikan bahwa setiap pencuri jangan diberi ampun; “Malin Kundang” lain halnya dengan cerita ini, cerita Malin menceritakan seoarang anak durhaka kepada orangtua. Setelah itu, sang ibu mengutuk si Malin yang langsung berubah menjadi batu. Pesan moral yang beredar di masyarakat agar seorang anak tidak durhaka kepada orang tua, karena ketika ia durhaka akan berubah menjadi batu seperti Malin. Cerita ini memang secara terbuka memang bagus, agar anak Indonesia tidak durhaka terhadap ibunya. Tetapi secara implisit/tersembunyi cerita ini merupakan kekerasasan simbolik dari suara si Malin yang keras terhadap ibunya. Cerita ini tak lebih dari sekadar cerita sampah yang dimulai dari kekerasan dahulu, lalu tiada sadar menjadi batu akibat ucapan ibunya sendiri. Seharusnya cerita Indonesia menceritakan kebagusan di awal dan kebahagiaan serta surga diakhirnya; seperti seorang anak yang berbakti kepada kedua orangtua, setelah ia besar tidak durhaka kepada keduanya.
Lalu cerita asing masuk ke Indonesia; Cinderella, Beauty and The Beast, Putri Salju, Abu Nawas, Aladin, kesemua cerita tersebut hanya terdapat dua tokoh utama – antara sang pangeran dan permaisuri.
Alur ceritanya permaisuri membutuhkan pertolongan atau sebaliknya pangeran menyelamatkan. Menandakan bahwa setiap orang di Indonesia hanyalah terdiri dari sepasang pasangan yang menyelamatkan dan mesti berpacaran karena mengikuti dua tokoh utama yang mereka lihat di tv, yaitu sang pangeran dan permaisuri.
Persaingan yang memperebutkan permaisuri terjadi antara pangeran dan lawan-lawannya. Mengindikasikan terjadinya perkelahian antar pelajar sekolah, akibat persaingan memperebutkan kekasih sesuai dengan cerita dongeng di permaisuri. Tiada literatur populer di Indonesia yang menceritakan demokrasi partisipatif, kerja sama, keterpaduan, sehingga tidak adanya kesadaran kritis dalam berpikir.
Dalam hal ini, McClelland menganggap bahwa cerita-cerita rakyat populer merupakan refleksi dari pola pikir masyarakat dalam Negara tersebut, dan jika sekiranya tidak berarti demikian maka cerita-cerita rakyat tersebut tidak akan menjadi cerita rakyat populer.
Selanjutnya, setelah McClelland mengukur kebutuhan suatu Negara berskala Nasional. Ia melihat sejauhmana kebutuhan berprestasi ini berkaitan dengan pembangunan ekonomi nasional.
McClelland mengukurnya dengan konsumsi tenaga listrik di suatu Negara. Dari hasil penelitian antar Negara, McClelland mengatakan bahwa semakin tinggi konsumsi tenaga listrik suatu Negara akan memiliki derajat yang tinggi pula dalam pembangunan ekonomi.
Terakhir, McClelland mencari cara untuk menaikkan Skala Kebutuhan Berprestasi. Caranya dengan melihat lingkungan keluarga pada saat pembimbingan anak, yakni:
1.      Pertama, OrangTua hendaknya menentukan standard motivasi yang tinggi terhadap anak. Misalnya ia akan menjadi pemain musik yang terkenal seperti John Mayer atau pelawak terkenal seperti Sule.
2.      Kedua, memberikan dukungan terhadap kemampuan dan bakat anak. Jikalau anak mempunyai bakat dibidang kesenian, seorang anak harus didukung. Jangan orangtua terlalu menuntut/mengharapkan anak menjadi sesuai keinginan orangtua yang tidak sesuai dengan bakatnya.
3.      Ketiga, OrangTua hendaknya tidak bersikap otoriter namun demokrasi partisipatif. Seorang orangtua harus bertanya terlebih dahulu apa yang disukai dan digemari oleh sang anak dan tidak bersikap otoriter. Sebab lingkungan yang dilalui oleh si anak dan orangtua pasti lah berbeda, oleh karena itu sikap orangtua selalu mensupport kemauan dan kegemaran anak asalkan dia konsisten lagi bertanggung jawab terhadapa kegemaran yang digelutinya.

Kebijaksanaan yang ditimbulkan dari hasil kajian ini. McClelland mengatakan bahwa Negara Dunia Ketiga:
1.      Seharusnya mempunyai sekelompok Wiraswastawan yang memiliki kebutuhan tinggi untuk berprestasi yang diharapkan mampu mengubah bantuan asing menjadi Investasi Produktif.
2.      Selain itu, bahwa semakin tinggi interaksi Negara Dunia Ketiga dengan Negara Barat dengan jalan pendidikan atau pengenalan budaya, maka akan semakin mempermudah dan mempercepat modernisasi.



Inkeles: Manusia Modern
Inkeles memusatkan perhatiannya, yakni;
1.      Apa akibat yang ditimbulkan oleh modernisasi terhadap sikap, nilai, dan pandangan hidup seseorang?
2.      Apakah Negara Dunia Ketiga akan memiliki sikap hidup modern setelah berinteraksi dengan Negara Barat?
3.      Apakah ada akibat ketegangan psikologis dari manusia Negara Dunia Ketiga setelah mengalami modernisasi?
Lalu Inkeles mewancarai 6000 anak muda yang dipilih dari berbagai kategori, seperti petani, kaum migran, pekerjaan perkotaan sektor bukan industri, pekerjaan perkotaan di sektor industri dan pelajar.
Setelah itu, menurut Inkeles manusia modern akan memiliki berbagai karakteristik, yakni:
1.      Terbuka terhadap Pengalaman Baru; artinya mencari sesuatu yang baru.
Sebagai seorang sosiolog, tidak menutup kemungkinan bisa dalam bidang kesenian – agama. Sebagai contoh bermain musik, membaca puisi, atau membaca al-quran.
2.      Independen terhadap Otoritas Tradisional; keluarga, etnis dan raja.
Sebagai manusia modern harus bisa menemukan bakat terbaiknya, dan bakat terbaiknya itu tidak ditentukan/dipaksakan oleh keluarga, etnis dan raja. Sebagai contoh, seorang anak bebas menentukan jalan hidupnya, mau jadi apa ia nantinya namun harus tetap bertanggung jawab. Misalkan anak minatnya masuk dibidang kesenian, ia akan langsung dimasukan ke IKJ bukan UNJ. Lalu orang tua tidak semestinya bersikap otoriter terhadapa anaknya.
3.      Percaya terhadap Ilmu Pengetahuan.
Ilmu berkesenian digunakan sebagai hiburan dalam industri musik di tanah air – Indonesia.
4.      Manusia modern memiliki ambisi hidup yang tinggi; dalam hal ini meniti jenjang pekerjaannya dengan tekun, bekerja keras, tanggung jawab dan disiplin.
5.      Memiliki rencana jangka panjang.
Mengetahui apa yang kita capai dalam lima tahun ke depan; sebagai contoh akan tamat kuliah dalam 4 tahun, setelah itu menjadi pedagogi sejati.
6.      Aktif terlibat dalam percaturan politik.
Dalam hal ini ikut dalam organisasi kekeluargaan seperti RT dan RW, serta mengurusi urusan masyarakat seperti pemilu dan acara perkawinan.
Dari karakteristik itu, Inkeles menemukan pokok-pokok pikiran, yaitu:
1.         Pertama, bahwa pendidikan merupakan faktor terpenting yang mencirikan manusia modern. Akan tetapi bukan pendidikan ilmu alam; kimia, biologi, matematika. Melainkan nilai-nilai Barat, buku-buku Barat, guru dari Barat, film-film Barat akan membantu penyerapan nilai-nilai modern.
2.         Kedua, jenis pekerjaan di pabrik akan turut mempengaruhi manusia menjadi modern. Sebab tingkat disiplin para pekerja pabrik menamkan disiplin waktu tingkat tinggi.
Perhatian Inkeles yang terakhir – Apakah ada akibat ketegangan psikologis dari manusia Negara Dunia Ketiga setelah mengalami modernisasi?
Sebab menurut Inkeles literatur yang ada di Dunia Ketiga hanya menyebutkan Dampak Negatif dari Modernisasi saja; yakni
1.      Pola hidup Konsumtif
2.      Sikap Individualistik
3.      Gaya hidup Westernisasi
4.      Kesenjangan sosial
5.      Kriminalitas
6.      Demoralisasi Kepribadian
dan tidak menjelaskan Dampak Positifnya; seperti sikap rasional, memiliki rencana jangka panjang, percaya terhadap ilmu pengetahuan, disiplin tingkat tinggi, dan aktif terlibat dalam percaturan politik.
                  Oleh karena itu, Inkeles menjawab; perubahan Modernisasi di Dunia Ketiga tidak bisa berjalan dengan cepat, melainkan dengan evolusi atau lambat. Serta tidak akan ada ketegangan psikogis dari Negara Dunia Ketiga mendasari pada tes Psychosomatic Symptomnya. Psychosomatic Symptom disini maksudnya penyakit psikologis; insomnia, kecemasan berlebih, trauma, fobia, kecanduan rokok, gagap.

Sarbini Sumawinata : Lepas Landas Indonesia
Teori pertumbuhan ekonomi telah lama lahir, sekitar pertengahan tahun 1950-an, dari pertumbuhan dan tahapan pembangunan ekonomi yang dirumuskan oleh Rostow. Pada tahun 1989 telah terbit di Indonesia, satu buku yang dipersembahkan kepada Profesor Sarbini Sumawinata pada ulang tahunnya yang ke-70, yang memuat dua artikel yang secara eksplisit menguji pembangunan ekonomi Indonesia dengan pendekatan teori pertumbuhan Rostow.
Salah satu diantara 2 artikel tersebut secara jelas mencoba melakukan pendekatan analitis situasi ekonomi Indonesia, ditulis oleh Profesor Sarbini Sumawinata sendiri yang dikenal sebagai seorang ilmuwan yang sering memberikan kritik dan ketidak setujuannya terhadap teori Rostow itu sendiri.
Sumawinata memulai pengamatannya, dengan terlebih dahulu secara ringkas meningkatkan 3 syarat mutlak yang menurut Rostow harus dipenuhi jika masyarakat hendak mencapai tahap lepas landas pembangunan ekonominya.
1.      Pertama, untuk mencapai lepas landas, ekonomi Negara memerlukan tingkat investasi produktif paling tidak sebesar 10% dari pendapatan nasional.
2.      Kedua, pertumbuhan yang tinggi atas satu atau lebih cabang industri yang sentral.
3.      Ketiga, tumbuh dan berkembangnya kerangka sosial politik yang mampu menyerap dinamika perubahan masyarakat.
Menurut Sumawinata, pembahasan persoalan lepas landas ini di Indonesia lebih memperhatikan pada Syarat Pertama, dibanding kedua syarat terakhir. Paradoksnya, dengan mendasarkan diri pada sejarah perkembangan ekonomi Indonesia, “syarat-syarat kedua dan ketiga merupakan  syarat yang lebih penting merupakan syarat yang pertama.” Ini terjadi karena pada saat terjadi lepas landas ekonomi, masyarakat akan banyak memikul beban dan tekanan yang berat, bahkan lebih dari itu masyarakat akan banyak memikul beban dan tekanan yang berat. Sementara di saat yang sama bangunan struktur penyangganya masih dalam proses untuk dibangun.
Dalam menilai syarat pertama, jika misalnya diinginkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5% yang diharapkan mampu melebihi tingkat pertumbuhan penduduk, maka sumawinata berpendapat diperlukan tingkat investasi jauh lebih besar dari sekedar 10% GNP. Jika sekarang di perlukan ICOR (Incremental Capital Output Ratio) Indonesia sebesar 3 atau 4, maka untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5% diperlukan investasi ekspansif sebeasar 15% atau 20% GNP. Dengan tanpa menyebut secara pasti berapa jumlah investasi yang mampu dicapai pemerintah Indonesia selama masa pembangunan ekonomi, setelah melihat dan membandingkan dengan pengalaman Negara lain, khususnya India dan Cina justru melihat  bahwa syarat pertama yang ditetapkan rostow terlalu lunak untuk ukuran masa sekarang ketika dunia telah memasuki masa revolusi industri ketiga.
Sumawinata juga menjelaskan bahwa sektor manufaktur Indonesia sekarang ini baru mampu memberikan sumbangan pembentukan GNP sekitar 15%.  Jika dilihat dari daya serap tenaga kerjanya, yang menurut Sumawinata justru merupakan ukuran yang lebih cepat, maka sumbangan dan pertumbuhan sektor manufaktur belum memadai, oleh karena itu, disimpulkan bahwa “sektor manufaktur di Indonesia masih sangat rendah untuk diharapkan dapat membantu memperlaju pembangunan kearah take off .”
Terakhir, Sumawinata menilai bahwa pembangunan pranata sosial dan politik nampaknya tidak diarahkan kepada pembangunan prakondisi yang diperlukan untuk menyongsong masa lepas landas. Sekalipun “secara formal terjadi perubahan-perubahan dalam masalah sosial-politik, tetapi secara esensial dan substansial yang terjadi adalah perubahan-perubahan struktur politik dan budaya secara lebih nyata dan mendasar tak dapat dielakkan karena di perlukan untuk menyanggah dan menyerap secara kreatif ketegangan-ketegangan politik dan budaya yang muncul pada masa percepatan industrialisasi.
Hasil kajian Sumawinata adalah bahwa ia tidak lupa untuk menjelaskan berbagai persoalan ekonomi mikro yang dihadapi dan perlu mendapat perhatian dari Pemerintah Indonesia untuk membantu tercapainya tahapan lepas landas.
Dalam hal ini Sumawinata mengelompokkan persoalan tersebut dalam dua kelompok yaitu
1.      internal dan;
2.      external diseconomies.

Dua persoalan ini menjadi sebab utama dari tumbuhnya ekonomi biaya tinggi. Oleh karena itu, bahwa tidak efisiensinya ekonomi dan meluasnya korupsi, perlu mendapat perhatian, jika mungkin dihilangkan sama sekali untuk memperlancar kecepatan dan percepatan proses industrialisasi. Oleh karena itu, tidak diherankan jika dapat disimpulkan, bahwa dengan mendasarkan diri pada”… berbagai macam sebab,  baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui, memberikan cukup alasan untuk cemas dan prihatin.” Namun, ini tidak berarti bahwa ekonomi Indonesia akan selalu berada dalam situasi terbelakang terus-menerus.

Robert N. Bellah: Agama Tokugawa
Penelitian ini menguji:
1.      Apa sumbangan yang diberikan oleh agama Tokugawa terhadap cepatnya laju pembangunan Ekonomi Jepang? dan;
2.      Bagaimana sumbangan itu diwujudkan?

Perhatian Bellah terhadap Jepang bukan karena jepang satu-satunya Negara bukan barat yang mampu mengembangkan industrialisasinya pada ambang pintu mamasuki abad ke-20, tetapi juga karena jepang memiliki satu pola industrialisasi yang khas.
Awal gerak gelombang industrialisasi di jepang pada akhir abad ke-19 tidak di mulai dari langkah kaum industriawan, pengrajin, atau pedagang, melainkan oleh kelas samurai. Kelas samurai inilah yang sesungguhnya membangun kembali masa kejayaan kekaisaran Jepang, dan meletakkan dasar-dasar modernisasi Jepang.
Dengan mengikuti arah penelitian yang dikembangkan oleh Weber, Bellah mulai tertarik untuk menguji ada tidaknya keterlibatan agama dalam kasus Jepang ini. Dengan kata lain, “Apakah ada satu analogi fungsional dari etik Protestan dalam agama Jepang?”  yang menimbulkan lahirnya masyarakat industri modern Jepang sekarang ini.



Latar Belakang Teoretis
Sebagai murid Parsons, Bellah banyak meminjam dan menggunakan konsep fungsionalismenya untuk menjelaskan hubungan antara agama dengan masyarakat industri modern di Jepang.
Menurut Bellah masyarakat industri modern sebagai masyarakat yang sepenuhnya mendasarkan diri pada nilai-nilai ekonomi, seperti Rasionalisasi, Universalitas, dan Nilai-Nilai Berprestasi.
Agama diartikan oleh Bellah sebagai sikap dan tingkah laku yang selalu mengarah pada nilai-nilai luhur. Bisa dikatakan disini bahwa agama sebagai sesuatu yang memiliki fungsi sosial untuk merumuskan seperangkat nilai luhur darinya lalu masyarakat membangun tatanan moral.
Bagi Weber agama Protestan di Eropa membantu melahirkan dan melembagakan nilai-nilai universalitas dan kebutuhan berprestasi. Pendapat tersebut tidak jauh berbeda dari hasil pemikiran Bellah. Ia mencoba mencari dan kemudian menemukan ciri-ciri tersebut pada agama di Jepang yang mungkin telah membantu terjadinya perubahan yang kritis dari nilai-nilai dan ajaran pokok masyarakat.

Agama Jepang
Dalam usahanya mengamati agama di Jepang, Bellah membuat dua klasifikasi observasi.
1.      Pertama, sekalipun memang terdapat banyak agama di Jepang, termasuk di dalamnya Konfusianisme, Budhisme, dan Shinto. Hal ini tidak menghalangi untuk menganalisa atau mengkategorikan agama-agama di Jepang tersebut sebagai entitas.
Agama di Jepang memang sudah berbaur dan sulit dibedakan secara lebih rinci lagi. Agama satu dengan agama yang lainnya sama-sama mempengaruhi dan memiliki hubungan. Sehingga bisa dikatakan bahwa Konfusianisme di Jepang sangat berbeda dengan Konfusianisme di China dan Budhisme jepang berbeda dangan Budhisme India.
2.      Kedua, bahwa agama di Jepang membentuk nilai-nilai dasar masyarakat Jepang. Dilihat dari sejarah, agama di Jepang bermula sebagai etika dari para pejuang samurai, baru dikenal di masyarakat luas setelah melalui pengaruh agama Konfusianisme dan Budhisme.
Bellah mengambil tiga keterkaitan antara Agama dan Pembangunan Ekonomi di Jepang, Yaitu ;
1)      Pengaruh Agama Secara Langsung Mempengaruhi Etika Ekonomi
2)      Pengaruh Agama Terhadap Ekonomi Terjadi Melalui Pranata Politik
3)      Pengaruh Agama Terjadi Melalui Pranata Kelurga

Pengaruh Agama
Pada masa awalnya, Shinsu, salah satu sekte agama Budha yang dikaji oleh Bellah menekankan pada pentingnya keselamatan dan hanya sedikit yang memberikan perhatian pada tuntutan etika. Pada pertengahan masa Tokugawa (1600-1868), sebagai akibat dari perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Rennyo Shonin, yang disebut-sebut sebagai pendiri kedua sekte, keselamatan dan etika terkait mutlak dan tidak dapat dibedakan sama sekali, apalagi dipisahkan.
Perubahan nilai keagaaman yang menekankan pada etika dalam proses penyelamatan dijadikan sebagai perubahan mendasar.
Bellah Membagi Tiga Karakteristik Pokok dari Ajaran dan Tuntutan Persyaratan Etika Ini:
1.      Pertama, ajaran untuk bekerja secara tekun dan sungguh-sungguh khususnya di bidang pekerjaan yang telah dipilih.
2.      Kedua, ajaran untuk memiliki sikap pertapa dan hemat dalam konsumsi barang.
3.      Ketiga, pencarian keuntungan secara tidak halal memang dilarang namun usaha untuk mengejar itu dapat diperoleh dari usaha normal disediakan legitimasinya dalam ajaran agama melalui doktrin Bodhisattva (harmoni jiri-rita). Bellah menunjukan adanya bukti mengenai agama Shinsu tentang konsentrasi candi-candi Shin pada pusat perdagangan di kota Omi.

Pengaruh Agama Melalui Pranata Politik
Di Cina,
·         Konfusianisme menekankan pentingnya faktor efisiensi, harmoni dan sekaligus Intergrasi.
Namun, di Jepang seperti yang dinyatakan oleh Bellah,
·         Konfusianisme mengambil dan memiliki makna-makna baru setelah bercampur dengan Budhisme. Konfusiansime Jepang lebih menekankan akan pentingnya Subordinasi Tanpa Pamrih.
Prinsip subordinasi menyeluruh terlihat jelas dalam etika kelas samurai Jepang. Samurai wajib melaksanakan tugasnya dan mengabdi pada negara tanpa memperhitungkan kepentingan pribadi. Etika samurai ini dianut pada masa Tokugawa. Kewajiban dan tanggung jawab tanpa batas ini pulalah menurut Bellah, yang mampu membuat menjelaskan mengapa kelas samurai memulai usaha Restorasi Meiji.
Tujuan reformasi ini diarahkan untuk memulihkan kembali pengagungan kekaisaran, memusnahkan manusia yang biadab dan menambah kekuatan nasional. Restorasi Meiji ini lebih bersifat “politis” daripada “ekonomis”.
Kelas samurai yang telah banyak berganti menjadi kelas usahawan yang gigih tidak saja bertujuan untuk mencari dan mengumpulkan kekayaan ataupun menjadikan dirinya sebagai orang kaya tetapi lebih merupakan wujud wajah pengabdian mereka pada negara melalui pembangunan ekonomi.
Untuk mendukung pernyataan ini;
Bellah menunjukan berbagai aturan yang dimiliki oleh Iwasaki, samurai pendiri Mitsubishi yang nenggambarkan tentang adaptasi etika samurai pada wiraswastawan modern.
1.      Etika ini juga mengisyaratkan secara jelas untuk menjadi pekerja keras dan tangguh secara kepentingan dan rasa hati orang lain.
2.      Aturan ini mengajarkan etika untuk bersikap keras kepala ketika ingin membangun usaha baru.
3.      Tetapi juga harus bersikap sebaliknya yaitu tekun dan hati-hati dalam mengelolanya.
Bellah mengatakan bahwa ekonomi industri modern tersebut telah dirembesi oleh nilai-nilai politik yang telah berkembang dan berlaku pada masa sebelumnya.




Pengaruh Agama Melalui Pranata Keluarga
Etika tanpa batas ini bukan berlaku untuk pengabdian pada negara saja tetapi juga pada etika rumah tangga pedagang. Rumah pedagang dilihat sebagai suatu entitas yang sakral yang menyimbolkan pemujaan nenek moyang.
Biasanya standar pengabdian yang berlaku pada keluarga pedagang ditetapkan amat tinggi sebanding dengan apa yang dimiliki oleh kelas samurai. Yakni:
1.      Seseorang tidak boleh menjatuhkan nama keluarganya karena hal ini juga bisa menimbulkan rasa malu nenek moyangnya.
2.      Motivasi ekonomi dari kelas pedagang ini bukan motivasi pribadi, tetapi merupakan motivasi kebanggaan keluarga.
Bellah berpendapat bahwa;
1.      Etika kewajiban keluarga ini mendorong terbentuknya seperangkat nilai etika kejujuran, kualitas, dan nama baik yang dijunjung tinggi.
2.      Kemudian mendukung nilai-nilai universal dalam tata dunia perdagangan dan mampu memberikan dorongan untuk lahirnya cikal-bakal ekonomi rasional pada masa modern Jepang.
Jika pranata kekeluargaan mampu memberikan dorongan pembangunan ekonomi Jepang, hal sebaliknya berlaku di Cina. Hal ini terjadi, karena Cina memiliki unsur pranata kekeluargaan secara berlebihan. Sentralnya posisi keluarga ini, paling tidak secara tidak langsung mempengaruhi derajat loyalitas pada pranata sosial lainnya, loyalitas mereka tidak seperti loyalitas total yang dimiliki oleh masyarakat Jepang.
Bellah mencirikan masyarakat Cina;
·         Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai integrasi dan kekeluargaan.
Di Jepang dengan berpadunya Konfusianisme dan Budhisme menyebabkan;
·         Tetap terjaganya etika loyalitas terhadap negara pada posisi yang jauh lebih tinggi dibanding loyalitas pada keluarga.

Jepang : Pembangunan Ekonomi dan Demokrasi
1.      Permasalahan Penelitian
Dalam uraian ini akan dijelaskan tentang :
1). Hubungan antara demokrasi politik dengan pembangunan ekonomi.
Sejak zaman Aristoteles hingga kini, teori-teori ilmu sosial memiliki kecenderungan untuk menyatakan, bahwa ‘semakin baik derajat kehidupan ekonomis suatu negara, semakin besar tersedia kemungkinan, bahwa negara tersebut akan memegang dan memelihara tatanan demokrasi’.
Dalam hal ini Lipset hendak mencoba mencari bukti:
1.      Pertama, Apakah hanya negara-negara atau masyarakat yang kaya (makmur) saja yang mampu mendukung dan menumbuhkan demokrasi?
2.      Kedua, Apakah masyarakat miskin yang di dalamnya terdapat massa miskin yang demikian banyak akan mendorong timbulnya pemerintahan oligarkis (pemerintahan yang dilakukan oleh sejumlah kecil elite masyarakat seperti pemerintahan tradisional di Amerika Latin) dan atau Tirani (diktator kerakyatan seperti pemerintahan komunisme atau Peronisme)?
Variabel yang Diperhatikan
Untuk melakukan penelitiannya dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya, Lipset terlebih dahulu memberikan batasan dan kerangka operasional dari apa yang ia maksudkan dengan konsep demokrasi dan pembangunan ekonomi.
Mendasarkan pada batasan ini, Lipset mencoba mengamati sistem politik di Eropa dan Amerika Latin.
1.      Untuk Amerika Latin, Lipset menggunakan kriteria yang lebih lunak, yakni dengan mengamati sistem pemerintahan diktator yang tidak stabil, sementara;
2.      Untuk Eropa ia menggunakan kriteria yang lebih tegas, yakni mengamati sistem pemerintahan demokratis yang lebih stabil. Sekalipun dengan sedikit perbedaan derajat kekakuan dan kelonggaran penggunaan kriteria,

Lipset Kemudian Membedakan;
Adanya Empat Macam Sistem Politik yang Berlaku di Eropa dan di Amerika Latin.
1.      Pertama, jenis pemerintahan demokratis yang stabil di Eropa, seperti misalnya di Inggris.
Pemerintahan ini dicirikan oleh adanya kontinuitas yang tanpa terputus dari berlangsungnya demokrasi politik sejak Perang Dunia I, dan tidak ditemukan adanya satu model gerakan politik, yang berarti tidak konstitusional untuk melawan “tata aturan” demokratis yang telah dibangun dan disepakati.
2.      Kedua, jenis pemerintahan demokratis yang tidak stabil dan diktator, seperti misalnya yang terdapat di Spanyol.
Kategori ini merupakan jenis pemerintahan di negara-negara Eropa yang tidak memenuhi syarat-syarat pada jenis pertama.
3.      Ketiga, jenis pemerintahan Amerika Latin yang demokratis dan diktator yang tidak stabil, seperti pemerintahan Brazilia. Untuk jenis pemerintahan ini hanya diperlukan syarat, yaitu pernah dilaksanakannya pemilihan umum yang kurang lebih bebas sejak Perang Dunia I.
4.      Keempat, jenis pemerintahan diktator yang stabil di Amerika Latin, seperti misalnya yang dijumpai di Kuba. Jenis ini berbeda dengan jenis-jenis pemerintahan terdahulu.


Untuk Membatasi Konsep Pembangunan Ekonomi, Lipset menggunakan Empat Kriteria berikut ini:
1.      Pertama, Ukuran Kekayaan yang diukur dari Pendapatan Per Kapita, Jumlah Orang Persatu Kendaraan Bermotor, Jumlah Tenaga Dokter, Radio, Telepon, dan Surat Kabar Perseribu Orang.
2.      Kedua, Ukuran Industrialisasi, yang ditentukan oleh Persentase Tenaga Kerja yang Masih di Sektor Pertanian dan Jumlah Energi yang Dikonsumsi Perkapita.
3.      Ketiga, Ukuran Urbanisasi yang ditentukan dari Persentase Penduduk Tinggal Di Kota Besarnya Lebih Dari 20.000 Jiwa sedangkan Yang Besarnya Lebih Dari 100.000 Jiwa di kota metropolitan.
4.      Keempat, Kriteria Pendidikan, yang diukur dari jumlah anak sekolah di sekolah dasar, sekolah menengah dan perguruan tinggi per 1000 penduduk.




Hasil Penemuan
Dengan menggunakan data yang dipublikasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan dengan tanpa memperdulikan ukuran pembangunan ekonomi apa yang hendak dipakai.
Lipset menemukan kenyataan;
1.      Bahwa negara dengan pemerintahan demokratis selalu memiliki derajat pembangunan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan negara dengan pemerintahan diktator.
Dengan kata lain semakin demokratis suatu negara, semakin tinggi rata-rata kekayaan, semakin tinggi derajat industrialisasi dan urbanisasinya, dan semakin tinggi derajat pendidikan rakyatnya. Semua indikator pembangunan ekonomi tersebut  seperti Kemakmuran, Industrialisasi, Urbanisasi, dan Pendidikan saling terkait satu sama lain secara erat.
Oleh karena itu, menurut Lipset, variabel-variabel tersebut telah membentuk dirinya sendiri sebagai faktor pokok yang mempunyai derajat korelasi yang amat tinggi dengan pembangunan demokrasi politik.
Dengan mengutip pendapat ilmuwan sosial lain, Lipset memiliki kecenderungan untuk mengatakan, bahwa tingginya korelasi antara masing-masing variabel tersebut sangat mungkin menggambarkan fase modernisasi, yang dimulai dari munculnya urbanisasi, lalu diikuti oleh meningkatnya pendidikan dan media massa, dan terakhir diikuti oleh lahirnya pranata pembangunan demokrasi politik.



Penjelasan
Pada dasarnya Lipset menggunakan analisa stratifikasi untuk menjelaskan keterkaitan antara pembangunan ekonomi dan demokrasi. Baginya, “pembangunan ekonomi, meningkatnya pendapatan, derajat keamanan ekonomis, dan menyebarnya pendidikan banyak berpengaruh terhadap bentuk perjuangan lapisan masyarakat yang dari padanya tersusun landasan pembangunan demokrasi.
1.      Pertama, lapisan masyarakat kelas bawah di negara-negara miskin memiliki pengalaman yang lebih inferior dibanding lapisan masyarakat yang sama di negara maju, dengan kata lain partai politik di negara miskin memiliki kecenderungan untuk lebih ekstrem dan radikal dibanding partai politik di negara yang telah maju.
2.      Kedua, pembangunan ekonomi juga mempengaruhi tingkah laku politik kelas menengah, karena kelas menengah ini memiliki kecenderungan untuk secara aktif terlibat dalam organisasi politik, maka mereka mampu melakukan aksi untuk ikut mengendalikan kekuasaan negara.
3.      Ketiga, tingkah laku politik kelas juga berkaitan dengan kemakmuran negara.

Teori Modernisasi Klasik
Setelah dibahas lima hasil penelitian tersebut di atas, berikut ini akan disampaikan tentang sejauh mana lima hasil kajian itu mencerminkann karakteristik yang khas dari Teori Modernisasi Klasik:
1.      Tentang Perhatian Pokok,
2.      Kerangka Analisa,
3.      Metode Kajiannya dalam menggumuli persoalan-persoalan pembangunan.
Dari padanya diharapkan akan dapat diketahui secara lebih jelas kemampuan teori modernisasi klasik dalam mengarahkan dan mempengaruhi pola pikir peneliti, para perencana dan pengambil keputusan.
Namun demikian, bagian ini tidak dimaksudkan untuk mencoba membandingkan keunggulan satu teori dengan teori lain dalam teori modernisasi klasik.
Bagian ini lebih diarahkan untuk mengetahui sejauh mana teori modernisasi klasik mempengaruhi tumbuh dan tenggelamnya peta pemikiran persoalan pembangunan di kalangan akademisi dan praktisi.

Keprihatinan Utama
Lima hasil penelitian yang dilakukan oleh berbagai ahli dari berbagai disiplin ilmu sosial disampaikan secara ringkas dalam bab ini memiliki keprihatinan utama yang serupa, yakni MODERNISASI.


Kerangka Analisa
Kelima hasil penelitian yang telah dibahas sebelumnya, memiliki kerangka analisa yang tidak jauh berbeda satu sama lain.
1.      Para peneliti tersebut beranggapan, bahwa negara Dunia Ketiga merupakan negara terbelakang dengan masyarakat tradisionalnya.
2.      Sementara negara-negara Barat dilihatnya sebagai negara modern.
Walaupun demikian, sekurang-kurangnya kelima hasil penelitian itu telah mampu mengajukan gagasan-gagasannya kepada negara Dunia Ketiga dengan maksud agar negara tersebut melepaskan ciri-ciri ketradisionalannya dan mengadaptasi apa-apa yang positif yang dimiliki oleh negara Barat.

Metode Kajian
Dengan pengeculian hasil kajian Bellah dan Sumawinata, ketiga hasil kajian yang lain cenderung untuk melakukan analisa abstrak.
Untuk sekedar menyebut contoh, Bagi McClelland dan Inkeles;
1.      kebutuhan berprestasi dan;
2.      ciri-ciri manusia modern sepertinya dianggap berlaku secara universal dan oleh karena itu dapat diterapkan pada negara Dunia Ketiga, tanpa memperhatikan keunikan masing-masing negara.
Lipset juga secara sembarangan mengkategorikan Amerika Latin hanya dalam dua kelompok kategori, tanpa secara detail menguji sejarah pertumbuhan dan pembangunan politiknya untuk masing-masing negara.
Teori modernisasi sangat popular dan dikenal luas pada masa sesudah PD II. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak pemerhati persoalan pembangunan negara Dunia Ketiga tertarik dan menggunakan perangkat teori, kerangka analisa, dan metode penelitian dari teori modernisasi ini.
Namun demikian, sejak akhir tahun 1960-an (besaran waktu Amerika Serikat), teori modernisasi mulai menerima kritik, baik dari kalangan mereka sendiri maupun dari pemerhati aliran pemikiran Marxis yang secara politis dan akademis memiliki tradisi yang berbeda. Pada bagian berikut ini, secara ringkas, kritik tersebut hendak disampaikan.

Kritik Terhadap Teori Modernisasi
Sebelum disampaikan kritik politik dari pemerhati pendekatan neo-Marxisme terhadap teori modernisasi, terlebih dahulu akan disampaikan kritik akademis dari ilmuwan sosial yang termasuk dalam kelompok mainstream.
Kelompok akademis ini memiliki beberapa Keberatan terhadap asumsi-asumsi Evolusioner dan Fungsionalisme yang digunakan oleh Teori Modernisasi Klasik.

A.    Gerak Pembangunan
1)      Pertama, Para Akademisi Ini Menentang Asumsi Teori Evolusi tentang Gerak dan Arah Perkembangan Masyarakat. Mereka menyangsikan tentang alasan-alasan yang disampaikan untuk menjelaskan mengapa negara Dunia Ketiga harus mengikuti arah pembangunan yang pernah ditempuh oleh negara Barat. Menurut mereka, ini terjadi karena para peneliti yang menggunakan teori modernisasi tersebut merupakan bangsa-bangsa Amerika dan Eropa yang memiliki kepercayaan bahwa nilai-nilai budaya yang ada pada negara Barat merupakan kepercayaan superioritas Barat dimana mereka menganggap nilai-nilai yang mereka anut yaitu nilai-nilai paling alami dan baik di dunia.
Menurut pemberi kritik, konsep-konsep seperti “maju”, “modern”, “tradisional”, dan “primitif” hanya merupakan label ideologis untuk mengesahkan superioritas Barat.
2). Kedua, Pengkritik Juga Mengatakan, Bahwa Kecenderungan Untuk Percaya Pada Gerak dan Arah Pembangunan yang Searah Ini. Menjadikan Teori Modernisasi dan Mengabaikan Kemungkinan Pencarian dan Pengembangan Alternatif Pembangunan Negara Dunia Ketiga. Padahal, terdapat kemungkinan negara Dunia Ketiga menciptakan alternatif model pembangunan yang berbeda dari negara Barat untuk negaranya sendiri.
3). Ketiga, pengkritik juga mengatakan, bahwa Para Peneliti Teori Modernisasi Klasik Terlalu Optimis.
Peneliti ini sepertinya menganggap bahwa karena negara Barat mampu mencapai derajat pembangunan ekonomi yang maju, maka dapat dipastikan bahwa negara Dunia Ketiga juga akan mampu mencapainya.
Mereka sama sekali tidak mencoba untuk menguji kemungkinan timbulnya persoalan macetnya pembangunan. Di sisi lain, pengkritik menganggap bahwa masa depan negara Dunia Ketiga merupakan masa depan yang belum pasti akan mengarah kemana dan seperti apa bentuknya.



B.     Nilai Tradisional
Pengkritik menyatakan keberatannya pada asumsi teori fungsionalisme, tentang Pertentangan Antara Tradisi dan Modern yang Menganggap Bahwa Pada Negara Dunia Ketiga Memiliki Seperangkat Nilai Tradisional yang Homogen dan Harmonis.
Padahal, kenyataan yang ada bahwa Negara Dunia Ketiga memiliki sistem Nilai dan Budaya yang Heterogen dan Bervariasi serta penuh dengan elemen Konflik.
Lalu para pengkritik bertanya:
1.                            Pertama, menanyakan tentang Apakah sesungguhnya yang disebut dengan tradisi?
Teori fungsionalisme cenderung untuk mengatakan bahwa masyarakat pada masa lampau selalu damai dan stabil. Namun seperti terlihat dalam sejarah, ternyata adanya konflik dan ketidakstabilan yang mewujud dalam protes petani, pergerakan nasional, dan perang agama pada negara-negara Dunia Ketiga bahwa hal tersebut membuktikan negara Dunia ketiga memiliki seperangkat nilai tradisional yang heterogen.
2.                            Kedua, menanyakan tentang Apakah sesungguhnya nilai tradisional dan modern selalu bertolak belakang?
Di satu pihak, menurut pengkritik, dalam masyarakat tradisional juga terdapat nilai-nilai modern. Di lain pihak, nilai-nilai tradisional juga dijumpai dan hadir di tengah-tengah masyarakat modern. Oleh karena itu, menurut pengkritik, nilai tradisional dan nilai modern akan selalu hidup berdampingan.
3.                            Ketiga, menanyakan tentang Apakah sesungguhnya nilai-nilai tradisional selalu menghambat modernisasi?
Apakah selalu diperkirakan untuk menghilangkan nilai-nilai tradisional jika hendak mencapai modernisasi? Bagi pengkritik, terkadang nilai-nilai tradisional sangat membantu dalam upaya modernisasi.
4.                            Terakhir, Pengkritik Meragukan Tentang Kemampuan Proses Modernisasi Untuk Secara Total Menghapuskan Nilai Tradisional.
Untuk pengkritik dengan jelas menyatakan, bahwa nilai tradisional memang masih akan selalu hadir ditengah proses modernisasi. Hal ini seperti yang telah dijelaskan oleh Teori Kelambatan Budaya (cultural lag theory), bahwa nilai tradisional akan masih tetap hidup untuk jangka waktu yang panjang, sekalipun faktor dan situasi awal yang menumbuhkan nilai tradisional tersebut telah tiada.

C.    Metode Kajian
Para pengkritik beranggapan, bahwa
1.      Peneliti yang menggunakan teori modernisasi klasik memiliki kecenderungan untuk melakukan analisa yang abstrak, tidak jelas periode sejarah dan wilayah negara mana yang dimaksud.
Dengan kata lain, pemerhati teori modernisasi klasik tidak memiliki batas ruang dan waktu dalam analisanya.
Lebih dari itu, teori modernisasi klasik;
2.      Tidak memiliki ilmuwan yang cukup untuk melakukan analisa sejarah yang menggunakan metode sebelum dan sesudah peristiwa.
Pemerhati teori ini kebanyakan menggunakan dan mengambil analisa penelitian antarnegara pada satu waktu tertentu untuk dijadikan analisa sejarah jangka panjang.

D.    Kritik Ideologis
Dari sudut pandanng neo-Marxis;
1.      Teori modernisasi tidak lebih hanya dilihat sebagai ideologi perang dingin yang digunakan untuk memberikan legitimasi intervensi Amerika Serikat terhadap kepentingan negara Dunia Ketiga.
Dalam artikelnya yang terkenal, dengan judul “The Sociology of Development and Underdevelopment of Sociology,” yang menyatakan bahwa teori modernisasi hanyalah merupakan baju ilmiah yang dipakai oleh Amerika Utara untuk menutupi ideologi yang disembunyikan dibaliknya.
Searah dengan arus kritik ini, Bodenheimer juga menunjuk berkembangnya;
2.      “Ideologi Pembangunan” di dalam kajian ilmiah perbandingan politik dan Teori Sosiologi. Ilmu sosial berdosa karena memiliki kepercayaan tentang adanya hukum universal ilmu sosial, dan perlunya penyebaran ilmu sosial versi tersebut ke negara Dunia Ketiga.
Oleh karena itu, menurut Bodenheimer telah lahir rumusan teori yang salah tentang arah dan watak perubahan sosial yang inkremental dan terus-menerus, serta stabil dan terarah.

Disamping itu, juga
1.      Telah lahir asumsi yang salah dalam ilmu sosial tentang keharusan difusi pembangunan dari Barat ke Dunia Ketiga;
2.      dan yang tidak kalah pentingnya, menurut Bodenheimer,  semua itu telah mengakibatkan, di satu pihak, menurunnya ideologi revolusioner, dan di lain pihak berkembangnya pola pikir pragmatis dan ilmiah.

E.     Dominasi Asing
Teori modernisasi juga menerima kritik tentang keterlupaannya memperhatikan unsur dominasi asing dalam kerangka teorinya. Karena fokus analisanya yang lebih memperhatikan variabel intern.
Akibatnya, pemerhati teori modernisasi;
1.      Hanya sedikit sekali memberikan perhatian pada dinamika eksternal (kolonialisme).
Sekalipun teori modernisasi memiliki asumsi, bahwa negara Dunia Ketiga telah secara formal terbebas dari kolonialisme, ketika negara-negara tersebut mencapai otonomi politiknya,
2.      Pemerhati neo-Marxis masih berpendapat, bahwa negara Dunia Ketiga secara ekonomis, politis, dan budaya tetap berada dalam dominasi negara Barat.
Oleh karena itu, pemerhati neo-Marxis menyatakan, bahwa pemerhati teori modernisasi secara sembarangan telah begitu saja meninggalkan faktor dominasi asing yang merupakan salah satu faktor pokok yang mempengaruhi perjalanan pembangunan Dunia Ketiga.
DAFTAR PUSTAKA

Suwarsono dan Alvin. 2006. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: LP3ES

No comments:

Post a Comment